KERAPATAN ADAT NAGARI (KAN), RIWAYAT MU KINI......
Artikel () 16 Juli 2013 05:19:56 WIB
Oleh : Karimis, SH, MM
Arus globalisasi selalu ditandai dengan memberikan dampak positif dan negatif terhadap kehidupan masyarakat kota sampai ke pelosok nagari. Derasnya arus globalisasi ini tentu juga mempunyai pengaruh terhadap adat dan budaya daerah (baca; adat Minangkabau).
Diantara dampak negatif globalisasi itu antara lain terjadinya pergeseran nilai-nilai, berupa seperti adanya kecendrungan melunturnya kekerabatan, renggangnya hubungan sosial sejalan dengan semakin berkurangnya pemahaman adat dan agama, merasa malu menjadi orang Minang serta tidak bangga lagi dengan adat dan budaya sendiri, tetapi senang dan punya percaya diri dengan budaya asing. Oleh karena itu kekhawatiran akan hilangnya nilai filosofi adat basandi syarak syarak basandi kitabullah (ABS-SBK) akan semakin beralasan, dan bukan tidak mungkin adat akan tinggal slogan serta hanya tercatat dalam lembaran sejarah, bila kekhawatiran itu menjadi kenyatan, adalah sesuatu yang sulit untuk dibantah.
Dalam kondisi seperti inilah peran ninik mamak dan lembaga adat menjadi lebih penting untuk memberikan pelurusan dan pemahaman nilai adat dan budaya terutama terhadap generasi muda.
Bagi masyarakat Minangkabau, adat merupakan jalan hidup (way of live), cara berpikir dan bertindak. Dari cara berpikir dan bertindak itulah lahirnya sebuah kebudayaan. Adat eksis dan bermain dalam pikiran manusia Minang, bersifat abstrak tapi mempengaruhi segala tindakan. Sedangkan budaya tampak dalam aktivitas kehidupan mereka. Rumah gadang, tanah pusako dan lainnya itu adalah budaya, produk dari adat. Sedangkan pengaturan pemakaian rumah gadang dan harta pusaka adalah adat.
Adat Minangkabau mempunyai basis ajarannya “alam takambang jadi guru”, artinya setiap individu Minang harus dapat memahami segala fenomena, gejala-gejala alam dengan segala hukumnya untuk dijadikan pedoman dalam hidup dan bermasyarakat.
Kerapatan adat nagari (KAN) sebagai lembaga terdepan dalam pemasyarakatan pengimplementasian ABS-SBK perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak termasuk dari pemerintah daerah, sehingga nilai ABS-SBK itu benar-benar terlaksana di masyarakat nagari.
Namun perlu disadari bahwa lembaga adat kita sampai saat ini masih saja menghadapi persoalan dasar yang mesti dicarikan solusinya secara tepat. Dalam pengamatan kami, paling tidak ada 5 persoalan tersebut, Pertama; Kelembagaan. Hampir dapat dipastikan Kerapatan Adat Nagari lebih banyak yang tidak punya kantor sendiri dari pada memiliki gedung kantor, bahkan ada yang hanya sekedar “menumpangkan” plang nama pada Kantor Wali Nagari atau gedung kantor lainnya. Kedua; Sumber Daya Manusia (SDM) pengurus, kita menyadari bahwa organisasi adat lebih banyak hanya “dihuni” oleh orang-orang yang tidak dibekali ilmu perkantoran, manajemen dan organisasi. Kalaupun ada hanya bagi yang telah memasuki masa pensiun, sehingga organisasi KAN selama ini hanya dijalankan berdasarkan penguasaan administrasi secara manual dan tradisonal, belum lagi ketertingalan dalam mengenal dan mengoperasionalkan teknologi baru sebagaimana layaknya sebuah kantor seperti komputer, inetrnet dll. Ketiga; Tugas pokok dan fungsi (tupoksi), tidak adanya kejelasan dan penetapan tupoksi, mengakibatkan organisasi dijalankan berdasarkan pengalaman masa lalu, sehingga mempunyai penafsiran dan pengertian tupoksi tidak sama dan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, tidak jarang antar lembaga yang ada di nagari saling klaim ranah garapan tugas/kewenangan, akibat saling klaim itu terjadi benturan antar dan sesama pengurus lembaga. Keempat; pendataan aset lembaga, sampai saat ini persoalan aset menjadi semakin tidak jelas dan tidak pasti, apakah suatu aset yang ada dinagari menjadi aset KAN atau pemerintahan nagari, seperti misalnya pasar nagari, sehingga tidak jarang karena ingin memperebutkan penguasaan pasar terjadi “basitegang” antara pengurus KAN dengan pemerintahan nagari walaupun kadang yang menjadi wali nagari juga seorang datuak. Kelima; Belum adanya regulasi KAN, walaupun keberadaan lembaga adat ini sudah diakui melalui perda Provinsi No.2 Tahun 2007 Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Nagari (Bab I, Pasal 1 angka 12, 13), namun belum ada regulasi yang mengatur secara tersendiri menyangkut penata kelolaan organisasi kelembagaan adat baik berupa perbub ataupun perda, akibatnya kelembagaan KAN semakin sulit untuk diberdayakan.
Kelima persoalan dasar diatas tidak saja dialami oleh lembaga adat yang ada di nagari, tetapi juga sampai lembaga adat yang ada di tingkat Kabupaten/Kota. Akibatnya, penanaman nilai-nilai adat sekaligus penerapannya dilingkungan masyarakat nagari menjadi tidak optimal. Hal ini tentu memberikan isyarat pada kita, bahwa persoalan tersebut perlu dirumuskan dan dicarikan solusinya oleh pemangku kebijakan, sehingga permasalahan tersebut tidak hanya sebatas dibicarakan tetapi harus ditindaklanjuti. Biro Bina Sosial selaku ketua gerakkan terpadu Agama dan ABS-SBK tentu menjadi catatan tersendiri, sebagai langkah awal ujud dari perhatian itulah Biro Bina Sosial akan menyelenggarakan Rapat Koordinasi antar lembaga adat nagari sebagai bentuk dukungan dan perhatian terhadap lembaga-lembaga adat, Insya Allah akan diadakan pada pertengahan bulan Oktober nanti. Oh KAN riwayat mu kini,.... (Karimis, Biro Bina Sosial Setda Prov. Sumbar).