BUDAYA KERJA NASIB MU KINI.....

Artikel () 07 Oktober 2013 07:13:16 WIB


Otonomi daerah tidak hanya bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan mensejahterakan masyarakat, tapi juga untuk meningkatkan dinamika perekonomian daerah. Otonomi daerah dalam konteks ini berarti merupakan proses pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, terutama pemerintah kabupaten dan kota. Seiring dengan itu, aparat birokrasi diharapkan dapat mendeteksi langsung persoalan-persoalan di masyarakat dan dapat melayaninya sesuai kebutuhan masyarakat.

Oleh sebab itu, dapat dipastikan bahwa pelaksanaan otonomi daerah mempunyai kaitan erat dengan kondisi birokrasi yang ada. Bahwa birokrasi yang profesional, netral dan akuntabel akan mendorong pelaksanaan otonomi daerah secara maksimal, melalui gerakan reformasi birokrasi. Oleh karena hakekat reformasi birokrasi sangat erat kaitan dengan perubahan pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) aparatur negara.

Dalam menjalankan tupoksinya, birokrasi selalu didukung dengan sistem dan standar kerja birokrasi yang profesional, sebab esensi tanggung jawab pemerintah itu adalah melaksanakan "fungsi pelayanan" dan rakyat sebagai penerima manfaat pelayanan tersebut melalui pelayanan yang excellent atau pelayanan prima.

Namun dalam aplikasinya, tidak jarang kendala akan selalu ditemui baik berasal dari lingkungan internal dan maupun eksternal birokrasi.

Menurut hemat penulis, dilihat dari lingkungan internalnya terdapat dua hambatan utama. Pertama, budaya kerja birokrasi. Budaya kerja itu terwujud dalam perilaku yang tidak berorientasi pada tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi oleh sebagian oknum para birokrat untuk menjadikan birokrasi sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Di kalangan internal birokrasi, masih kuat dianut etos kerja yang bertentangan dengan kebutuhan memfungsikan birokrasi untuk meningkatkan daya saing. Bagi sebagian besar oknum elit birokrasi dan oknum pegawai birokrasi, akan menilai perilaku menyimpang menjadi asing ketika yang dipandang sebagai perilaku menyimpang di dalam kehidupan birokrasi sehari-hari adalah mereka yang tidak mau ikut korupsi, baik itu korupsi uang maupun waktu.

Sementara dalam urusan pelayanan, orientasi memberikan pelayanan optimal atau memuaskan kepada pengguna jasa pemerintahan masih dirasakan asing oleh kalangan birokrat. Padahal, budaya tersebut sangat bertentangan dengan tuntutan saat ini yang mensyaratkan keharusan birokrasi mengadopsi sebagian besar nilai-nilai organisasi korporasi, seperti berorientasi melayani dan meningkatkan hasil, efisien, akuntabel, transparan dan efektif.

Kedua, adanya kecenderungan sebagian kelompok birokrat berusaha membangun solidaritas pegawai untuk mengamankan kepentingan masing-masing. Oleh karena itu, resistensi terhadap upaya rasionalisasi birokrasi selalu muncul dari kalangan dalam birokrat sendiri, baik secara terbuka maupun diam-diam.

Alasannya sederhana, yakni untuk mempertahankan “netwoorking” yang telah memberikan kenyamanan bagi mereka dalam menjalankan “misi”, kelompoknya.

Akibatnya, upaya untuk membangun dan menjalankan sistem dan standar kerja birokrasi yang profesional tersebut tidaklah mudah. Apalagi ditambah dengan hambatan eksternal. Adanya hambatan tersebut membuat birokrasi menjadi lamban dalam melaksanakan tugas pembangunan dan kurang mampu menjalankan sistem dan standar kerja yang profesional. Esensi tanggung jawab pemerintah itu adalah melaksanakan "fungsi pelayanan" dan rakyat sebagai penerima manfaat pelayanan tersebut. Karena itu mewujudkan good governance pada dasarnya adalah terwujudnya pelayanan yang excellent atau pelayanan prima.

Pada hakekatnya, membangun budaya kerjasama saja dengan memulai dari diri sendiri setiap orang dalam bersikap terhadap pekerjaan apa saja yang dihadapi mereka. Budaya kerja merupakan faktor paling dominan terhadap perilaku organisasi. Oleh karenanya dalam upaya mencapai keberhasilan organisasi, maka sangat diperlukan membangun budaya organisasi, karena secara realistis budaya korporat dan keberhasilan organisasi memiliki keterkaitan yang erat. Budaya organisasi mencakup nilai-nilai yang harus tercermin dalam sikap dan perilaku setiap individu dalam organisasi yang meliputi integritas, profesionalisme, keteladanan, dan penghargaan kepada SDM, yang secara bersama-sarna berpengaruh terhadap "Produktivitas Pelayanan". (Prof. Dr. Djokosantoso Moeljono, 2006 : 103).

Untuk membangun budaya kerja disetiap organisasi pemerintahan, sangat ditentukan oleh adanya "komitmen" budaya individu dalam organisasinya yang dapat berkembang menjadi budaya organisasi dalam melaksanakan visi dan misi organisasi/kantornya. Karena itu setiap PNS atau sebagai Aparatur Pemerintah dituntut memiliki komitmen tersebut agar kinerja organisasi pemerintah yang dalam melaksanakan tanggungiawabnya akan mencerminkan sikap melindungi, melayani, dan mengatur rakyat, dapat dicapai secara optimal.

Langkah bijak dalam membangun budaya organisasi mesti diawali dengan memulai dari diri sendiri untuk menjadi pelayan masyarakat secara memuaskan serta melakukan pembentukan "komitmen" yang tinggi antar semua anggota organisasi dalam pelaksanaan visi dan misi organisasi. Komitmen tersebut sebagai konsep diri setiap individu dalam organisasi membentuk etos kerja sebagai budaya individu yang berpengaruh terhadap perilaku dalam pelaksanaan tugasnya. Jika antara sistem dan pribadinya sudah saling mendukung, Insya-Allah paradigma bahwa aparatur negara sebagai pamong praja dan jabatan sebagai amanah akan berjalan sebagaimana mestinya.

Untuk mendukung terbentuknya budaya kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, telah ditetapkan Keputusan Gubernur Nomor 58 tahun 2004 tanggal 30 Desember 2004, tentang Pedoman Gerakan Disiplin Nasional Penerapan Budaya Kerja Aparatur di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, yang merupakan tindak lanjut dari kebijakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Men.PAN) melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.25/Kep/Men.PAN /4/2OO2, tgl.25 April 2OA2, Tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja.

Sungguhpun regulasi budaya kerja sudah ada baik tingkat nasional maupun daerah (Prov.sumbar), namun dalam pelaksanaannya budaya kerja kita masih saja dipertanyakan. Agar budaya kerja dapat tercermin dari setiap SKPD dilingkup Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, dapat ditempuh tangkah-langkah sebagai berikut:

1.Membentuk fasilitator Kelompok Budaya Kerja (KBK) pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan pengembangan Budaya Kerja di unit kerjanya.

2.Adanya tauladan dari pimpinan

3.Adanya komitmen para pejabat untuk memberikan ukuran-ukuran yang jelas sebagai parameter penilaian kinerja, terutama dalam penilaian DP3.

4.Konsistensi menerapkan reward and punishment disiplin kerja

5.Meningkatkan pengawasan tidak saja dari atasan, tetapi juga dari luar

6.Menghukum atasannya jika tidak berani memberikan reward and punishment pada bawahannya.

7.Konsisten dalam pemberian tunjangan daerah, serta

8.Konsisten dalam pengangkatan pejabat

Bila kedelapan hal tersebut dapat diimplemntasikan di setiap SKPD, Insya Allah budaya kerja akan menjadi ciri khas lembaga pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat, namun bila tidak, penulis kuatir para PNS akan terus memelihara karakter budaya "Apa yang bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah, apa yang bisa di perlambat kenapa harus di percepat, apa yang bisa di permahal kenapa harus di permurah, apa yang bisa dimainkan kenapa harus di diamkan, dst......... Ohh...Budaya Kerja Nasib mu kini....Wallahu'alam. (Karimis Biro Binsos).