KISAH-KISAH HAMPIR MATI: TEROR DI ATAS AWAN !
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 20 Oktober 2015 08:07:31 WIB
Tunggggg...Tang!
Kembali saya terkejut. Lamunan saya buyar lagi. Pesawat Citilink badaruak lo liak dek balago jo awan dan badai nan berguruh-guruh. Hujan makin keras saja agaknya.
Saya mendengar bunyi gumam orang berzikir.
Tangggg! Allahu akbar...suara takbir mulai menyayat kepanikan dan ketakutan serta kecemasan.
Sudahlah, saya pasrah sajalah lagi. Saya mengucap berkali-kali dalam hati. Kalau mati, matinya yang saya harap adalah mati dengan menyebut namaNya.
Saya merasa makin dekat saja pada kematian. Kata orang pula, sebelum kita mati, Tuhan membayangkan kepada kita dengan jelas perjalanan kita selama hidup. Saya yakin tanda itu sudah agak mendekat kini. Mengapa?
Mengapa dengan jelas saya teringat kembali kisah-kisah hampir mati saya. Kisah berikutnya, ketika saya menginjak usia kelas satu SMP. Waktu itu, di GOR H Agussalim ada hall yang dialihfungsikan menjadi bioskop. Untuk pembukaan pertamanya, pihak pengelola menggratiskan masuk nonton filem.
Ketika itu, pintu masuknya adalah pintu besi bersisik itu. Bukanya sedikit. Sementara orang sudah saling berdesakan. Ada yang terhimpit atau terkepit. Saya menyuruk dan berlindungan poda sebuah tupang sudut beton. Selamat saya. Rasai....
Tang...tang...tang...lamunan saya buyar lagi. Pesawat Citilink yang sedang menembus badai dan awan tebal serta hujan deras itu, bergetar kembali. Orang tapakiak. Hondeh...Mak oi...
Dari jendela saya lihat tak ada lampu kota di bawah. Padahal biasanya kalau sudah selama ini terbang, sudah tampak lampu kota di bawah...
Daripada panik memikirkan kematian, lebih baik saya mengenang peristiwa hampir mati sajalah . Pada saat begini, mungkin itu lebih baik dulu.
Tak bisa saya sembunyikan, pada saat seperti itu sangat manusiawi sekali bila terbayang wajah orang-orang yang disayang. Terbayang wajah Ibu, terbayang wajah bini, terbayang wajah anak, terbayang wajah kakak, terbayang wajah adik, terbayang wajah kamanakan.
Mungkin ada juga benarnya, kalau awak akan terancam-ancam mati itu, bayangan klassiknya adalah seperti itu. Tapi saya sedih sekali membayangkan kematian di saat terbayang pula wajah anak-anak saya secara serentak. Terbayang, Visi, anak gadis saya yang kelas 3 di SMA 1 Bukittinggi. Bagaimana pulalah nantik kuliahnya kalau tak ada lagi bapaknya. Terbayang wajah anak bujang saya, Alung yang doyan bermusik dan jago ngebeatbox itu, akan bagaimana Alung jika papinya tiada. Terbayang wajah si Bungsu Agha yang baru kelas 1 di MTsN.Agha yang pintar main gitar klassik ini tentu menjadi anak yatim pula. Inilah bayangan yang paling berat itu. Kalau saya menangis, air mata saya bukanlah untuk saya, tapi untuk mereka.
Tapi saya yakin, sekolah dan kuliah anak-anak saya pasti tak akan dibiarkan begitu saja oleh kakak dan adik-adik saya. Saya yakin mereka pasti akan bergotongroyong melanjutkan sekolah ‘anak yatim’ ini. Begitu pula halnya dengan mamak anak-anak saya, tentu tak akan membiarkan kamanakannya susah dan tak bisa lanjut kuliah hanya karena ketiadaan biaya lantaran papanya tiada.
Dan sayapun ‘ belajar’ menangis kembali...
Sudah itu pesawat berdaram lagi. Saya sudah pasrah. Sudah terbayang oleh saya, bahwa saya dan ratusan penumpang di pesawat ini, sebentar lagi mungkin akan memasuki alam lain. Saya sedih memikirkan ini..bukan cemas.
Saya biarkan pikiran saya menerobos masa lalu di saat mana pesawat yang saya tumpangi juga sedang berusaha menerobos badai.
Dan, ketika tamat SMA, saya berlanggar pula. Tubuh saya, menurut saksi mata; limbung. Lalu terhempas ke aspal. Saya, kata saksi mata, tergelepar seperti ayam baru didabih. Saat itu, para pemuda Bawah Kubang---antara perlintasan kereta api Alai dengan jembatan bandakali—sudah meyakini saya tak akan selamat. “ Ondeh Pinto, baitu den caliak ruponyo wa-ang, manangih den mahangkek tubuh wa-ang ka ateh oto ambulan yang kabatulan lewat. Ondeh kawan....”, kata Yanto, sahabat saya waktu sekolah di SMP 5 Padang yang bertemu dengan saya tiga bulan yang lalu di saat Yanto batugeh manjadi juru parkir di Bawah Kubang yang kini sudah ramai oleh ruko itu. Waktu batamu 3 bulan yang lalu itu, dek karano lah lamo pula tidak bersobok, Yanto memeluk saya. “ Alhamdulillah, kawan lai sehat-sehat yo....!”
Taaang....!
Ondeh pesawat badangkang lagi di awan. Untuk kesekian kalinya lamunan saya buyar. Lamunan buyar, layar kematian yang dekat terkembang. Bergidik juga saya dibuatnya. Makin panjang pangana saya dibuatnya. Ingin benar saya bergarah-garah dalam pangana. Kalau terjadi apa-apa nantik, tentu beritanya akan ramai di medsos dan di media cetak. Dalam hidup, saya memang merindukan diri saya tercatat oleh sejarah. Tapi tercatat bukan karena kecelakaan, namun karena tulisan, karangan dan puisi. Bagi saya, kurang indah benar mati dalam kecelakaan. Tapi, miris rasanya diri ini ketika berita menyebutkan korban tewas adalah penyair,seniman, wartawan Pinto Janir dan Calon Wako Bukittinggi H Febby. Tentu banyak pula iklan duka mah ndak? Tak apa-apalah, kalau masih ada iklan ucapan duka tentang kami, tentulah kematian kami masih bermanfaat bagi orang yang ditinggalkan.....
Baaaarrrrrrrrrr....Tang.....tang....
Roda pesawat menginjak bumi. Keras sekali bunyinya. Pesawat seperti terhambung dan melantun. Orang terpakik, jangan disebutlah. Terbayang oleh saya, sekeras itu bunyi pesawat tahantak ke bumi, setidaknya ada yang patah, setidaknya meletus...bagaimanalah nasib saya dan penumpang lainnya. Lalu......ah, ngeri saya membayangkannya.
Tak sampai ke ujung landasan, baru setengah landasan, pesawat terhenti. Mesin mati. Matinya seperti mendadak saja. Eh, ba-a kok mendadak matinya. Pasti sedang terjadi apa-apa di luar tubuh pesawat....
Mula orang terhenyak duduk. Terpaku. Lalu tersintak spontan. Mulai kacau suasana di atas pesawat. Lebih kacau lagi, ketika saya mendengar dari belakang.
“Asok oi...asok.....”.
“Tolong...tolong...kalua dari pintu darurat!”
Makanya, kalau pramugari sedang memberikan penjelasan sebelum pesawat berangkat, yang diperhatikan jangan bentuknya yang rancak. Simak elok-elok ketika pramugari mengatakan di bawah tempat duduk anda ada baju pelampung. Kalau dia memparagak gaya menghambus, jangan muncungnya yang diperhatikan, lihat tunjuknya ketika ia mengatakan pesawat ini dilengkapi beberapa pintu darurat, di sinan ciek, di sinan ciek lai, di subahalh sinan adoh lo. Simak tunjuknya itu, supaya tahu kita di mana letak pintu darurat. Jangan pura-pura memperhatikan tapi yang diperhatikan justru wajah rancaknya, bukan petunjuknya yang rancak.
" Oiii, bukak pintu darurat ko...bukak...bukak !" gaduh nian suasana dibuatnya, takah orang yang sebentar lagi akan mati saja!
Bersorak lagi suara kecemasan dari belakang, entah siapa yang bersuara, saya tidak tahu....
" Asok...asok...asok.....lakeh-lakeh...lakeh!"
Saya lihat ke lakang, tak ada asap. Mungkin itu pandangan, mungkin itu ilusi, mungkin itu anggapan dalam panik. Saya yakinkan pandangan saya dan saya hibur diri saya, itu bukan asap. Tapi, orang sudah keburu panik. Anak-anak mulai maratok. Orang bertakbir.Bertakbir dalam kecemasan. Yang saya? Jangan disebutlah, yang jelas saya mengucap-ngucap.
Nan saya, kebetulan duduk di bangku depan, reflek bergerak ke arah pintu darurat. Saya lihat ada seorang pramugari yang menjaga pintu itu.
“Buka......bukak...bukak.....” teriak beberapa orang baik dari depan maupun dari muka.
“Tunggu ya Pak....tunggu ya Pak....” kata sang pramugari seperti menenangkan kepanikan. Tapi, saya tetap membaca, pramugari juga manusia, tentu memiliki kecemasan yang sama dengan saya dan dengan kami semua. Salut juga saya pada pramugari itu, tenang benar ia menghadapi kepanikan. Benar-benar pandai ia menyembunyikan ketakutan dan kecemasan.
“Capek lah bukak...capeklah bukaaaaaa” teriak orang lagi. Sementara ada bunyi alarm. Ada bunyi tik...tik...tik.....saya berpikir apakah ada hubungan alarm itu dengan pintu darurat bila dibuka cepat justru berbahaya. Makanya, saya juga tak berani membuka sendiri. Saya biarkan saja pramugari itu membuka. Di samping saya, tampak H Febby, masih tenang juga baru calon Pak walikota kita ini.
“Tanang da Pinto...tanang da Pinto...mangucap...mangucap...jan cameh...ingek Allah......”, kata H febby. Padahal saya tak ada berpanik berkebihan, justru ketika H Febby menyebut itu, saya mulai gelisah dan cemas sendiri.