KISAH-KISAH HAMPIR MATI: MENYESAL TELAH MENDUSTAI MAMAK
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 20 Oktober 2015 13:31:24 WIB
Dan sayapun ‘ belajar’ menangis...
Sudah itu pesawat berdaram lagi. Saya sudah pasrah.
Saya biarkan pikiran saya menerobos masa lalu di saat mana pesawat yang
saya tumpangi juga sedang berusaha menerobos badai.
KISAH SATU
Mengapa saya tak mengarifi sebuah rasa, sehingga firasat yang sampai saya abaikan...Ternyata, jiwa selalu menjaga raga. Raga saja yang kadang-kadang lupa 'membaca' . Ketika jiwa berada pada dimensi di muka, ia sebenarnya selalu memberi kabar pada raga. Sayang, banyak raga yang celaka hanya gara-gara enggan 'menerjemahkan' kabar jiwa...Menurut saya, sebenarnya itu bukan sebuah keengganan, namun sebuah kealpaan pada diri. Lupa diri, menjauh segala kabar dari Nya.
Begini pangkal ceritanya:
Pada hari Jumat siang 1 Agustus itu, saya ditelpon Mamak Kito. Sejak saya di Bukittinggi, memang sudah empat hari saya tak mendapat kabar dari Mamak. Hari itu Mamak menelpon dan minta saya mengawani beliau ke Jakarta. Saya hendak dipertemukan mamak dengan Pak Is Anwar guna melengkapi bahan tulisan saya tentang Mamak yang akan saya tulis dalam bentuk buku dan tabloid yang sedang saya siapkan. Kepada Mamak, saya sudah lama menyampaikan bahwa buku semi otobiografi Mamak ini akan lebih lengkap bila ada 'kesaksian' para tokoh Sumatera Barat.
Ajakan Mamak untuk ke Jakarta itu saya iyakan.
“ Kita berangkat hari Sabtu, Kamanakan. Mamak kini masih di Jakarta. Tapi pagi Sabtu Mamak akan ke Padang. Jam duanya, kamanakan jo mamak barangkek ka Jakarta yo....!”
“ Jadi Mak....!” cepat sekali saya menjawab jadi.
Pada saat bersamaan saya sedang menyiapkan penulisan kisah Zul Ifkar Rahim dalam bentuk semi otobiografi. Zul Ifkar adalah calon wakil walikota pasangan H Febby Datuk Bangso Putiah, sahabat saya. Target saya, Jumat sore nanti, pikiran-pikiran Zul Ifkar sudah tertangguk oleh saya. Untuk itu, saya janjikan pula bercakap-cakap dengan Zul Ifkar.
Pada Jumat sore Mamak Kito menelpon saya. “ Uda Pinto, Sabtu berangkat ke Jakarta....”, inel mengingatkan saya. Sampai malam, saya sudah berusaha mencari tiket. Tapi sulit. Tidak kunjung dapat. Malam hari itu, saya lekas menghubungi Inel. “ Nel, masih sulit mendapatkan tiket. Tapi sedang saya usahakan. Tampaknya, semua penerbangan penuh. Pokoknya bilang sama Bapak, saya sedang mengusahakan tiket”, kata saya.
Seminggu sebelumnya, saya juga batal berangkat ke Jakarta mengawani Mamak. Saat itu, saya salah sangka, saya kira berangkatnya jam enam sore, rupanya jam enam pagi.
Jumat itu, saya tidur sekitar pukul dua dinihari, karena saya baru menyelesaikan wawancara dengan Uda Zul Ifkar sekitar pukul satu.
Pagi Sabtu saya dibangunkan oleh sahabat saya H Febby Datuk Bangso Nan Putiah.
“ Da Pinto, alah mulai da Pinto ansua-ansua manulis sosok da Zul Ifkar?” tanya Febby Datuk Bangso sang Calon Walikota Bukittinggi 2016-2021.
Saya hanya menjawabnya tersenyum. “ Tanang se lah Ji “, kata saya pada H Febby yang saya panggil dengan “Ji”. “ Kalau sudah ada bahan, menulis itu soal gampang. Pokoknya, sebelum saya berangkat ke Jakarta, tulisan itu sudah selesai. Asal bahan lengkap, paling-paling saya hanya butuh 3 jam untuk mengarang profil dari A sampai Z itu....”, kata saya.
“ Ooo, jadi da Pinto ka barangkek ka Jakarta? Tiket jam bara Da?” tanya H Febby.
“ Rencana jam 12 siang ko, tapi alun dapek tiket lai”, jawab saya.
“ Kalau baitu, samo se awak barangkek ka Jakarta, awak ada urusan ke Bandung memenuhi undangan tokoh urang awak asal Bukittinggi...Bia awak tolong mancarikan tiket untuk Uda!”, kata H Febby.
“ Ji...ambo harus sampai sore di Jakarta. Ado acara dengan Pak Wagub dan Pak Is Anwar dalam acara pertemuan tokoh Sumatera Barat. Kalau bisa usahokan tiket jam duo siang dih....”.
Sampai jam 12 siang saya masih asik menulis otobiografi Da Zul Ifkar. Padahal saya galau juga, lantaran kabar tiket dari H Febby belum ada kepastian. Sekitar jam 2 siang H Febby baru kasih kabar, bahwa tiket sudah diperoleh, tapi berangkatnya jam 6 sore.
Astaga, itu berarti saya telat. Saya akan gagal menemui Pak Is Anwar. Tapi saya bersikap, lebih baik telat daripada tidak sama sekali.
Sementara, Toni ajudan Pak Wagub sudah berkali-kali menelpon saya dan memastikan keberangkatan saya. “ Aman itu Toni. Bilang ke Mamak, abang akan jumpai mamak di Balairung sore ini di Jakarta”, kata saya berdusta.
Sumpah, sebenarnya saya merasa bersalah telah ‘mendustai’ mamak sendiri. Masih ingat saya, bagaimana almarhum Papa saya berpesan lima jam sebelum beliau berpulang ke Rahmatullah.
Di hadapan, mamak (Pak Muslim Kasim), adik saya, kakak saya, ibu saya dan sejumlah dunsanak saya yang memenuhi ruang perawatan Embun Pagi RSUP DR M Djamil itu, mendadak, papa bicara. Padahal, sebelumnya, papa sulit bicara.
Di samping papa terbaring ada Mamak. Lalu, papa memanggil saya dengan suara yang jelas supaya lebih mendekat kepadanya.
“Kemarilah Nak......”, ujar Papa.
“ Pak Muslim Kasim ini orangnya sangat baik, Ia pemimpin yang baik, jangan pernah Pak Muslim, Pinto khianati. Bantu Pak Muslim sebisamu, Nak “, kata Papa. Saya pegang erat tangan Papa. Air mata saya menitik. Saya pandang Pak Muslim. Air mata haru saya kian jatuh. Saya terharu, karena papa tiba-tiba bicara. Saya berharap, dan berdoa supaya papa dipanjangkan umurnya. Tapi, tiga jam setelah berkata begitu, Papa berpulang dalam dekapan saya dalam kalimah “Laillahaillah” yang saya lafaskan dan diikuti oleh papa.
Papa saya tahu dan mengenal sosok Pak Muslim Kasim. Karena, sejak menjabat bupati periode pertama dan hingga periode kedua di Padangpariaman, sampai Pak Muslim menjadi Wakil Gubernur, saya senantiasa bercerita kepada Papa tentang kepemimpinan Pak Muslim. Sebagai staf khusus Pak Muslim Kasim, tugas saya adalah membuat koran, membuat lagu, membuat beragam tulisan tentang Pak Muslim Kasim. Saya memang diberi tugas secara pribadi oleh Pak Muslim Kasim untuk menulis dan menyosialisasikan kebijakan beliau serta menjadi ‘staf ahli’ beliau dalam bidang kebudayaan.
Saya dapat merasakan , betapa kecewanya mamak kepada saya saat batang hidung saya tak kunjung tampak oleh beliau di Jakarta!
Sungguh, amanah papa saya tak akan pernah saya khianati, keadaan saja yang memaksa begitu.
Saya menyesal telah mendustai Pak Muslim, mamak kita basamo ini. Berangkat jam enam, saya bilang jam 12. Mengapa saya tidak terus terang saja.
Olala, kembali pada soal penulisan otobiografi Zul Ifkar Rahim. Tulisan itu benar-benar sudah selesai pada pukul satu siang. Pukul duanya, tulisan sudah dalam bentuk jilidan.
Sehabis solat ashar, saya dan Febby Dt Bangso Nan Putiah baru beranjak meninggalkan kota Bukittinggi menuju BIM.
Tiba di Padangluar saya baru ingat, bahwa HP saya tertinggal di rumah. Untuk menjemputnya tidak mungkin, karena jalan macet. Bila saya jemput, tiket saya pasti hangus karena telat tiba di BIM.
Saya sampai di Jakarta sekitar pukul sembilan malam. Melalui HP H Febby, saya hubungi Mamak. Tapi HP mamak pada saat itu sedang off. Saya juga lupa nomor HP ajudan Mamak di Jakarta.
“ Begini saja Da Pinto, kawani saja awak ke Bandung dulu, besok pagi awak kawani da Pinto menemui Mamak. Lagian hari sudah malam. Kalau kita turut Mamak da Pinto di Balairung, hari pasti sudah sangat malam....”,ujar Febby menawari saya mengawaninya ke Bandung untuk bertemu dengan tokoh masyarakat Minang asal Bukittinggi serta beberapa kreator muda di kota kembang itu.
Sulit alasan saya menolak. Saya kawani Febby ke Bandung. Sampai di Bandung sekitar pukul 12 malam. Di sana beberapa tokoh sudah menunggu Febby. Peretmuan itu berakhir hingga pukul setengah tiga dinihari. Setelah itu kami kembali ke Jakarta. Sampai di Jakarta pukul lima pagi.
Kami istirahat hingga jam 9 pagi. Jam 10 saya mengunjungi Mamak ke Balairung di Matraman Raya. Di sana saya dapat kabar, mamak sedang menghadiri sebuah helat putra Pak Akbar Tandjung di Gedung JCC Jakarta.
Sudah payah saya mengusai gedung JCC. Sudah saya kincah semua, tapi nan mamak tak kunjung bersua juga. Yang saya temui adalah adanya acara Pameran Kebudayaan (?) di gedung itu.