KISAH-KISAH HAMPIR MATI: PUISI, BIOLA DAN PERTANDA......

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 20 Oktober 2015 15:37:24 WIB


Pada sebuah pentas saya menyaksikan seorang bocah wanita menggesek biola dengan lagu-lagu nusantara. Wow, saya kagum juga melihat anak kecil itu berbiola. Dulu saya pernah bermimpi berpuisi dengan iringan Biola Idris Sardi.
Saya bergumam pada seseorang yang berdiri di samping saya yang tak jauh dari panggung seni dan budaya itu.
 
            “ Berbakat sekali anak itu main biola. Saya merasa terpancing untuk membacakan puisi dengan iringan biola anak itu “, kata saya kepada seseorang yang belakangan saya ketahui sebagai salah seorang panitia penyelenggara rupanya.
            “ Eh, abang yang pemusik di band  itu ya?” katanya kaget mematut saya seraya menyebutkan nama seorang personil band terkenal.
            “ Minta tanda tangannya Bang !” kata cewek muda berambut sirah berkulit kuning itu. Ah, tidakkah tahu dia bahwa salah satu hal yang paling tidak saya suka adalah ketika saya dimirip-miripkan dengan orang.
            “ Tidak, saya bukan pemusik itu. Saya penyair !” ujar saja yang susah payah meyakinkannya bahwa saya bukanlah pemusik yang ia duga.
            “ Ooo, kalau gitu, abang mau menyair di pentas ini?” tawarnya.
            Ada tiga hal yang tak bisa saya tolak, pertama menyair, kedua menyanyi dan ketiga mengarang.
            “ Apa puisi yang akan abang bacakan?”
            “ yang jelas, dalam jiwa saya, dalam diri saya, sudah ada puisi saya....!” kata saya.
            Tak lama kemudian, nama saya dipanggil oleh emsi untuk membacakan puisi. Lantaran nama tersebut, tentu gagah cara saya berjalan ke pentas. Setidaknya menurut perasaan saya.
           Ketika bocah kecil tadi memancing saya mengeluarkan kata hati dengan sayatan biolanya, puisi saya keluar spontan. Saya lihat, banyak pula pengunjung mendekat ke panggung.
            “ Saya puas !”
            “Terimakasih Bang. Merinding saya mendengar abang berpuisi. Luar biasa. Saya akan undang abang dalam beberara acara di Jakarta”, katanya seraya menyerahkan kartu namanya, dan kartu nama itu, lupa saya, di saku mana saya taruh. Terakhir saya diopoknya pula oleh cewek rancak yang jadi panitia itu: " Waw, saya ngerasaian Charil Anwar seperti hidup kembali di atas pentas itu tadi. Tapi mengapa abang terlalu sebentar membaca puisi?".
 
            Yang tidak saya lupa, puisi saya berkisah tentang cinta kepada Indonesia, dan tentang musibah, darah, air mata dan kematian. Nah ini, mengapa saya mengupas kematian di atas panggung itu tadi?
 
            Kemudian, dari JCC, kami ke Roxy. Saya hendak mencari-cari HP. Kebetulan HP yang saya pakai adalah HP lama, Nokia E 90. HP saya itu, acap mati-mati sorang. Sementara H Febby membeli peragatan elektronik untuk mendukung media kampanyenya serta sejumlah batik tulis berkain sutra berharga jutaan untuk souvenir. Saya membeli HP Samsung Galaxi Camera Zoom 21 X.
 
            Waktu hendak keluar dari Mal itu, tiba-tiba saya tergelincir surang. Terpelituk kaki saya ini dibuatnya. Tapi untung tidak sampai terkilir-terkilir benar. Padahal tak ada kulit pisang yang saya pijak.
            Ada apa pula ini?
 
            Tak terasa, hari sudah pukul empat sore saja. Saya dan H Febby memesan tiket berangkat pukul setengah enam dengan pesawat CitiLink.  
 
KISAH DUA
            ***
            Langit Jakarta cerah, sekalipun bukan biru.
            Mungkin karena hari Minggu, macetnya tak parah-parah benar. Yang macet itu justru terasa di hati saya. Tak tahu saya apa sebabnya. Seperti ada yang pergi dari separuh jiwa saya. Kalau disebut apakah ini kegelisahan? Saya rasa tak juga. Hati saya tak enak. Kalau disebut ini tak enak karena saya telah ‘mendustai’ mamak saya dan akhirnya gagal bertemu, saya rasa tak pulalah. Karena, saya sudah berupaya keras mencari beliau di Jakarta.
 
            Hati saya kacau. Kalau kacaunya karena banyak pelerjaan yang menumpuk, saya rasa tak juga begitu.Karena, saya sudah berupaya mengangsur-angsur pekerjaan itu sedikit demi sedikit.
 
            Hati saya galau. Lebih galau dari lagu dangdut Indonesia. Saya tak tahu apa penyebabnya. Mungkinkah galau akibat terlalu banyak janji bertemu dengan berbagai komunitas seni dan budaya yang kadang-kadang terpenuhi, kadang-kadang tak sempat saya temui. Entahlah.
 
            Di atas mobil kijang menjelang Bandara Soekarno Hatta, panjang pangana saya. Saya lihat, H Febby yang duduk di muka asik membuka-buka link berita di internet. Sahabat saya ini memang sahabat gigih yang tak mengenal lelah.
 
            Sekitar-sekitar pukul setengah enam, semua penumpang masuk pesawat. Saya dapat duduk agak di muka, di bangku nomor 2 E dan H Febby di bangku 2 F, persis dekat jendela benar.
 
            Seperti elang yang gagah, pesawat Citilink terbang menyongsong langit Jakarta.
 
            Berkali-kali sudah saya naik pesawat terbang, tapi mengapa kali ini agak lain dan ada rasa agak gamang. Padahal, di luar langit Jakarta cerah-cerah saja. Tak ada yang aneh di atas langit. Yang aneh itu hanya perasaan saya yang gelisah. Kalau di samping kanan saya ada H Febby yang asik menulis pada sebuah buku notes, di samping kiri saya justru ada penumpang yang asik benar tampaknya  membaca buku. Seperti orang serius benar lagaknya. Entah buku apa yang ia baca, yang jelas ia sering memperbaiki letak kacamantanya yang kadang meloroh ke bawah.
 
           Benar adanya,  langit seperti sulit di tebak. Perjalanan Jakarta Padang yang berjarak hampir 1000 KM itu biasanya ditempuh dalam waktu 1 jam 30 menit.
           Satu jam pesawat di atas awan, keadaan masih aman rupa. Memasuki jam berikutnya, teror langit mulai terasa. Cuaca mulai memburuk drastis.
            Tiap sebentar, kerja pesawat pesawat seperti menghantuk awan saja. Getarannya membuat pesawat mau akan rarak rasanya. Di luar jendela pesawat basah. Awan mulai memecahkan hujan. Hujan mulai jatuh leluasa. Dari jauh-jauh tampak langit berkilat-kilat dan berguruh.
 
            Pesawat kian keras bunyi daramnya. Berdaran karena  menghantam awan. Tiap itu pula saya yakini, orang berada dalam kecemasan yang seragam. Pria di samping saya yang tadi asik membaca, kini tampak bermuka rusuh. Tiap sebentar ia menghirup nafas dalam, seperti ada kenyerian yang ia rasa. Tiap pesawat bunyi berdaram dan berlangkang, tiap itu pula saya memandang ke arahnya, dengan pandangan cemas. Dan dia, menakur menyembunyikan kecemasannya sendiri. Sementara, di samping saya H Febby tampak tenang. Tapi lidanya komat-kamit membaca zikir. Saya dapat merasakan, bahwa kecemasan saya dan kecemasan H Febby adalah kecemasan yang sama. Ketika  pesawat bergetar menghantam awan tebal dalam badai itu, saya melirik panjang ke H Febby, seolah-olah saya ingin mengisyaratkan sesuatu dan menyampaikan bahasa mata; semoga tak terjadi apa-apa. Berdoa sajalah kita!