KISAH-KISAH HAMPIR MATI: PANIK DI BAWAH ANCAMAN MAUT
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 20 Oktober 2015 08:09:25 WIB
Sungguh, itulah puncak kecemasan. Saya menyesal telah menyiksa diri saya sendiri dengan membayangkan bahwa sebentar lagi pesawat ini akan meledak. Kami akan mati terpanggang secara massal di atas pesawat ini. Saat itulah, ternyata ujung dari ketakutan, ujung dari kecemasan, ujung dari segala kengerian adalah “tawaqal” dan sabar dan ikhlas. Saya sudah mengikhlaskan diri saya dipanggil Allah. Tapi, sebelum ditangisi orang-orang disayang, sebenarnya...saya sudah sejak dari tadi menangis ngilu. Kembali bayangan buruk menerkam, dalam hitungan tak lama lagi bisa saja pesawat ini 'meletus'.
Pas terbayang oleh saya hal ini, pramugari tadi langsung membuka pintu. Penumpang di belakang sudah makin kelibut, jauh lebih kelibut dari nuansa politik kita dalam era pilkada serentak pasca keputusan MK.
Saya telanjur membayangkan , para tim penolong, mobil ambulan, mobil kebakaran tentu sudah ramai di bawah.....
Begitu pintu terbuka, angin keras langsung masuk ke pesawat. Saya lihat, selain angin yang kencang, hujan juga turun deras.
Saya lihat di pintu darurat itu terbentang seluncuran.
“Bapak-bapak, jangan panik. Turun seorang demi seorang. Turun dengan melompat.Jangan panik. Bapak, silakan turun duluan...”, kata pramugari itu seraya menunjuk ke H Febby yang paling berada di dekat pintu. Saya langsung memandang ke H Febby untuk memberi dukungan melompat.
“Melompat ya Pak !”, sekali lagi pramugari itu berwanti-wanti.
Saya perhatikan secara seksama bagaimana cara H Febby melompat.Sayang melompatnya kuat benar. Sampai agak terlambung pula sedikit. Begitu H Febby sampai di bawah, tampak dan seperti terdengar ada bunyi orang terdangek. Hekkkkk!Kaget saya, lai indak patah pinggang calon Pak Wali kita ini? Buruk benar cara turunnya H Febby. Bahkan saya nilai lebih buruk pula dari cara turunnya pesawat ini. Pertama, seperti tadangek. Kedua, seperti agak tersungkur.Sudah terdangek ke pinggang, seperti tersungkur pula ke depan. Ia terpaku.Tegak sendiri. Saya bisa merasakan betapa sakitnya itu.
Saya lihat, H Febby berdiri spontan, tapi seperti orang yang sedang memegang dan meraba-raba pinggang. Saya perhatikan, tangannya lai indak terkilir bagai?
Diam-diam dalam tempo cepat, saya mempelajari cara turun H Febby. Turunnya saya adalah turun yang tak perlu menghambungkan badan. Saya turun hati-hati.Seperti turunnya main seluncuran di water boom Mifan. Persis dugaan saya. Turunnya saya bagus. Saya langsung disambut oleh rumput yang basah tergenang air hujan yang deras.
Pada area yang luasnya berhektar-hektar dengan panjang landasan berkilometer, tentu membuat angin lepas dan leluasa menyengat.Menyengat dalam hujan. Hujan benar-benar telah menjelma menjadi duri-duri. Tikamannya seperti mencacar tulang kita. Dingin sekali. Saya menggigil.
Langsung saya kejutkan H Febby. “ Jiiiiiiiiiiii!”, ia tersintak.
“Da Pinto, bantu urang tu ha....”, teriak H Febby yang berlari ke arah tangga belakang karena melihat seorang amak yang tampaknya butuh bantuan. Kami pun berlari menuju ke amak itu, dan memapahnya tertatih-tatih...
Rata-rata naluri penumpang berlari menjauhi pesawat. Bayangan kebanyakan penumpang tentu sebentar lagi pesawat itu akan meledak.
Ancaman lain pun tiba tak reda-reda. Dingin membuat kita sangat menggeretat. Hujan dan angin makin lepas mengipas. Menusuk sekali. Saya saja yang laki-laki menggigil dibuatnya. Apalagi anak-anak dan para bocah, tak sanggup saya membayangkannya. Bila di atas pesawat tadi dalam ancaman ketakukan yang lain, kini terjadi ancaman nyata yakni dingin yang sangat luar biasa tajamnya menusuk tulang. Seumur-umur hidup, baru kali ini saya mendapati dingin yang menggila. Saya rasa, saya dan beberapa orang tak akan sanggup menuju anjungan BIM yang seakan-akan 'membisu'.
Dalam hujan lebat dan angin kencang, jauh benar rasanya anjungan itu dari pesawat yang tergelincir dan sebelah rodanya sudah ke tanah agaknya. Padahal saya perkirakan, jaunya anjungan itu, barangkali hanya sekitar 300 meter saja. Tapi mengapa seperti jauh. Jauh sekali rasanya...
Bila tadi pesawat yang bergetar menghantam awan menerjang badai, kini justru tubuh saya yang bergetar dihantam angin kencang dan hujan deras. Sekali lagi saya pasrahkan diri, sebentar lagi saya bisa membeku di atas rumput yang berhujan ini. Kalau itu terjadi harapan saya tim SAR cepat menemui batang tubuh saya...
Terus saja penumpang berlarian panik menuju arah anjungan BIM.
“Tidak bisa...tidak bisa...ada sungai...ada sungai yang menghambat!”
Sekali lagi saya heran. Sungai mana pula itu? Setahu saya tak ada sungai yang membentang di lintasan bandara ini. Mungkin yang dimaksud oleh orang-orang yang berteriak ada sungai itu adalah aliran atau saluran air sebesar bandar-bandar kecil yang dipenuh air akibat hujan lebat.
Semua penumpang yang sudah telanjur itupun akhirnya mundur kembali. Kembali ke arah pesawat. Gila... mengapa kembali ke arah pesawat? Ya, tak ada pilihan lain untuk berjalan menuju anjungan kita harus mendekat ke arah pesawat, lalu berlari ke arah Utara dan belok ke kanan untuk menghindari aliran air yang disangka sungai itu.
Saya tak mengerti, mengapa tak ramai adanya ambulan, bus, untuk mengevakuasi penumpang. Mengapa? Apakah kita belum siap dalam tanggap darurat. Mengapa tidak seperti adegan dalam filem amerika menyangkut tragedi pesawat terbang? Dimana, begitu pesawat dikhawatirkan akan susah mendarat, para tim penolong sudah super siaga di bandara.
Lalu dari jauh saya melihat satu mobil menuju kemari. Sementara, tubuh saya dan mungkin saja tubuh sebagian besar penumpang sudah menggigil habis menahan angin yang lepas, hujan yang deras. Mobil itu adalah mobil semi pik-ap BNPD Sumbar. Banyak penumpang langsung memburu mobil itu.
Bayangkan, bagaimana caranya ketika tubuh tipis anak-anak menahan dingin yang amat sangat ini. Bagaimana dengan orang hamil? Bagaimana dengan orang tua-tua yang ringkih? Bagaimana...?
Saya bertanya sendiri, jika terjadi gempa besar, apakah kita akan mampu dan sigap serta cepat menyelamatkan ratusan ribu masyarakat yang terancam tsunami misalnya? Sebab, saya melihat dan merasakan, pertolongan untuk seratus orang saja yang hanya butuh dievakuasi sejauh 200 atau 300 meter saja kita sudah kalangkabut dan kurang sigap. Ah, tertikam saya membayangkan ini.
Sebagian penumpang yang lain terus berusaha berlarian menuju anjungan itu.
Sewaktu satu mobil pik up diburu oleh penumpang, tentu yang terjadi adalah saling berebutan dan saling berdesakan.
“Saya dan Datuk Febby sudah berada di atas bak mobil itu. Ada yang terpekik; “Ondeh badan wak tahimpik ha...kaki ambo tapijak......!”.
Dan tiba-tiba pada mobil yang sudah saya, dan Febby naiki dengan sejumlah penumpang itu tampak ada anak-anak yang merengek dan orang tua yang menggigil, kami spontan turun kembali.
“ Da Pinto, bia awak turun...naik anlah dulu anak-anak ini”, tukas Febby.
Saya pribadi sudah merasa tak tahan. Sudahlah kurang tidur, kena hujan deras dan angin kencang pula lagi. Mencirudu rasanya tubuh saya. Ingin rasanya saya memilih pingsan saja supaya lepas dari dingin yang memenjara ini. Sama dengan H Febby, saya harus turun dan memebrikan kesempatan naik kepada anak-anak...
Lalu dari jauh tampak lagi, sebuah mobil kijang minibus. Saya tak tahan. Saya harus mengejar itu mobil. Saya mengejar bukan semata untuk diri saya, tapi adalah untuk anak dan istri saya. Saya tak sanggup membayangkan anak saya menjadi yatim dan istri saya menjadi janda. Makanya, saya berlari kencang. Saya lihat H Febby juga begitu. Tapi, ada orangtua yang ia bimbing. Bukan saya tak mau membantu, diri saya saja, sungguh, tak merepotkan orang saja sudah syukur rasanya.
Saya naik di depan. Beberapa orang ibu-ibu mengikutinya. Seorang bapak tua, duduk di samping saya bersempit-sempit. Dan kemudian seorang bocah perempuan. Jadilah berempat dengan sopir kami duduk di muka.
Ya, saya sujud syukur setiba di anjungan penumpang.
Baik saya, maupun H Febby, walaupun memiliki kesempatan untuk mengambil barang yang ditaruh di atas tempat duduk kami, tapi itu tidak kami lakukan. Pada saat seperti ini, harta benda menjadi terasa tak diperlukan..tak dibutuhkan. Ternyata hidup jauh lebih berharga dari harta atau bahkan tahta.
Saya baru sadar, bahwa saya tak memiliki HP. HP kamera yang saya beli di Roxy sore tadi, juga sudah basah kuyup. Kalaupun hidup, sekalipun sudah saya pasang kartu perdana, tapi saya belum mengerti menggunakannya. Di Bandara Soekarno Hatta sudah saya pelajari, tapi tak bisa. Saya minta bantuan H Febby, setelah diutak-atik Febby, juga gagal mengoperasikannya. Ya, sudahlah.
Ada saya coba menyalakan HP itu setiba sudah di anjungan untuk merekam kejadian. Ada dua atau tiga kali saya memotret menggunakan HP baru itu, tapi HP itu telanjur macet karena basah disiram hujan.
Saya lihat beberapa orang ada yang ditandu.Sebagian anak-anak menggigil kedinginan. Yang punya uang lekas mengambil inisiatif sendiri dengan memburu baju kaos yang dijual di store yang ada di BIM. Tapi bagaimana dengan yang tidak beruang.Sementara, pakaiannya terjebak dalam pesawat. Mungkin ada tas yang ia bawa, tentu tas di tangan itu sudah basah kuyup juga.
Orang menggigil.Orang-orang kedinginan. Wajah-wajah kepanikan masih tampak menyebar di rupa para penumpang yang terjebak dalam tragedi Citilink ini.
Saya dan Febby lekas mengambil inisiatif, yakni mencari secangkir kopi hangat di cafe yang ada di lantai dua BIM. HP H Febby lowbet pula. Pada saat itulah saya melihat seorang Bapak sedang membrowsing. Saya dekati Bapak itu.
“ Boleh saya pinjam laptopnya sebentar Pak?”
“Silakan...”, kata Bapak itu dengan ramah.
Lalu saya buka FB saya. Saya berharap dengan membuka FB saya, saya ingin memberi kabar kepada adik saya yang acap membuka FB. Saya ingin memberi kabar kepada sahabat saya, bahwa saya alhamdulillah selamat. Saya tak ingin orang-orang dekat saya mencemaskan hidup dan diri saya. Dalam keadaan panik dan kacau saya menulis di FB:”RAGEDI CITY LINK DI BIM
Dan inilah pengalaman itu, pengalaman hampir mati dan merasakan mati dalam badai dan ketakutan, ketika malam ini pesawat citylink yang saya tumpangi dalam sebuah musibah pendaratan. Beberapa orang ada yang pingsan. Dalam hujan badai dan basah kuyup, saya merasakan ketidaksiapan kita dalam menghadapi musibah di bandara. Saya akan ceritakan, kisah menakutkan ini. Alhamdulilah, saya selamat; kini Bandara International Minangkabau masih menyisakan kepanikan...tunggulah catatan hidup yang mengerikan ini. Ngeri dalam ancaman pesawat yang meledak, lalu kami terkurung dan terpanggang bersama. Menakutkan sekali bayangan kematian itu. Allahu akbar!”
Benar dugaan saya, tak lama kemudian adik saya Pipit Janir mengabari istri dan anak-anak saya di Bukittinggi, hasil informasi dari FB. Pada grup “The Ponakan, grup cetingan antara saya dan ponakan serta kami beradik kakak dan keluarga besar Janir Sutan Kayo, hilang gelisah mereka. Alhamdulilah, Odang selamat...odang selamat!”.
Istri saya dengan instingnya menelpon ke H Febby, karena istri saya mungkin tahu kalau HP saya tertinggal di rumah. Istri dan anak-anak bergantian menelpon. Saya jadi plong dan lega.
Ada yang terpikir oleh saya, bukankah bandara kita adalh bandara bertaraf international yang tentu saja layanan tanggap daruratnya juga harus menginternational. Saya bersaran, sebaiknya di BIM disiagakan bus evakuasi.Lalu dibuat ruang klinik yang luas dan yang lengkap dengan perawatan medis tanggap darurat. Bukan ruang klinik sebesar bilik sipen. Setidaknya dilengkapi dengan selimut, baju dan makanan-makanan kering. Selimut baru tiba setelah sekian jam kejadian. Saya dan H Febby tak ambil bagian karena saya lihat masih ada penumpang yang belum mendapatkannya.
Yang penting, kami penumpang pesawat Citilink, Insya Allah selamat semua. Saya berpesan, hidup ini singkat. Hidup ini tak akan lama. Kapan dan dimana saja kita bisa mati. Untuk itu, mengapa tidak kita pertaat saja kehidupan ini dalam mempertebal keimanan. Ternyata, sejauh-jauh kita berjalan, titik yang akan kita temui adalah kematian.
Saya baru benar-benar meninggalkan BIM sekitar pukul 12 malam. Setelah, barang-barang saya dan barang-barang penumpang yang lainnya dapat dikeluarkan dari pesawat. Di luar, di halaman BIM, baru saya lihat betapa banyaknya ambulan dan mobil SAR. Maaf, ini mengingatkan saya bagaikan kisah dalam filem India.
H Febby saya sarankan ke rumah sakit, seperti penumpang yang lain yang sudah lebih dahuluan ‘dirujuk’ ke RS Siti Rahmah.
“Ji, periksalah ke rumah sakit. Jalan Ji agak tengkak-tengkak saya lihat”, ujar saya ke H Febby.
“Iyo da Pinto, kawani awak yo....!”
Sewaktu akan keluar dari BIM, H Febby bertemu dengan Distrik Sales Manager (DSM) Citilink Sugiarto.
“ Pak Febby sehatkan?” tanya Sugiarto simpati. Haji Febby menggeleng. “Saya mau ke rumah sakit PT Semen Padang mereiksa badan saya......”, jawab Febby.
“ Kita rujuk semua korban ke RS Siti Rahmah Pak Febby.....biar Pak Febbynya saya antar ke RS”, kata Sugiarto.
“ Tapi Pak Febby, kita antar dulu ya Bapak ini ke Hotel Bumi Minang. Sebab penumpang pesawat citilink yang tergelincir itu, yang rumahnya di luar daerah, kita inapkan di Hotel Bumi Minang”, tukas Sugiarto.
Setelah mengantar penumpang asal Payakumbuh itu ke Hotel Bumi Minang, kamipun melaju ke RS Siti Rahmah memeriksa keadaan Febby.
Dalam perjalanan, di depan kantor Balaikota Padang di By Pass Aiapacah, terjadi pula banjir. Air menggenang dan merayap di pinggir jalan. Masuk ke gerbang rumah sakit, sekali lagi air meruyak. Halaman rumah sakit itu penuh pula oleh air.Banjir.
Usai periksa keadaan Febby, kami kembali ke Bukittinggi dengan kendaraan jemputan dari saudara Febby.Saya lihat hari sudah pukul dua dinihari.
Saya tiba di Bukittinggi pukul 4 pagi. Anak dan istri tak tidur menunggu saya. Satu persatu mereka saya peluk.
Hingga kini saya masih belum tidur. Saya ingin menuliskan kisah ini seperti yang saya janjikan di status FB saya.
Saya ucapkan banyak terimakasih kepada sahabat FB, atas segala doanya.
Ini adalah pelajaran bagi kita semua. Saya tetap berharap, semoga kita benar-benar cepat, sigap dalam tanggap darurat. Tak usah dulu bicara bagaimana mengevakuasi ratusan ribu jiwa, sebelum kita benar-benar mampu dengan hebat mengevakuasi ratusan jiwa manusia dalam petaka.
Biarlah saya tidur dulu, siapa tahu dalam tidur nanti saya dapat pula mimpi yang rancak.
Saya berharap terbangun pada waktu Zhuhur masuk, biar saya bisa berwudhu.
“ LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHAALIMIIN (Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya). Sesungguhnya tidaklah seorang muslim berdoa dengannya dalam suatu masalah melainkan Allah kabulkan baginya.”