KISAH-KISAH HAMPIR MATI: BERLAYAR DIAYUN GELOMBANG TERBANG DIGUNCANG BADAI

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 20 Oktober 2015 07:58:55 WIB


Bukankah berperahu kalau tak diayun gelombang bukan berlayar namanya? Begitu pula dengan naik pesawat, kalau tak ada tahanyak-hanyaknya dan badaram-daramnya, tak pula ada serunya. Tapi bunyi daram yang berlebihan, juga membuat hati kita berdampung. Seberani-beraninya orang, saya yakini kalau ikut berada di sini, pasti akan menggacar.
            Saya melihat ke belakang saya, nyaris tak ada penumpang yang berwajah tanang. Kalau pun ada yang terlihat tanang, itu mungkin hanya sebagai sesuatu apa yang kita sebut dengan bertenang-tenangkan badan, menghibur-hibur diri. dalam keadaan serupa ini, menghibur apa juga lagi...
 
            Di luar di langit berawan gelap, cahaya kilat seperti hendak menyengat saja. Saat itulah saya merasakan, sebentar lagi mati!
            Mati?
 
            Saya belum pernah mati. Hampir mati sering. Saya kembali mengingat kisah-kisah hampir matinya saya. Kisah hampir mati pertama bermula ketika saya berusia bocahan. Sekitar kelas 4 SD. Rumah saya di Gunuangpangilun, kampuang saya di Alaiparakkopi, bako saya asal Duriankapeh Tiku.
 
            Tiap pertengahan Ramadhan, di Pasar Alai selalu ada pasar malam. Di Pasar malam itu diramaikan dengan buayan kaliang. Tiang dan sangkarnya dari kayu. Tiap sangkar, orang berenam. Kadang, di tengah-tengah tempat duduknya, ada pula orang agak seorang menyelat. Buayan kaliang diayun oleh orang. Bertenaga manusia, bukan mesin. Saya candu sekali naik buayan kaliang. Ibu saya sering melarang, jan naik buayan kaliang juo, jatuah bekoh. Tapi saya tetap madar. Tetap naik. karena saya candu. Apalagi saya sering naik perai, karena yang mengayun buayan kaliang itu rata-rata sanak saya juga.
 
            Suatu malam, saya naik buayan kaliang lagi. Tukang ayunnya bersemangat mengayun. Bersijadi. Apalagi kalau ada pula cewek rancak yang naik, biasanya tukang ayun akan over akting dengan ikut pula bergayut seputaran. Tukang ayun yang paling  melegend di pangana saya adalah Uda Koncon dan uda Bodet. Dua-duanya sudah almarhum.  Baik Uda  Koncon maupun Uda Bodet sering memeraikan saya tiap naik buayan.
 
            Pada suatu ayunan, saya mendengar ada bunyi berderik-derik seperti ranting hendak patah. Naluri saya berkata; saya harus melompat segera. Ketika sangkar saya berada pada jarum jam 9, saya langsung melompat. Benar adanya. Sumbu buayan itu patah. Pekik dan ratap serta panik membahana. Sementara, saya sudah duluan terjangkang atas tanah berumput. Dengan jelas saya melihat, ada darah. Di sangkar tempat saya duduk tadi, seorang terkapar mati dengan kayu menusuk dadanya. Ngeri. Seorang lagi, di sangkar yang sama, ada kayu menembus perut. Mati di tempat.
            Lalu, dari Simpang Alai saya kisai lari bersijadi ke rumah saya di Gunungpangilun. Tiba di rumah, nafas saya sesak. “ Adoh apo kok sasak na angok?” tanya ibu saya. Saya tidak menjawab. Saya lekas-lekas masuk ke kamar, seakan-akan berlaku tak terjadi apa-apa. Saya usahakan diri saya bentuk orang tak mengalami apa-apa. Padahal, tadi di depan saya ada kayu mencucuk dada, ada kayu mencucuk perut, ada darah berleak-leka, ada pekik dan ratap bentuk memecah langit....
 
            Tiba-tiba datang adik ibu saya—saya beronggok—kepadanya. “ Ni...ni...ni...ma si Pinto?” tanya Onggok merabik-rabik memanggil ibu saya. “Inyo di kamarnyo....!” jawab ibu.
 
            “Ondeh Ni, inyo tadi naik buayan kaliang mah. Adoh urang nan mangabakan ka ambo....!”
 
            Dummm....dum...! Dua kali.....Dum. Dua kali bergetar badan pesawat ini.
 
Lamunan saya buyar ketika pesawat yang sedang saya naiki ini badaram pula lagi. Pangana sudah menyusun bayangan yang tidak-tidak.
 
           Daripada memikirkan yang tidak-tidak, lebih baik saya melamun saja. melamunkan kisah hampir matinya saya itu...
 
            Sewaktu kelas enam SD, pada 5 Oktober peringatan hari ABRI. Ada kapal perang di teluk Bayur. Masyarakat boleh menaikinya. Isunya, kapal perang itu akan membawa masyarakat raun-raun ramai-ramai. Terang saja teluk bayur rami dikunjungi orang. Namanya saja raun perai, naik kapal perang laigi, siapa pula yang tidak mau, termasuk  saya dan kawan-kawan dari Simpang Alai. Berduyun-duyun kami ke Teluk Bayur.
 
            Gila. Bayangkan, dari Simpang Alai kami berjalan kaki ke Teluk Bayur.
 
            Lalu, apa yang terjadi? Inilah sebuah tragedi yang memilukan itu. Konon, beberapa masyarakat terjebak masuk di lambung perut kapal. Lambung kapal itu makin lama makin disesaki pengunjung. Lama-lama menjadi pengab dan kekurangan oksigen. Banyak masyarakat pingsan dan kabarnya banyak pula yang mati. Orang kampung saya, orang Alai, ada yang menjadi korban.Namanya; Kopa. Kopa, sepangkat dengan kakak saya yang paling besar; yakni Citra Onilia Janir.
 
            Kakak, ibu dan dunsanak ibu saya serta mamak saya, serombong-rombongan mencari saya ke RSUP DR M Djamil. Diperiksa semua korban, tak juga saya bertemu. Keluarga saya sudah membayangkan bahwa saya menjadi korban, bayangan buruknya; saya mati.
 
            Padahal saya hidup. Karena entah mengapa, begitu sampai di Mata Air, saya berbalik surut.  Menggelicik. Memisahkan dri dari kawan-kawan. Saya kembali pulang. Tapi pulangnya telat, agak malam sedikit.
 
            Begitu saya muncul di rumah, orang sudah ramai saja. Sudah berkumpul semua sanak saudara saya. “ Ondeh Nak oi....untuang wa-ang hiduik Nak......”, ujar ibu, nenek dan etek-etek saya yang memeluk saya bergantian. Padahal saya tidak merasa apa-apa.