Konflik lahan dengan perusahaan
Berita Utama DENY SURYANI, S.IP(Sekretariat DPRD Prov. Sumbar) 28 Oktober 2015 04:29:20 WIB
PADANG, HALUAN — Konflik lahan yang terjadi antara masyarakat Korong Kampung Surau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya dengan perusahaan perkebunan, PT Bina Pratama Sakato Jaya mendapat perhatian serius Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumbar.
Saat kunjungan kerja (kunker) Komisi I ke Kabupaten Dharmasraya, Jumat (23/10) terungkap, sengeketa lahan antara masyarakat dengan PT Bina Pratama Sakato Jaya diduga masyarakat kehilangan tanah ulayat hingga 1.000 hektare lebih. Hal itu terjadi karena luas lahan yang tertera dalam izin Hak Guna Usaha (HGU) dengan yang dimanfaatkan perusahaan lebih banyak.
Ketua Komisi I DPRD Sumbar, Marlis mengatakan, PT Bina Pratama sebagai yang membuat perjanjian dengan masyarakat diduga juga tidak menepati kesepakatan.
“Menindaklanjuti masalah itu, kami mengumpulkan fakta-fakta,” kata Marlis didampingi Anggota Komisi I DPRD Sumbar, Komi Caniago, Novi Yuliasni, dan Ahmad Rius.
Salah salah seorang tokoh masyarakat Kampung Surau, Kabupaten Dharmasraya, Anwar di hadapan rombongan Komisi I, dan Pj Bupati Dharmasraya Syafrizal Ucok, menyebutkan, dalam perjanjian Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki PT Bina Pratama Sakato Jaya, tanah yang diizinkan untuk dipakai hanya sekitar 1.000 hektare.
“Namun, setelah kami lakukan pengukuran, kenyataannya luas lahan yang dimanfaatkan oleh PT Bina Pratama ini mencapai 2.000 hektare lebih. Kami jelas-jelas sangat dirugikan dengan ini, ini adalah tanah ulayat yang merupakan milik kaum, dan kami akan terus perjuangkan,” kata Anwar.
Disebutkan Anwar lagi, selain ada kebohongan dari pihak perusahaan tentang luas tanah yang dimanfaatkan, masyarakat juga merasa ditipu dengan perjanjian yang dibuat.
Perjanjian yang dilakukan pada tahun 1999 lalu, dalam kesepakatan disebutkan, masyarakat akan diberikan perkebunan plasma oleh pengelola dengan luas 700 hektare. Namun realisasi hanya setengahnya, sementara sisanya didiamkan saja.
“Tak hanya itu, sebahagian perkebunan plasma yang telah diberikan tersebut juga sangat tidak layak. Tidak bisa menghasilkan sesuai harapan,” tutur Anwar kesal.
Kemudian, tambahnya, tindakan lain PT Pratama Sakato Jaya dinilai berbuat sekendak hati atas perpanjangan perjanjian.
Pada perjanjian awal atau periode pertama, HGU yang diberikan sampai tahun 2035. Namun, belum habis periode pertama, pada tahun 2005 lalu, perjanjian tersebut telah diperpanjang sendiri sampai tahun 2094. Ini dilakukan, tanpa dibicarakan terlebih dahulu dengan ninik mamak setempat. Namun, katanya, karena masyarakat tak punya kekuatan untuk melawan, hal tersebut akhirnya terus berlangsung.
Apa yang disampaikan oleh Anwar, senada juga dengan tokoh masyarakat Kampung Surau yang lain, Sudirman. Ia menyebut, selain tidak menepati kesepakatan awal, PT Bina Pratama juga banyak menyisakan persoalan di kampungnya. Di antaranya, Kampung Surau dan wilayah sekitarnya terkena dampak limbah perkebunan.
Menanggapi ini, Marlis mengatakan, kedatangan ia dan rombongan hari itu ke Kabupaten Dharmasraya adalah bentuk keprihatinan atas banyaknya kasus sengketa lahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan.
Persoalan yang sama juga terjadi di daerah lain, seperti Pasaman, Solok Selatan, Kabupaten Pessel, Agam.
”Hampir setiap bulan kami selalu menerima laporan terkait kasus serupa. Ini menjadi perhatian bagi kami, karena, selain merugikan masyarakat ini juga sangat merugikan negara,” ungkap Marlis.
Kelebihan luas lahan yang tak sesuai dengan HGU seharusnyadibayarkan oleh perusahaan bersangkutan pada pemerintah dalam bentuk pajak. Namun karena, ada fakta luas tanah yang disembunyikan, uang yang seharusnya masuk ke negara tak bisa ditarik penerimaannya.
“ Kami akan mengajukan pada pimpinan agar penyelesaiaan masalah ini, dibentuk Pansus,” pungkas Marlis.
Di lain pihak, Pj Bupati Kabupaten Dharmasraya, Syafrizal Ucok menyebut persoalan ini juga telah mendapat perhatian khusus oleh pihaknya. Untuk ini, kata Syafrizal, daerah telah membentuk tim yang diberi nama tim 9, guna menyelidiki dan menyelesaikan masalah itu.
“ Untuk mengetahui secara pasti beberapa kelebihan tanah masyarakat yang disebut telah dimanfaatkan oleh PT Bina Sakato Jaya, tahun 2016 mendatang kami akan anggarkan sebesat Rp1 miliar untuk biaya pengukuran,” tandas Syafrizal.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mencatat sepanjang 2013 sampai 2015, tercatat terjadi ribuan kasus tanah. Dalam hal ini, luas lahan yang dipersengketakan mencapai 3.110,2 hektare, dengan masyarakat yang dirugikan mencapai 3.374 orang. (harianhaluan.com)