Pengangguran

artikel 2 Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 22 Juni 2015 06:40:43 WIB


Dulu, suatu ketika seorang teman bertanya kepada Moyardi Kasim (alm).”Uda dima karajo (kakak bekerja dimana)?”

“Ambo ndak karajo doh, manganggur (saya tidak bekerja, menganggur),” jawab Moyardi Kasim. Teman yang bertanya tadi menjadi heran, karena Moyardi adalah lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), menurut perkiraannya pastilah beliau telah menjadi seorang pejabat di suatu instansi pemerintah dengan jabatan cukup penting, ndak mungkin ia menganggur. “Ambo cuma manggaleh ketek-ketek (saya cuma berjualan kecil-kecilan),” lanjut Moyardi.

Tentu saja kawan yang bertanya tadi tidak tahu siapa Alm. Moyardi Kasim. Ia adalah putra Sutan Kasim, pemilik PT. Sutam Kasim, dealer kendaraan Mitsubishi terbesar di Sumatera Barat. Yang dimaksud Moyardi dengan manggaleh tadi adalah menjadi dealer (berjualan) mobil.

Ini adalah contoh sederhana, bagaimana umumnya orang Minang mendeskripsikan sebuah pekerjaan atau profesi. Umumnya, dari dulu hingga kini seseorang dikatakan bekerja, jika ia menjadi pegawai di kantor pemerintah. Jika tetangga bertanya, anak yang beberapa waktu lalu tamat kuliah, sekarang bekerja dimana? Pertanyaan itu masih jamak dijawab dengan mengatakan belum bekerja, cuma berkolam ikan, sambil menunggu lamarannya bekerja diterima. Atau bekerja bersama keluarga berjualan di pasar.

 Pada hal tak jarang penghasilan yang dia peroleh berjualan atau  usaha kolam ikan jauh lebih besar dibandingkan menjadi pegawai, namun ia tetap saja dikatakan menganggur atau tidak bekerja.

Dalam mendiskripsikan profesi dan memilih jalur profesi, masyarakat etnis Minang memang mempunyai keunikan tersendiri. Orang Minang secara umum cendrung lebih menyukai profesi sebagai pedagang kaki lima misalnya dibandingkan menjadi buruh bangunan, buruh pabrik  atau pembantu rumah tangga. Hal ini diduga dipengaruhi sifat masyarakat Minang yang egaliter. Etnis Minang memang terkenal sebagai kelompok yang campin berdagang.

Oleh karena itu perlu pendekatan yang spesifik pula untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat Minang. Di daerah lain membuka lapangan kerja bisa dilakukan pendekatan usaha padat karya. Dengan membuka satu pabrik yang padat karya saja, misalnya, langsung bisa menyerap ribuan tenaga kerja sekaligus.

Namun hal serupa belum tentu juga sukses dilakukan di Sumatera Barat. Buktinya perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan pola padat karya di Sumatera Barat umumnya gagal. Sebut saja contohnya PT. Sumatex Subur, PT. Asia Biskuit, PT. Poliguna dan lain-lain sejenisnya gagal bertahan lama. Jika ada pekerja kasar pada suatu usaha di Sumatera Barat, umumnya pekerja tersebut didatangkan dari luar Sumatera Barat.

Sejumlah pengamatan dan pengalaman, membuka lapangan kerja di Sumatera Barat harus dilakukan dengan pendekatan khusus. Usaha yang cocok dikembangkan di Sumatera Barat adalah usaha industri rumah tangga (home industri) dengan pola UMKM (usaha Kecil Mikro dan Menengah) bagi pengusaha pemula. Usaha keluarga lainnya yang bisa dikembangkan adalah pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Dengan bahasa sederhana orang Minang lebih memilih profesi sebagai pengusaha (meski awalnya kecil) dibandingkan menjadi buruh. Potensi yang dimiliki masyarakat Minang sebagai enterpreneur (pengusaha) harus dioptimalkan.

Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat beserta Pemerintah Kabupaten dan Kota, dengan pendekatan tersebut  telah berhasil menurunkan tingkat pengangguran di Sumatera Barat. Menurut data Biro Pusat Statistik Sumatera Barat Tingkat Pengangguran Terbuka di Sumatera Barat pada tahun 2015 adalah 6,89 persen, angka ini 0,5 persen di atas rata-rata nasional.

Namun dari segi persentase jumlah penduduk miskin, Sumatera Barat menempati peringkat 7 dengan jumlah persentase penduduk miskin terkecil di Indonesia. Sedangkan di Sumatera, Sumatera Barat menempati peringkat ke 3 setelah Jambi dan Lampung.

Namun apakah benar tingkat pengangguran di Sumatera Barat memang benar  seperti hasil survai, perlu ditelaah dan dianalisa lagi. Karena seperti dicontohkan di atas, deskripsi menganggur/tidak bekerja bagi masyarakat Sumatera barat berbeda dengan deskripsi yang berlaku umum. Begitu juga untuk status kemiskinan, dalam menyatakan status harta, orang Minang biasanya lebih suka merendah. Kita sering mendengar kata-kata : ”Mampirlah ke gubuk kami.” Padahal kenyataannya gubuk yang dimaksud adalah sebuah rumah bertingkat yang mentereng. Harus lebih hati-hati dalam mengidentifikasi tingkat kemiskinan di Sumatera Barat. ***(Oleh Irwan Prayitno)