MARSILAN PETANI ALUMNI SLPHT DARI GUBUK KE RUMAH RANCAK
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 22 September 2014 08:48:21 WIB
Marsilan memulai kehidupan di rumah beratap rumbia berdinding bambu berlantai tanah. “ Lebih bagus kandang kerbau saya yang sekarang ini ketimbang rumah yang dulu kami tempati”, tutur Marsilan seraya menunjuk ke kandang kerbaunya yang berada tak jauh dari rumahnya yang sekarang.
Pagi itu matahari bersinar bagus. Cahayanya seakan menyiang padi yang sebentar lagi masak yang terhampar di nagari Kasai kecamatan Batanganai kabupaten Padangpariaman. Di tengah sawah itu seorang lelaki tampak asik bertanam bawang di pematang sawahnya yang lebarnya sesiku. “ Kata Pak penyuluh dari dinas pertanian Sumbar, pematang sawah harus dimanfaatkan dengan berbagai tanaman dapur seperti bawang, seledri atau bunga matahari”, ujar petani yang tampak masih gagah di gurat usianya yang mulai menua.
Siapa dia?
Namanya Marsilan, lahir tahun 1948. Ia berasal dari Jawa. Tinggal di Sumbar sudah sejak tahun 1974. Kemudian ia berbini dengan nak rang Kasai, di karunia tiga orang anak.
Kisah rumah tangga Marsilan yang menghidupi keluarga dengan bersawah itu sungguhlah sepantun dengan pepatah berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
Marsilan memulai kehidupan di rumah beratap rumbia berdinding bambu berlantai tanah. “ Lebih bagus kandang kerbau saya yang sekarang ini ketimbang rumah yang dulu kami tempati”, tutur Marsilan seraya menunjuk ke kandang kerbaunya yang berada tak jauh dari rumahnya yang sekarang.
Pada masa-masa dahulu, kehidupan bertani benar-benar susah. Hidup Senin – Kemis. Bila panen gagal, atau hama menyerang, tak ada pilihan lain,Marsilan dan keluarga siap dengan penderitaan yang lama dalam kesusahan yang panjang.
Soal hama dan penyakit tanaman yang tak terkendali itu lah yang selalu bikin gamang petani dan menghantui hari-hari.
“ Saya mengetahui tentang hama dan penyakit tanaman pada tahun 1991 sewaktu mengikuti Sekolah Lapangan PHT “ , kata Marsilan dalam sebuah percakapan di dangau-dangau di tengah sawahnya yang berluas 2 hektar itu.
Ia bertutur, sebelum mengikuti SL PHT masalah hama dan penyakit tanaman ia atasi dengan cara tradisional saja, misalnya dengan ritual tolak bala atau melakukan pemburuan hama bersama-sama. Katanya, dulu hama dianggap musuh yang harus diberantas habis. Tapi, sejak mengikuti SL PHT itu, hama tak lagi dianggap musuh. Katanya, dari PHT ia mengerti dan memahmi bahwa hama untuk dikendalikan bukan untuk dimusnahkan. “ Karena hama juga punya untuk hidup”, kata Marsilan yang pernah meraih gelar Petani Teladan Nasional.
Apa dan bagaimana pandangan Marsilan tentang dunia pertanian setelah mengikuti SL PHT?
Berikut penuturan Marsilan ……
“ Dulu saya berpandangan, apa saja jenis hamanya, ya untuk dibunuh. Tapi, sejak PHT itu pandangan saya jauh berubah. Mereka, para hama itu juga makhluk hidup. Juga punya hak untuk hidup. Mereka tidak untuk dibasmi tapi untuk dikendalikan. Ya,pengendalian hama. Karena dia punya hak untuk hidup, kita harus tahu dulu dengan jenis hama itu. Kita harus tahu tentang pengetahuan hama.
Misalnya, tikus. Kita tahu bagaimana tikus berkembang biak. Bahkan tahu berapa anak satu ekor tikus dalam setahun. Begitu juga dengan hama wereng. Harus kita pelajari pula apa dan bagaimananya wereng ini. Singkat kata, SL PHT memberikan pelajaran bagi kita untuk mengetahui perilaku hama apa saja.
Setelah kita tahu dengan hama, pertanyaan kita adalah mau kita apakan mereka supaya jangan memakan atau merusak tanaman kita. Kita hindarkan serangannya. Kita alihkan perhatiannya. Dan, kita punya cara untuk mengatasi populasinya.
Terasa benar oleh saya apa manfaat setelah saya mengenal dan belajar ke-PHT-an itu.
Manfaat yang paling terasa benar adalah mengurangi biaya produksi tanam. Dulu main pestisida saja. Ada hama, main semprot. Habis cerita!
Alhamdulillah, peningkatan produksi tanam saya bertambah. Karena PHT juga mengajari kita mengenal jenis benih dan tanaman yang tahan terhadap serangan pemakan tanam dan penyakit tanaman , sekaligus kita mengenal apa dan berapa kebutuhan tanaman itu sendiri.
SL PHT, luar biasa manfaatnya. Kita tak hanya sekedar diberi tahu soal penanggulangan hama dan penyakit tanaman, namun juga diberitahu tentang ekologi tanah. Kita mengenal asam tanah, basa tanah atau PH tanah.
Petani yang telah Sekolah Lapangan PHT, pastilah seorang petani yang kreatif. Petani PHT adalah petani yang mengusahakan kebutuhan tanaman dan bagaimana cara penanggulan hama. Alam takambang jadi guru, prinsip PHT persis begitu. Belajar dari alam dan memanfaatkan tumbuhan sekitar kita untuk dijadikan pengendali hama bahkan pupuk.
Untuk pupuk, kita tak perlu lagi menggunakan berbagai pupuk kimia olahan pabrik. Sisa jerami, bila dulu dibakar di tengah sawah. Sekarang tidak lagi. Betapa kotornya langit ketika awang-awang dipenuhi oleh asap. Dan itu mengotori lingkungan. Kini, sisa jerami itu ditumpuk dan diolah dijadikan pupuk. Bila dulu memakai urea, sekarang memakai pupuk kandang yang diolah sendiri dari jerami dan lainnya. Kita tak perlu lagi membeli TSP atau KCL.
Betapa uang petani dulu habis dengan membeli berbagai perangsang tumbuhnya tanaman. Dulu kita pakai berbagai jenis obat-obatan buatan pabrik. Contoh 2PT ( zat pengatur tumbuh). Setelah mengenal PHT kami ganti dengan rebung bambu dan anak pisang serta air kelapa.
Lihatlah, mengapa rebung cepat sekali tumbuhnya? Mengapa anak pisang juga cepat tumbuh? Semua itu membuat kita berpikir kreatifdan selalu mencari tahu. Dan PHT adalah media bagi petani untuk membuka cakrawala dan pengetahuan kita serta bertindak dan bersikap kreatif.
Ya, setelah kita tahu rebung cepat tumbuh dan anak pisang juga cepat tumbuh, tentu ada zat yang merangsang tanaman itu. Kemudian, kita mengkreasinya sendiri. Rebung dan anak pisang ditumbuk. Lalu kita masukkan air kelapa. Tambahkan sedikit gula merah. Kita inapkan cairan itu selama seminggu. Kemudian cairannya dengan perbandingan 1:6 kita campur dengan air. Itulah yang kita semprotkan ke tanaman. Hasilnya, lihat, betapa suburnya padi saya!
Dulu, sebelum mengenal konsep dan prinsip PHT, sebelum saya sekolah lapangan PHT, bila ada hama dan penyakit tanaman, ujung-ujungnya kita pasrah saja. Atau melakukan ritual tolak bala. Habis itu, ya berpasrah diri begitu saja. Hilang akal kami. Dan, membiarkan nasib tanaman hancur dan panen gagal. Bila sudah begitu, nasib buruk dan kemiskinan membayangi kehidupan kami tiap hari.
Sekali lagi, sekarang tidak begitu lagi.
Cara kami sesuai ajaran PHT dalam mengendalikan hama adalah dengan cara mengalihkan makanan hama.
Contohnya, hama walangsangit. Walang sangit suka dengan sesuatu yang berbau amis atau anyir. Cara mencegahnya tak lagi melalui racun atau berbagai obat pestisida. Tidak begitu. Yaitu dengan cara mengumpulkan keong emas. Keong emas itu kita pecahkan. Bangkainya ditaruh di atas sabut kelapa yang diberi tunggak yang dipancangkan di tengah sawah atau pematang. Bila sulit mencari keong emas, ganti dengan terasi. Kalau perlu pakai ramuan nabati atau agens hayati. Nah, perhatian walang sangit tak lagi menyerang tanaman padi kita, tapi memakan keong emas dan terasi itu tadi. Padi pun selamat.
Melalui PHT petani diberi tahu tentang pengetahuan daun-daun dan berbagai macam akar-akaran. Daun-daun dan akar-akar itu ang mengandung racun yang sangat tak disukai oleh hama. Contoh daun surian, akar tuba, daun tembakau lalu dihancurkan dan diberi air untuk disemprotkan supaya hama menjauh karena tidak suka dengan bebaunan yang kita semprotkan itu.
Soal tikus. Dulu sangat merepotkan kita. Sekarang tidak lagi. Melalui SL PHT kita diberi tahu tentang perilaku tikus dan perilaku hama lainnya. Tikus, cukup kita perangkap dengan membuatkan “istananya” yakni dengan menaruh bambu sepanjang satu depa. Atau, racun tikus bisa kita ganti dengan buah karet yang direbus setengah matang, lalu diumpan dengan terasi.
Bagi saya konsep PHT bukan semata suatu teknologi pengendalian hama dan penyakit tanaman. Lebih dari itu, PHT adalah filosofi “penyadaran petani” dalam kehidupan dan hidup. Petani dipicu terus untuk berinovasi dan menciptakan teknologi sendiri. PHT membuat petani kreatif.
Dulu saya menggantungkan benih dari pemerintah. Sekarang pasca mengikuti SL PHT, saya bisa menghasilkan benih sendiri sesuai dengan keinginan saya dengan pemurnian varitas lokal serta penyilangan benih. Saya diberi bantuan oleh Dinas Pertanian Sumbar untuk memurnikan benih lokal dan adaptasi ke beberapa daerah. Hasilnya, petani bisa memilih atau menentukan benih pilihan.
Alhamdulillah, pasca SL PHT , saya merasakan peningkatan produksi dan penghasilan tiap tahun meningkat. Dulu tempat tinggal saya pondok buruk atau gubuk “derita”. Sekarang, alhamdulillah tak lagi bak dulu itu.
( lalu Marsilan membawa kita ke rumahnya. Sungguh, rumahnya bagus. Rumah batu yang berdisain gaya kini. Tak lagi beratap rumbia, tapi sudah beratap seng tebal. Tak lagi berlantai tanah, tapi sudah berlantai batu mar-mar).
Terimakasih saya sampaikan pada Pemerintah propinsi Sumbar melalui Dinas Pertanian Sumbar atas segala binaan dan perhatiannya kepada kami para petani ini sehingga produksi pertanian kami terus meningkat dan kemiskinan di rumah tangga petani dapat terhapuskan dan berganti dengan “kecukupan” hidup bukan lagi serba kekurangan.(Pinto Janir)