Ini Alasan Mengapa Difteri Mematikan
Berita Utama Indra, S.Kom(Dinas Kesehatan) 23 Januari 2018 11:12:15 WIB
Penyakit difteri tengah mewabah dan menjadi sorotan. Pasalnya, banyak daerah di Indonesia telah melaporkan kasus ini. Bahkan pemerintah lewat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menetapkan hal ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Untuk menanggulangi wabah difteri yang terjadi di Indonesia, pemerintah mengadakan pemberian ORI (Outbreak Response Immunization) atau imunisasi penanganan kejadian luar biasa pada daerah yang terkena kasus difteri. Karena tak sedikit kasus difteri yang berujung dengan kematian. Lalu apakah sebenarnya difteri? Mengapa ia menjadi penyakit yang mematikan?
Difteri adalah jenis penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi di selaput lendir hidung dan tenggorokan. Bakteri yang menginfeksi bernama Corynebacterium diphtheriae. Umumnya penyakit difteri diawali dengan rasa sakit di tenggorokan, demam, lemas hingga membengkaknya kelenjar getah bening.
Namun gejala khas dari difteri adalah munculnya sebuah selaput berwarna putih keabuan di sekitar bagian belakang tenggorokan. Selaput ini bernama pseudomembran yang dapat berdarah jika dikelupas. Kondisi ini mungkin akan menyebabkan rasa sakit saat menelan. Pada beberapa kasus, gejala ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening dan pembengkakan jaringan lunak di leher yang disebut bullneck.
Difteri sangat mudah menular dari seorang yang sebelumnya telah terinfeksi. Salah satu media penularan bakteri ini adalah melalui udara, yaitu saat pengidap difteri batuk atau bersin. Selain itu, interaksi langsung dengan luka akibat difteri juga dapat menularkan virus.
Penyakit ini termasuk mematikan karena dapat menyebabkan infeksi nasofaring yang bisa berdampak kesulitan bernapas dan menyebabkan kematian. Selain itu, difteri juga bisa menyebabkan komplikasi yang serius.
Bakteri penyebab difteri bekerja dengan cara membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan dengan racun yang ia hasilkan, sehingga sel-sel tersebut mati. Kumpulan sel mati ini kemudian membentuk lapisan abu-abu pada tenggorokan. Racun dari bakteri juga dapat menyebar ke aliran darah, sehingga menyebabkan jantung , ginjal dan sistem saraf menjadi rusak.
Salah satu gejala yang muncul adalah detak jantung yang tak normal. Hal ini kemudian menyebabkan gagal jantung pada orang yang telah terinfeksi. Beberapa pengidap juga mungkin mengalami pembengkakan otot dan katup jantung. Difteri sering ditemui di daerah dengan iklim tropis. Faktor lingkungan yang kurang bersih pun dapat meningkatkan risiko penyebaran bakteri.
Siapa saja yang bisa terkena difteri?
Sebagian besar dari orang yang terkena difteri belum pernah diimunisasi sama sekali. Satu-satunya jenis imunisasi wajib yang dapat mencegah difteri adalah DPT. Selain tak pernah diimunisasi sama sekali, orang yang tidak mendapatkan DPT secara lengkap juga berpotensi terserang difteri, bahkan setelah dewasa. Artinya, penyakit ini tidak hanya menjangkiti anak-anak.
Lantas, apakah orang yang sudah pernah diimunisasi DPT masih bisa terkena difteri? Pada dasarnya, pemberian vaksin pada tubuh bertujuan untuk membantu meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu. Vaksin DPT berfungsi untuk mencegah penyakit difteri, tetanus, dan batuk rejan. Dan rata-rata orang yang telah divaksin, akan memiliki kadar protektif antibodi lebih baik terhadap penyakit. Sehingga tubuh memiliki “kekuatan” untuk melawan jenis penyakit tertentu.
Kendati demikian, masih ada peluang seseorang terkena difteri meski sudah pernah divaksin. Mengutip Antara, Direktur Surveilans dan Karantina Kementerian Kesehatan, Jane Soepardi mengatakan bahwa kekebalan terhadap difteri tidak berlangsung seumur hidup. Rekomendasi untuk tetap menjaga tubuh dari bakteri penyebab penyakit adalah dengan cara vaksin ulang setiap 10 tahun selama seumur hidup.
Berita buruknya, pola hidup sehat seperti menjaga kebersihan, serta banyak makan sayur dan buah saja tidak cukup untuk mencegah penyakit difteri. Pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan imunisasi. Pemberian vaksin DPT dilakukan sebanyak 5 kali, yaitu ketika anak berumur 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu setengah tahun, dan lima tahun. Jika anak terlambat diberikan imunisasi, anak masih bisa diberikan imunisasi kejaran sesuai anjuran dokter sebelum usianya 7 tahun.