INKLUSI KEUANGAN BAGI PETANI, ISU STRATEGIS MENDORONG KETAHANAN PANGAN
Artikel () 05 Desember 2016 08:14:33 WIB
INKLUSI KEUANGAN BAGI PETANI, ISU STRATEGIS MENDORONG KETAHANAN PANGAN
Oleh : Melda iriani
Di tengah mulai bermunculannya petani-petani modern, masih banyak petani di Indonesia yang belum memiliki akses terhadap sektor jasa keuangan. Salah satunya para petani yang ada di Desa Kawai Nagari Batubulek, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Profesi petani juga nyaris tidak dilirik oleh generasi muda karena penghasilan yang tidak menjanjikan, pekerjaan yang berat, sawah-sawah yang kebanyakan tadah hujan, serta banyaknya ancaman hama dan lainnya. Tak ayal, jumlah petani berkurang satu persatu sejalan dengan faktor usia penduduk.
Para pemudanya lebih banyak memilih mengikuti tes Pegawai Negeri Sipil (PNS), mencari pekerjaan yang ‘berkelas’ atau merantau ke luar daerah. Yang masih menetap di kampung, kebanyakan membuat usaha kecil-kecilan seperti roti dan kerupuk cabai. Di sisi lain, masyarakat petaninya, mengelola uang ala kadarnya. Seperti halnya kehidupan kebanyakan kelompok nelayan, mereka memegang uang banyak bulan ini, belum tentu masih ada untuk bulan selanjutnya. Walaupun sudah banyak yang menguliahkan anaknya, tapi belum banyak yang memiliki pengelolaan uang yang baik.
Alizar (60), salah seorang petani setempat mengatakan, ia dan beberapa petani di desa itu yang tergabung di sebuah kelompok tani punya cara sendiri untuk menyimpan uang. Tapi, itu hanya bisa untuk setahun. Caranya dengan kerja berkelompok dua kali seminggu. Gaji kerja berkelompok itu tak langsung dibayarkan. Orang yang mempekerjakan anggota kelompok itupun boleh membayar kapan saja, asalkan sebelum bulan puasa ramadhan di tahun itu. Karena, upah kerja kelompok itu baru dibayarkan sekitar satu atau dua minggu sebelum lebaran setiap tahunnya.
Kebijakan seperti itu, katanya, karena biasanya kebutuhan menjelang Ramadhan sangat besar. Maka, uang yang terkumpul dari kerja kelompok itu bisa membantu untuk meringankan beban kebutuhan rumah tangga. Menurutnya, bagi petani yang rajin datang kerja kelompok, bisa mengumpulkan uang sekitar Rp2 juta hingga Rp3 juta. Bagi yang sering bolos, paling hanya sekitar Rp1 juta-an atau malah kurang.
Untuk kebutuhan di hari-hari lain, ia biasanya mengambil dari hasil tanaman palawija yang bisa dipanen, seperti jagung, cabe, pisang dan lainnya yang hanya ditanam sedikit-sedikit. Karena, katanya, kalau ditanam banyak saat ini terlalu banyak bahanyanya (ancaman hama, red) sehingga risiko kerugian juga besar.
Saat ditanya tentang akses permodalan, Alizar mengaku belum berani untuk mendapatkan layanan permodalan dari lembaga perbankan atau non perbankan. Apalagi, kalau hanya diberi modal tanpa diberi pendampingan. “Kalau beruntung, tentu bisa membayar. Tapi, kalau rugi, dengan apa dibayar,” katanya.
Meski demikian, ia mengaku beberapa tahun lalu bersama beberapa petani sekelompok pernah menyodorkan STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) dua sepeda motor untuk mendapatkan pinjaman guna membeli alat mesin pertanian. Hanya saja, STNK yang disodorkan ke BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang ada di desanya ditolak karena dua sepeda motor yang disodorkan sebagai jaminan itu sudah berusia tua.
Rendahnya aksebilitas petani terhadap lembaga perbankan memang masih jadi dilema. Di satu sisi, petani banyak yang masih beranggapan bahwa berurusan dengan bank itu ribet, harus berpakaian bagus serta mengerti administrasi. Di sisi lain, pihak perbankan tentu tak mau ambil risiko dengan memberi modal tanpa jaminan. Selain itu, belum semua desa yang sudah terjangkau oleh keberadaan lembaga perbankan atau agen perbankan.
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat, Rahayu Purwanti, SP yangconcern dengan masalah kesejahteraan petani, mengakui masih terkendalanya petani dengan akses layanan perbankan. Padahal, menurutnya, potensi pertanian Indonesia, terutama Sumatera Barat cukup besar.
Mendekatkan layanan perbankan bagi petani, kata Rahayu, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Karena, untuk meningkatkan hasil produksi perlu melakukan teknologi pertanian dan inovasi. Sementara, untuk berinovasi tentu butuh permodalan. Selain itu, mendekatkan petani dengan sektor keuangan juga berarti memberi pendampingan dalam pengelolaan keuangan. Karena, masih ada budaya lokal di beberapa daerah dimana petani ‘ngutang’ dulu dan baru dibayar saat panen. Kebiaasaan itu membuat petani tak banyak menikmati hasil saat panen.
Di sisi lain, isu kesejahteraan petani sama pentingnya dengan isu ketahanan pangan. Pasalnya, jika pertanian tak lagi dianggap sebagai pekerjaan yang menjanjikan, tentu akan berdampak pada kerawanan pangan karena terjadinya alih fungsi lahan, ketidakberdayaan sumber daya manusia dan lainnya.
Selama ini, katanya, petani terkendala permodalan. Sektor pertanian belum bankable. Kalau PNS, mereka bisa menjaminkan SK pengangkatannya. Tapi, kalau petani, mau menjaminkan sertifikat tanah pun sulit. Karena, banyak petani yang hanya petani pengolah. Petani juga masih diberatkan dengan syarat-syarat dan bunga.
Oleh karena itu, alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang itu minta pemerintah ke depan perlu memikirkan kemudahan permodalan bagi petani. Proses pemberian kredit tidak perlu memberatkan petani, tapi tetap menguntungkan kedua belah pihak. Di samping itu, perlu pendampingan seperti pola plasma dan inti yang punya peran mengayomi. Pemerintah juga harus mendorong bertumbuhnya koperasi-koperasi usaha tani yang lebih memahami kebutuhan petani itu sendiri.
“Petani harus menjadi subjek dan objek sebagai leading sector ketahanan pangan. Upaya peningkatan kesejahteraan petani harus jadi prioritas agar lebih banyak yang melirik pertanian,” tuturnya. Sementara itu, Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) sekaligus Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul Arifin mengakui, hingga saat ini program inklusi keuangan dari pemerintah belum menyentuh seluruh petani Indonesia. Padahal, pemerintah selama ini rajin mensosialisasikan dan memaksimalkan akses keuangan untuk masyarakat daerah.
Saat ini, katanya, banyak petani yang belum sepenuhnya ingin meminjam dana ke perbankan karena banyaknya persyaratan dan sistem yang harus dilengkapi dan masih berbelit. Pengetahuan petani soal inklusi keuangan juga masih minim sehingga mereka enggan melakukan pinjaman. Padahal, ada banyak dana kredit yang harus disalurkan ke petani dan bisa membantu petani dalam mengembangkan segala hal di bidang pertanian sehingga membantu kehidupan mereka. (sindonews.com, 20 Oktober 2016).
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad saat acara OJK Government PR Forum di Jakarta, 20 Oktober 2016 lalu berjanji akan memberikan kemudahan kredit kepada segmen petani. Sebelumnya, OJK telah meluncurkan kemudahan penyaluran kredit lewat program Jangkau, Sinergi, dan Guideline (Jaring) bagi pelaku industri kelautan dan perikanan.
Menurutnya, kemudahan penyaluran kredit kepada petani diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan pertanian di Indonesia sehingga produksi pangan di Indonesia dapat meningkat. “Kita akan lanjutkan tidak hanya ke Jaring, tidak hanya sektor kemaritiman, tapi juga pemberdayaan bidang pangan dan pertanian. Nanti akan diluncurkan,” katanya.
Dikatakan Muliaman, inklusi keuangan di daerah-daerah terpencil seperti pedesaan harus terus dilakukan karena masyarakat masih sulit untuk menemukan layanan keuangan. Ditekankan Muliaman, setiap warga negara berhak mendapatkan akses keuangan yang mudah.
Inklusi Keuangan Hak Semua
Keuangan inklusif atau financial inclusion menjadi tren paska krisis 2008 sebagai dampak krisis kepada kelompok pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, orang cacat, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan masyarakat pinggiran. Mereka pada umumnya unbankable atau tidak punya akses pada sektor jasa keuangan.
Negara-negara yang tergabung dalam G20 kemudian sepakat perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok itu. Ditandai dengan pertemuan Pittsburgh Summit tahun 2009 dan dilanjutkan dengan Toronto Summit tahun 2010 yang mengeluarkan 12 Principles for Innovative Financial Inclusion sebagai pedoman bagi anggota negara-negara G20 untuk menyusun dan melaksanakan program keuangan inklusif dan mendorong agar kelompok marginal bisa mendapat akses perbankan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dan pengawas lembaga jasa keuangan di Indonesia terus mendorong perluasan program Inklusi Keuangan Untuk Semua ke seluruh pelosok Tanah Air. Berbagai upaya yang dilakukan diharapkan semakin membuka akses masyarakat ke sektor jasa keuangan. Dengan peningkatan inklusi keuangan membuat masyarakat terbiasa mengelola keuangannya lebih produktif, misalnya masyarakat bisa mendapatkan pinjaman yang kemudian dapat digunakan sebagai modal usaha.
Untuk mendorong semakin meluasnya literasi dan inklusi keuangan, OJK mengembangkan berbagai upaya dengan melibatkan lembaga keuangan, seperti melalui program Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif atau Laku Pandai, Simpanan Pelajar (Simpel), pusat edukasi, layanan konsumen, & akses keuangan UMKM (PELAKU), Program Jaring, Laku Mikro, dan lainnya.
Akses ke sektor jasa keuangan, seperti diungkapkan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad, tidak kalah pentingnya dengan akses masyarakat ke fasilitas kesehatan dan pendidikan. Inklusi keuangan juga hak semua orang, tidak hanya pengusaha, masyarakat kota, atau orang-orang berpendidikan. Masyarakat desa, nelayan dan petani pun berhak mendapatkan akses layanan yang mudah ke perbankan. Semakin masyarakat mengenal dan menggunakan produk dan jasa keuangan dengan baik, maka kesejahteraan akan semakin meningkat.