Tantangan Globalisasi bagi Daerah

Artikel () 23 November 2016 14:05:46 WIB


Tantangan Globalisasi bagi Daerah

Oleh : Arzil                             

 

Saat iniglobalisasi dan desentralisasi merupakan dua isu utama yang memengaruhi tatanan sistem perdagangan, baik dalam kegiatan produksi, pemasaran, distribusi, dan lain-lain.

 

Era globalisasi menuntut setiap pelaku ekonomi untuk meningkatkan kemampuan bersaing, baik dalam memproduksi, memasarkan, maupun menerobos pasar yang batas-batasnya semakin tidak jelas, serta dalam suatu kerangka persaingan yang sangat kompetitif.

 

Demikian pula era otonomi daerah harus selaras dengan kecenderungan era globalisasi. Otonomi daerah tidak boleh paradoks dengan kecenderungan globalisasi, apabila sistem ekonomi Indonesia ingin selamat dari terpaan globalisasi ekonomi dunia.

 

Dalam perjalanannya, penerapan otonomi daerah belum seiring dengan semangat yang terkandung dalam UU No 22/1999. Hal ini tercermin dengan belum optimalnya kinerja pemerintah daerah karena munculnya perda-perda berupa pajak dan retribusi yang menimbulkan biaya tinggi sehingga mengurangi daya saing.

 

Implementasi kebijakan otonomi daerah dalam rangka menjawab tuntutan local dan desakan kecenderungan arus global, perlu dicermati mengingat kondisi masa transisi yang labil dan potensi konflik horizontal dapat menjadi kerusuhan massal dan perpecahan bangsa.

 

Masa transisi yang labil memerlukan rekonsiliasi elit yang diikuti dengan pemulihan ekonomi dan politik sampai tingkat local. Kekhawatiran tersebut mengingat selama ini kita tidak terbiasa berbeda pendapat dan beragumen secara baik, yang sering kita alami adalah realitas perbedaan pendapatan dan arogansi kekuasaan.

 

Oleh karena itu, tujuan dan fokus dari kebijakan perdagangan adalah bagaimana membangun daya saing berkelanjutan dari produk-produk Indonesia di pasar internasional yang dilandasi oleh kompetensi inti yang didukung oleh seluruh potensi yang dimiliki bangsa Indonesia secara tersinergi baik sektoral maupun dengan seluruh kabupatenkota.

 

Pada era perdagangan bebas ini, kebijakan perdagangan lebih difokuskan pada penurunan tarif bea masuk dan penghapusan nontarif. Kebijakan perdagangan ini dimulai dengan diberlakukannya AFTA pada 2002 yang dicetuskan pada 1992 serta deklarasi pimpinan APEC pada 1994. Kebijakan tersebut tertuang dalam paket-paket deregulasi yang berisikan penurunan tarif impor dan penghapusan hambatan nontarif.

 

Kebijakan perdagangan pada masa krisis, banyak dipengaruhi oleh kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) atau disebut letter of intent (LoI), yang membawa arah pada mekanisme pasar yang diharapkan mampu membawa perdagangan lebih efisien dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

 

Dengan terus membaiknya kondisi perekonomian secara makro kebijakan perdagangan difokuskan kepada Kebijakan Exit Program Pasca LoI IMF, dan kebijakan penguasaan pasar yang adil.

 

Kecenderungan bisnis global membawa beberapa hal baru seperti keterkaitan secara global, liberalisasi perdagangan dan blok perdagangan, transnasionalisasi informasi, perkembangan teknologi yang cepat, meningkatnya kesadaran akan nilai-nilai universal, serta munculnya isu baru di bidang perdagangan.

 

Adapun, kemunculan hal-hal di atas, dapat menjadi peluang sepanjang mampu menyesuaikan diri, namun bagi yang tidak siap akan sebaliknya yaitu menjadi ancaman.

 

Sayangnya, di saat Indonesia harus dihadapkan pada suasana persaingan yang semakin keras sebagai dampak globalisasi tersebut, ternyata peringkat daya saing Indonesia di pasar internasional terus merosot sebagaimana yang dinyatakan oleh World Economic Forum (WEF).

 

Permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan sektor perdagangan di Indonesia semakin rumit karena di saat daya saing merosot dan investasi sangat rendah ternyata banyak produk impor masuk secara ilegal yang membanjiri pasar dalam negeri, sehingga posisi produk dalam negeri semakin terjepit.

 

Tidak heran, Menperindag melakukan serangkaian tata niaga seperti gula, beras dan garam sebagai upaya untuk menghadapi serbuan produk dari asing yang berujung pada kerugian petani. Apesnya lagi, Deperindag dan aparat Bea Cukai kemudian harus kebobolan ratusan ribu ton gula ilegal yang merembes lewat jaringan organisasi yang cukup kuat.

 

Keadaan semakin dipersulit akibat sistem distribusi yang belum efisien yang ditandai dengan tingginya rasio biaya logistik terhadap nilai tambah, kurang mampunya para eksportir untuk menembus negara tujuan ekspor secara langsung, rendahnya kemampuan para eksportir dalam melakukan market intelligence, promosi, kerja sama (aliansi) dengan mitra internasional, serta bermunculannya standar teknis perdagangan (technical barrier to trade) dan ketentuan mengenai kesehatan, keamanan, keselamatan. Kesemua itu menambah beban serta mempersulit produk-produk Indonesia untuk melakukan penetrasi ke pasar internasional.

 

Untuk dapat melaksanakan hal-hal tersebut di atas, maka strategi pengembangan perdagangan akan dilakukan dengan pendekatan terintegrasi dan efisien, melalui pengelolaan permintaan (demand management), serta pemanfaatan secara optimal pengelolaan sumber daya produktif (resource management).

 

Strategi ini akan didukung oleh pengelolaan jaringan (networking management) yang efisien dan efektif, pengembangan instrumen perdagangan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif, serta pembangunan infrastruktur fisik maupun nonfisik yang menunjang.

 

Dalam rangka mengimplementasikan strategi yang dimaksud, sasaran pembangunan sektor perdagangan dalam negeri untuk jangka menengah adalah membangun sistem distribusi nasional yang efisien dan efektif dengan pendekatan supply chain (komoditi strategis), pengamanan pasar dalam negeri, pemberdayaan produksi dalam negeri, peningkatan peran kelembagaan, dan peningkatan sarana serta instrumen perdagangan.

Untuk jangka panjang yang akan dilakukan yaitu meningkatkan perdagangan jasa di dalam negeri yang bersaing di pasar internasional, serta membangun merek dagang nasional yang dapat menerobos pasar internasional.

 

Sektor Industri di tangan Deperindag cenderung mengutamakan industri berbasis lokal seperti perkapalan, otomotif, serta agrobisnis.Untuk mendukung produk industri berbasis agro, pokok-pokok rencana aksi jangka menengah yang akan dilakukan adalah memfasilitasi dunia usaha untuk melakukan promosi ekspor, mendapatkan pendanaan melalui skema resi gudang dengan agunan komoditas, memberikan kepastian kualitas, kuantitas dan harga dengan menggunakan sarana pasar lelang komoditas agro.

 

Sedangkan untuk industri alat angkut, pokok-pokok rencana aksi yang akan dilakukan yaitu mengembangkan bursa komponen buatan dalam negeri dan kerja sama dengan luar negeri dalam penetrasi pasar.

 

Selain itu, untuk mendukung pemasaran produk kelautan prioritas, maka pokok-pokok rencana aksi yang akan dilakukan dalam jangka menengah adalah menyediakan fasilitasi sarana distribusi, cold storage, cool box dan pabrik es mini, pengawasan standar impor; dan promosi produksi olahan.

 

Untuk mencapai target peningkatan perdagangan dalam negeri, pokok-pokok rencana jangka menengah adalah membangun sistem distribusi yang efisien dan efektif; menyempurnakan perangkat peraturan dan mendorong pelaku usaha/asosiasi untuk membentuk lembaga sertifikasi dan akreditasi tenaga jasa profesi; membangun proyek percontohan sistem distribusi yang efisien dan efektif dengan pendekatan supply chain.

 

Di samping itu diperlukan pembentukan kelembagaan perlindungan konsumen; menyusun sistem pengawasan barang beredar dan jasa; melakukan kampanye, promosi, dan sosialisasi penggunaan produksi dalam negeri.

 

Upaya lainnya, membangun sarana perdagangan yang dapat mempromosikan hasil produksi wilayah perbatasan; membangun basis-basis produksi sesuai dengan potensi daerah dan kebutuhan negara tetangga; penataan kembali peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan UU-Metrologi Legal; membentuk kelembagaan pengelola sentra dana berjangka dan penasihat; serta membangun pasar lelang regional. (***)