Padi Tanam Sabatang: Gerakan Mensejahterakan Petani
Artikel () 30 Mei 2016 14:28:22 WIB
Oleh : Teguh Gunung Anggun
Ada yang kurang tepat dipahami oleh banyak orang dan publik, ketika Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), mengembangkan metoda Padi Tumbuah Sabatang (PTS). Sebagai daya dan upaya untuk meningkatkan produktifitas dari sektor pertanian, yang menjadi mayoritas sumber pengasilan petani di Sumbar. Banyak yang menggangap bahwa PTS merupakan teknologi baru, yang sengaja dikembangkan pemerintah untuk meningkatkan produktifitas pertanian di Sumatera Barat.
Anggapan ini yang kemudian menimbulkan banyak pertentangan, bahkan penolakan mengenai metoda PTS ini. Ada yang mempertentangkan dengan metoda SRI yang dikembangkan oleh Universitas Andalas, ada pula yang mempertentangkan dengan metoda Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang diluncurkan oleh Kementrian Pertanian Republik Indonesia. Semuanya menyakinkan, bahwa teknologi mereka yang paling unggul.
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menegaskan, sesungguhnya Padi Tumbuah Sabatang (PTS) bukanlah teknologi dalam membudidayakan padi, melaikan sebuah gerakan pemberdayaan para petani. Padi Tumbuah Sabatang (PTS), ungkapannya adalah “gerakan pemberdayaan untuk kesejahteraan petani, sekaligus penyelamatan lingkungan pertanian yang terdegradasi kualitasnya, akibat pemakaian pupuk buatan dan petisida”.
Sebagai sebuah gerakan, upaya mensosialisasikan metoda Padi Tumbuah Sabatang (PTS), menekan pada membangun penyadaran secara terus menerus dengan membangun kesadaran kritis, para petani untuk membuat banyak pilihan dalam mengelola usaha pertanian. Petani tidak hanya menerima begitu saja apa yang disampaikan, tetapi juga memahami mengapa pola itu harus dilakukan. Petani memahami mengapa dan manfaat apa yang mereka peroleh, sehingga mereka harus melakukan metoda tersebut.
Karena itu, ukuran kesuksesan penerapan metoda Padi Tumbuah Sabatang sebagai sebuah gerakan yang tidak semata-mata ditentukan untuk bisa menerapkan secara paripurna, sebagaimana penerapan dalam teknologi. Penerapan metoda PTS bisa di anggap berhasil kalau telah terjadi pengurangan pemakaian benih, perbaikan kualitas lahan pertanian khusus nya persawahan dan petani tidak tergantung lagi dengan bahan – bahan kimia. Pada prinsipnya bertani padi dengan menggunakan metoda PTS, adalah cara – cara bertani seefektif dan seefesien mungkin, menggunakan input dalam bertani, seperti benih, pupuk dan air.
Metoda PTS merupakan gerakan untuk merehabilitasi lahan pertanian dan karena itu, metoda PTS sangat menganjurkan para petani menambah bahan organik sebanyak – banyaknya keareal pertanian atau setidaknya semua jerami pada lahan sawah dikembalikan dalam bentuk kompos.
Ada 3 (tiga) hal yang sangat dianjurkan kepada para petani, ketika memahami metoda Padi Tumbuah Sabatang sebagai sebuah gerakan pembangunan pertanian, yang diyakini mampu meningkatkan pendapatan petani sekaligus melestarikan lingkungan. Tiga hal yang menjadi ruh nya tersebut adalah pengurangan pemakaian benih, pemakaian bahan - bahan organik serta penerapan konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Dalam pengurangan pemakaian benih, dianjurkan para petani tidak lagi memakai benih sebanyak pada pola penanaman yang konvesional. Petani diharapkan hanya memakai benih beberapa batang saja, bahkan kalau bisa hanya satu batang. Penamannya menjadi metoda Padi Tanam Sabatang dimaksudkan agar petani lebih mudah mengenal gerakan ini. Demikan juga dengan penggunaan bahan – bahan organik dan Pengendalian Hama Tepadu (PHT).
Dampak Ekonomi Gerakan Metoda Padi Tanam Sabatang ..
Sebagai sebuah gerakan, sudah pasti metoda ini terlaksana dengan baik, banyak manfaat yang bisa dinikmati. Dari sisi para petani, pengunaan benih yang sedikit akan mengurangi biaya usaha pertaniannya. Adanya pengurangan biaya dalam usaha pertanian akan membuat keuntungan dinikmati bertambah.
Demikan juga terhadap ekonomi suatu daerah. Bayangkan berapa ton beras yang bisa dialihkan menjadi beras jika tidak dijadikan padi tidak dijadikan benih. Di Sumatera Barat saja misalnya yang memiliki lahan persawahan lebih dari 400.000 Ha. Bila petani mampu mengurangi pemakaian benih separohnya dari sistim pertanian biasa maka penghematan terjadi sangat luar biasa.
Jika metoda biasa, dalam 1 Ha sawah menggunakan benih 25 kg, sehingga total benih yang dibutuhkan untuk lahan persawahan melebihi 10.000 ton, maka dengan metoda PTS yang menggunakan 10 kg benih, maka benih yang digunakan hanya 4000 ton atau menurun 6000 ton. Kalau penurunan itu dikalikan dengan harga padi berapa rupiah uang yang bisa dihemat dalam setahun. Itu pun hanya bila pengurangi pemakaian benih hampir 70 % dari benih yang dipakai pada metoda konvesional.
Penghematan itu baru dihitung dari penggunaan benih saja. Belum lagi penghematan yang timbul akibat pengurangan pemakaian pupuk buatan seperti Urea, TSP dan KCL. Tentu penghematan yang muncul jauh lebih luar biasa, dari penghematan yang timbul dari pemakaian benih. Bisa dipastikan pemerintah tidak akan pusing lagi mengurusi kebijakan pupuk bersubsidi, jika gerakan metoda PTS menghimbau petani mengurangi pemakaian pupuk kimia dan memperbanyak pemanfaatan bahan organik dapat terlaksana.
Nilai ekonomi juga akan terlihat dari perbaikan terhadap kualitas lahan pertanian terutama persawahan. Dari semua itu tentu saja kita tidak dapat melupakan aspek produksi itu sendiri. Sudah banyak peningkatan produksi padi di Sumatera Barat dalam beberapa tahun terakhir, salah satu tidak terlepas nya dengan Gerakan Padi Tanam Sabatang . (TGA)