“Mudik Perantau Minang Geliatkan Sektor Riil”
Artikel () 26 Juli 2013 03:01:51 WIB
“Mudik Perantau Minang Geliatkan Sektor Riil”
Oleh : Dian Dewi Kartika, S.Sos, M.Si
(Kasubag Kerjasama Perekonomian Bagian Kerjasama Rantau
Biro Administrasi Pembangunan dan Kerjasama Rantau)
Merantau adalah pola migrasi yang telah membudaya bagi orang Minangkabau. Statistik menunjukkan, jumlah orang Minang yang ada di perantauan lebih banyak daripada orang Minang yang ada di kampung halaman. Bagi bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas, dan mbak-mbak yang pernah membaca novel “Negeri 5 Menara” akan merasakan ekspektasi semangat merantau yang mengalir dalam darah seorang anak Minang.
“ Karatau madang dihulu, berbuah berbunga belum
Merantau bujang dahulu, dikampung berguna belum”
Demikian bunyi sebuah pantun yang menjadi dasar konsep merantau bagi orang Minang. Kata merantau pada mulanya berarti keluar dari luhak, asal tempat orang tua, sanak saudara dan kampung halaman menuju daerah pesisir dengan kota Padang sebagai tujuan utama perantauan. Seiring dengan perkembangan zaman dan pertukaran musim, konsep merantau juga mengalami evolusi. Merantau tidak lagi berkisar dari satu nagari ke nagari lain atau dari satu luhak ke luhak lainnya dalam lingkup bumi Minang merantau lokal, tapi juga meninggalkan ranah Minang sendiri.
Terjadinya evolusi dari merantau lokal menjadi merantau nasional dan bahkan merantau regional andai boleh disebut demikian seperti yang ditulis oleh sejumlah ahli, karena terdapatnya daya dorong dan daya tarik.
Ranah Minang sebagai kampung halaman memiliki keterbatasan di segala bidang, sebagai Ranah Bundo yang berpegang pada konsep matrilinial, Ranah Minang hanya menyediakan bekal diri sebagai modal untuk merantau. Karena keterbatasan tersebut, mendorong orang Minang untuk merantau mencari Ranah yang lebih luas. sedangkan daya tarik “pulau seberang” adalah kemajuannya dengan segala plus dan minusnya.
Konsep merantau ini pula yang menjadikan Minang sebagai daerah penghasil tokoh-tokoh yang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang jumlahnya melebihi proporsi wilayah dan populasinya dibandingkan dengan daerah-daerah atau suku bangsa-suku bangsa lain di Indonesia. Dalam rentang sejarah, Ranah Minang telah melahirkan tokoh-tokoh politik, budaya, sastra, wartawan, diplomat dan pengusaha yang tak sedikit kontribusinya untuk kemajuan bangsa.
Pengalaman lebaran atau berhari raya di Sumatera Barat yang dikenal Ranah Minang sangat terasa sekali. Disetiap sudut tempat yang berawal dari bandara Internasional Minangkabau, terpasang Baliho berukuran besar yang didalam terdapat gambar Gubernur Sumatera Barat dan wakil Gubernur yang sedang mengucapkan kata sambutan “Selamat Datang Dunsanak Kami Para Perantau Minang”. Begitu juga di sudut-sudut sepanjang jalan menuju kota padang bertebaran spanduk dan Baliho terpasang dengan ucapan yang sama.
Perantau yang pulang kampung pada saat lebaran menyesakkan kota-kota di Sumatera Barat. Kendaraan- kendaraan Plat-plat nomor Polisi dari berbagai kota Sumatera Barat memenuhi lalu lintas ranah Minang tersebut. Tradisi pulang Basamo yang dilakukan para perantau dan sambutan pemerintah daerah masing - masing kabupaten/kota membuat para perantau pulang dengan perasaan gembira dan bangga.
Setelah hari pertama lebaran, tempat-tempat wisata di Ranah Minang penuh dengan para perantau yang menjadi wisatawan lokal dan memacetkan lalu lintas ke daerah-daerah wisata . Geliat perdagangan di Ranah Minang makin terdongkrak dengan pulangnya para perantau ini, khususnya perdagangan makanan, pakaian, souvenir dan sebagainya, Pemerintah Daerah berhasil memanfaatkan potensi-potensi ekonomi dari para perantau Minang.
Mudiknya sekitar 300-an ribu perantau Minang ke kampung Halaman dari berbagai kota di Tanah Air pada Lebaran 1433 hijriah menggairahkan sektor riil di Sumatera Barat. "Kian banyak perantau Minang mudik baik jalur laut, darat dan udara, telah memberikan dampak multi efek, termasuk terhadap roda perekonomian daerah Sumatera Barat”.
Secara data konkretnya memang sulit mendapatkan berapa dana yang berputar di Sumbar selama libur lebaran, tapi diprediksi mencapai puluhan miliar, bahkan bisa ratusan miliaran rupiah. Dibandingkan dengan lebaran 2012 jumlah perantau yang pulang kampung mengalami peningkatan, bahkan semakin terorganisir, khusus untuk jalur laut saja tercatat 1.060 orang dengan kapal KRI Tanjung Nusanive, ditambah jalur darat dan udara dari berbagai kota serta luar negeri, andaikan seorang perantau membawa uang mudik senilai Rp5 juta, dan dikalkulasi dengan jumlah kepala keluarganya puluhan ribu, tentu mencapai ratusan miliar.
Kehadiran banyak perantau yang mudik itu, tentu sangat dirasakan bagi pelaku usaha kecil, seperti pedagang kaki lima di kawasan obyek wisata, pedagang oleh-oleh, rumah makan serta kerajinan industri rumah tangga. Dampak positifnya perantau pulang basamo, membuktikan semakin kompak dan perhatian terhadap Ranah . Karena itu, kehadiran perantau mudik lebaran kesempatan bagi Ranah atau kabupaten dan kota memanfaatkan saling berbagi informasi dan mengembangkan jaringan. "Sebagian kepala daerah sudah memanfaatkan kehadiran perantau untuk berbagi informasi dan menjalin kerja sama dalam berbagai sektor, contohnya terbangunnya kerja sama Pemkab Agam dengan seorang perantau dalam bidang pendidikan melalui program beasiswa untuk dua orang ke Malaysia. Langkah yang sama, tentunya sudah terlaksana di kabupaten dan kota dengan para perantaunya, baik bidang pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kesehatan. Pertemuan berbagai elemen masyarakat atau pemerintah kabupaten dan kota dengan perantau, hendaknya tak hanya sebatas dialog atau melaporkan yang bagus-bagus saja.
Namun, harus menyampaikan peta masalah dan potensi sosial dan sumberdaya alam dengan jelas sehingga membuka ruang untuk berpartisipasi perantau membangun kampung halaman. Bahkan, sampai kepada pemerintahan nagari harus mengungkapkan berbagai persoalan dan kendala yang dihadapi dalam membangun.
Terkait, kontribusi perantau sangat dibutuhkan dalam mendukung program pembangunan di berbagai bidang, menimalnya di kampung kelahirannya. "Sumbangsih dari perantau jangan diharapkan materil saja, tapi pemikiran, keahlian yang mungkin dapat ditularkan pada masyarakat dan generasi muda, karena banyak perantau Minang punya keahlian diberbagai bidang. Justru itu, momentum perantau pulang kampung hendaknya digarap lebih optimal lagi agar mereka terlibat dalam kegiatan pembangunan. Upaya itu, tentu Ranah harus siap dalam termasuk pemetaan masalah ditingkat nagari/kelurahan, karena salama ini masih menjadi kendala. Ke depan, tentunya hal-hal seperti ini hendaknya menjadi perhatian bagi setiap Wali Nagari maupun jajaran instansi terkait tingkat kabupaten dan kota. "Membangun daerah tidak akan mampu mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), butuh dukungan pihak ketiga yang salah satunya potensi perantau.
Perubahan sebagai hukum yang bersifat tetap, apalagi ketika memasuki wilayah kebudayaa, menuntut satu hal dari para pendukungnya yaitu kesadaran dan perannya dalam menghadapi dan menyikapi perubahan itu. Kebudayaan dan peradaban selalu saja berkorelasi dengan tuntutan dan kebutuhan hidup, yang salah satu bentuknya sangat berkaitan dengan interaksi antar nilai. Semakin terbuka masyarakat dan masing-masing individu menyikapinya.
Disini sangat jelas perbedaan antara bagaimana masyarakat (sebagai satu kebersamaan) dengan individu (sebagai pribadi merdeka) dalam menyikapi masa depan mereka (yang tak selalu mengandung makna kebudayaan). Pada umumnya orang Minang menjadi pendukung kuat budaya Minangkabau ketika dalam suatu suasana kebersamaa, tetapi tidak ketika sebagai individu. Keadaan akan makin lebih parah lagi ketika tak birokrasi terlihat setengah hati menyentuh ini, sementara pintu otonomi terbuka lebar untuk itu..Birokrasi kelihatan tidak memahami Minangkabau, bahkan sepertinya enggan berlaku mewakili kehendak dan aspirasi masyarakat yang bersifat lokal.
Menurut pendapat Mokhtar Naim, Masyarakat pendukung budaya Minangkabau dan sikap pemerintah daerah Sumatera Barat, yang keduanya seperti sependapat untuk tidak bersikap sungguh-sungguh, komprehensif dan aplikatif dalam “menyelamatkan’ masa depan melalui pengedepanan kearifan budaya local. Sikap tidak sungguh-sungguh ini telah menggejala sejak beberapa generasi dan nampaknya masih akan berlangsung terus.
Pada sisi lain, merantau lagi memiliki kolerasi dengan karatau madang di ulu, ini telah menjadi fenomena sosio – ekonomi tanpa dibatasi waktu dan nilai, sekarang sepertinya diartikan keputusasaan dan pengingkaran. Orang kampung seperti kehilangan kontak dengan budaya dan lingkungan asalnya sehingga dengan mudah melepaskan dirinya tanpa rasa bersalah.
Pengetahuan, pemahaman dan kebanggaan pada adat dan nagari untuk tidak menyebut Minangkabau berada pada tingkat yang mencemaskan mereka. Bukan minimnya pengalaman bernagari, tetapi juga melemahkan hubungan di antara keduanya. Hubungan Nagari dan Perantau semakin menonjol dan semakin mudah diukur dengan menggunakan ukuran keberhasilan para perantau secara ekonomis. Suatu hal yang amat dirasakan oleh anak Nagari adalah landasan pikir yang dibawa rantau dalam hubungan dengan Nagari adalah membantu, bukan dalam makna membangun yang mengandung pengertian kesejajaran.
Berinvestasi sebagai salah satu bentuk kepedulian membangun Nagari, dengan memanfaatkan potensi dan kekayaan Nagari sebagai counter-modal, belum menjadi pilihan, disebabkan belum pilihan bagi perantau potensial karena menurutnya berinvestasi di kampung jauh lebih berisiko dibanding berinvestasi di luar, orang rantau hanya membantu kampung halaman dengan bentuk bantuan secara spontan dan pada umumnya di bidang agama tanpa di ikat dalam suatu ikatan kerjasama.
Nagari mungkin masih bisa jadi pilihan pemerintahan terendah kita, setidak-tidaknya untuk nama tetapi juga dalam bentuk, struktur,hierarkhi, mekhanisme kerja, fungsi dan tanggungjawabnya, harus dirumuskan secara jelas. Semua itu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup hari ini. Perlu segera ada upaya untuk berinvestasi, reaktualisasi dan revitalisasi segala bentuk hak-hak adat, hak milik dan kekayaan nagari, hak-hak hukum, lembaga-lembaga dan apa saja yang berkaitan dengannya. Semua dilakukan dengan orientasi masa depan. Sehubungan dengan ini peran perantau akan sangat besar. Para perantau terdiri dari kelompok pengusaha, bermodal dan berpikiran maju. Dengan demikian maka orang rantau tidak lagi datang dengan semangat membantu, tetapi berganti menjadi semangat berusaha dan berinvestasi dan menjadi semangat berusaha dan berinvestasi serta menjadikan Nagari sebagi mitra usaha.
Betapapun pengetahuan, pemahaman dan apresiasi masyarakat pendukung yang terus menurun terhadap budaya Minangkabau, mereka masih tetap bangga menjadi orang Minang. Kebanggaan demikian nyarishadir tanpa bentuk, tak jelas arah dan apa yang akan dituju. Bagi mereka yang memilih keluar dan meninggalkan kampung atau merantau, kampung halaman hanyalah sekedar tanah kelahiran untuk di catat di KTP. Mereka tinggalkan kampung untuk maisi paruik indak barisi, manutuik pungguang indak basaok, nyaris tanpa bekal budaya dan pengenalan potensi nagari. Perantau kedepannya diharapkan dalam membangun Nagari, mka mereka harus dibekai dengan pemahaman nilai-nilai budaya lokal dan pengenalan potensi Nagari mereka masing-masing serta faktor simbol-simbol budaya Minangkabau masih sangat perlu ditingkatkan.