Rantai Pasok Beras Bermasalah
Artikel YANITA SELLY MERISTIKA, S.Kom(Dinas Pangan) 02 Maret 2016 21:11:51 WIB
Distribusi Melalui Tujuh hingga Sembilan Tangan
JAKARTA, KOMPAS — Rantai pasok beras dari daerah penghasil ke pasar-pasar kota besar dikuasai para perantara. Kondisi ini menyebabkan perbedaan harga di petani dan konsumen sangat besar. Pemodal memanfaatkan situasi ini.
Petani tidak mendapatkan untung besar, sementara konsumen harus membayar mahal beras. Kesulitan modal bagi petani menjadi penyebab perdagangan beras dikuasai para perantara.
Kondisi ini diketahui setelah Kompas melakukan perjalanan di sejumlah daerah dan mengikuti alur perdagangan beras, pekan lalu, dan mengonfirmasi ke sejumlah kalangan, Minggu (28/2).
Di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, misalnya, alur perdagangan beras sangat panjang, mulai dari petani, penebas, pedagang proses atau pemilik penggilingan kecil, pengepul, pedagang besar, pasar beras, pedagang kecil, hingga ke konsumen.
Akibatnya, disparitas harga gabah dan beras medium mulai dari petani sampai ke konsumen pada awal tahun ini cukup tinggi, yaitu rata-rata Rp 6.200 per kilogram. Dari hasil penjualan gabah kering panen (GKP) musim tanam pertama, petani mendapat Rp 3.800 per kg, sementara harga beras medium di konsumen di atas Rp 10.000 per kg
”Pada tahun ini, kami tidak untung sama sekali. Kami membeli GKP petani Rp 3.700 per kg. Namun, beras kami dibeli pengepul Rp 7.100 per kg, di bawah harga pembelian pemerintah (HPP), yaitu Rp 7.300 per kg,” kata Wandi (56), pemilik penggilingan kecil di Desa Tambirejo, Kecamatan Gajah, Demak.
Keuntungan terbesar diperoleh pedagang pemilik penggilingan besar karena memotong alur pedagang proses dan pengepul. Dalam hal ini, peran penebas cukup besar. Mereka memberikan informasi kepada para pedagang pemilik penggilingan besar. Mereka juga menebas padi petani sebelum panen dengan memberikan uang muka kepada petani Rp 2 juta-Rp 4 juta per hektar.
”Modalnya dari kami sendiri dan ada yang dari pedagang rekanan kami dari Cirebon, Karawang, dan Indramayu. Kami biasanya menyiapkan tenaga panen borongan,” kata Sugito (50), penebas asal Kecamatan Karanganyar, Demak.
Sementara Darsono (45), pemilik penggilingan padi di Desa Bakung Kulon, Kecamatan Jamblang, mengaku membeli gabah kering giling dari pengepul di sejumlah daerah, terutama Demak dan Kuningan (Jawa Barat), rata-rata Rp 5.000-Rp 5.500 per kg. Harga tersebut sudah termasuk biaya transportasi. Kalau sudah menjadi beras dan dijual di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, harganya menjadi Rp 9.500 per kg untuk beras kualitas II dan Rp 10.000 per kg untuk kualitas I. ”Ketika masuk ke pasar tersebut, saya biasanya membayar Rp 100.000 per truk ke perantara-perantara pedagang di pasar induk,” katanya
Sangat kuat
Keadaan yang tidak berbeda jauh terjadi di Jawa Timur. Selama ini, penebas atau pengepul menguasai dan menentukan harga gabah saat panen. Peran mereka sangat kuat sehingga perpindahan beras dari petani ke konsumen sangat panjang.
Ketua Paguyuban Pedagang Beras Bendulmerisi Surabaya, Jawa Timur, Sudarno mengatakan, ketergantungan petani pada penebas sangat besar. Petani mengikuti harga yang diminta penebas karena petani membutuhkan biaya untuk panen serta modal untuk musim tanam berikutnya.
Selama ini, penebas menerapkan sistem borongan. Jadi, hanya dengan melihat dari jauh langsung menetapkan harga total hasil produksi, misalnya Rp 20 juta. Tanpa perlu ditimbang, jadi benar-benar seperti berjudi. Dengan cara ini, petani tak lagi repot membiayai proses panen karena itu menjadi tanggung jawab penebas. Biasanya, penebas menaikkan harga Rp 200 hingga Rp 400 per kg ketika menjual beras kepada pedagang.
Suprapto, Ketua Asosiasi Pengusaha Beras dan Padi Sidoarjo, mengatakan, gabah yang dibeli dari petani tidak pernah ditahan setelah diproses, tetapi langsung dijual kepada pedagang. ”Buat apa menyimpan gabah meski sudah diproses melalui mesin pengering canggih dengan kadar air benar-benar rendah. Begitu digiling langsung ke pedagang, tanpa lewat distributor,” katanya.
Petani yang rata-rata penyewa lahan, memilih menjual gabah saat panen karena sudah terjerat tengkulak. Fasilitas sarana pengering berupa terpal plastik dari pemerintah tidak menjamin petani mau menjemur sendiri gabahnya karena tidak memiliki tempat penyimpanan.
Di Makassar, perilaku para perantara dan spekulan juga muncul. Sekretaris Kelompok Tani Nelayan Andalan Sulawesi Selatan M Asri mengatakan, mahalnya harga beras dipicu spekulan atau pedagang yang kadang-kadang menyimpan beras.
Pemodal besar
Jaringan rantai pasokan pedagang dan pemilik penggilingan yang kuat menyebabkan Perum Bulog kesulitan menyerap beras petani. Jaringan rantai distribusi tersebut membentuk harga pasar yang pada tahun ini di atas HPP sehingga semakin menyulitkan Perum Bulog. Kondisi ini semakin rumit karena ada pemodal besar yang menguasai pembelian dari petani, mengolah beras, dan memasarkan langsung ke pusat penjualan.
Badan Pusat Statistik mencatat, alur distribusi beras dari produsen ke konsumen akhir untuk seluruh Indonesia rata-rata melibatkan dua-sembilan fungsi kelembagaan perdagangan.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, alur distribusi terpanjang berada di DKI Jakarta. Pola perdagangannya mencapai tujuh rantai dengan delapan mediator atau kelembagaan. ”Rantai perdagangan seperti itu dapat menyebabkan harga di tingkat konsumen akhir terlalu tinggi,” katanya.
Suryamin menambahkan, untuk margin perdagangan dan pengangkutan beras mencapai 10,42 persen. Dengan margin itu, rata-rata pelaku perdagangan beras mendapatkan keuntungan 10,42 persen dari nilai pembelian.
sumber : epaper1.kompas.com