Kemandirian Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal
Berita Utama YANITA SELLY MERISTIKA, S.Kom(Dinas Pangan) 04 November 2013 04:48:57 WIB
Sumber bahan makanan rumahtangga Indonesia berasal dari produksi dalam negeri dan dari impor. Indonesia termasuk importir utama untuk berbagai makanan pokok seperti beras, gandum, kedelai, jagung, dan gula. Konsumsi gula domestik hampir setengahnya dicukupi melalui impor. Kondisi yang sama berlaku bagi pemenuhan kebutuhan kedelai. Impor bahan makanan yang relatif besar tentunya dapat meningkatkan risiko ketahanan pangan.
Impor Pangan Pokok Indonesia Tahun 2012
Komoditas Kuantitas (dalam juta ton)
1. Beras 1.8
2. Gandum 6.3
3. Tepung terigu 0.5
4. Jagung 1.5
5. Kedelai 1.9
6. Gula rafinasi 2.8
Sumber: Kementerian Pertanian (2013), BPS (2013), Kementerian Perindustrian (2013)
Harga bahan pangan pokok di pasar internasional yang sering bergejolak menyebabkan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas harga pangan di dalam negeri menjadi semakin sulit. Pada masa lalu gejolak harga pangan di pasar dalam negeri dapat diredam dengan memanfaatkan harga bahan pangan pokok di pasar internasional yang relatif stabil. Saat ini kondisi yang sebaliknya terjadi, dimana gejolak harga di pasar internasional ditransmisikan ke pasar domestik yang harganya relatif stabil.
Harga bahan pangan di pasar internasional semakin mudah bergejolak akibat semakin eratnya korelasi antara harga pangan dengan harga energi. Terjadi kompetisi penggunaan biji-bijian antara untuk pangan, pakan, dan energi. Harga energi yang relatif volatile di pasar internasional berimbas pada harga bahan pangan. Harga bahan pangan di pasar dunia juga semakin bergejolak, terutama di pasar future komoditas, pada saat pasar finansial mengalami tekanan.
Ketergantungan yang besar pada bahan pangan impor ternyata memunculkan risiko makroekonomi yang nyata. Harga bahan pangan yang meningkat di pasar internasional dapat menimbulkan inflasi di dalam negeri, yang bersumber dari volatile price bahan makanan. Inflasi yang meningkat ini direspon oleh pengelola moneter atau Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga. Impor bahan pangan yang besar juga memberi beban yang berat pada neraca perdagangan Indonesia. Pengaruh volatile price bahan makanan terhadap makroekonomi ini pada akhirnya dapat menekan daya saing perekonomian secara keseluruhan.
Indonesia yang memiliki sistem ekonomi yang terbuka aktivitas impor bukan sesuatu yang dilarang. Di samping importir bahan pangan penting, Indonesia juga eksportir bahan pangan yang besar. Indonesia adalah negara pengekspor utama produk kelapa sawit, kopi, kakao, dan berbagai produk tanaman perkebunan lainnya. Indonesia juga menjual ke luar negeri produk kehutanan, seperti kayu dan rotan.
Impor dan ekspor adalah aktivitas yang tidak dapat dielakkan bagi negara-negara yang tidak autarki. Impor memiliki sisi positif, yaitu (1) dapat memperoleh produk dengan harga yang lebih murah, (2) meningkatkan keragaman produk yang tersedia, (3) meningkatkan kompetisi dan efisiensi di pasar domestik, dan (4) mempercepat pertukaran dan alih teknologi. Namun impor juga dapat membawa dampak negatif, yaitu (1) tertekannya produsen domestik, (2) membebani cadangan devisa, (3) meningkatkan ketergantungan, (4) dan dapat memunculkan misalokasi sumberdaya domestik. Misalokasi terjadi jika sumberdaya untuk pangan dalam negeri masih banyak yang menganggur, tetapi impor pangan terus meningkat. Keluhan utama yang sering muncul sebagai protes atas impor pangan adalah impor dapat menimbulkan ketergantungan dan memperlemah kedaulatan ekonomi, sosial, dan pertahanan negara.
Berbagai dampak negatif akibat ketergantungan pada bahan pangan impor menyebabkan kuatnya dorongan untuk adanya kemandirian pangan. Kemandirian pangan memerlukan syarat yang lebih ketat dibanding ketahanan pangan. Jika dalam ketahanan pangan yang dipentingkan adalah akses setiap orang terhadap pangan, baik melalui produksi dalam negeri ataupun impor, maka kemandirian pangan disamping mementingkan akses juga mengutamakan sumber bahan pangan dari domestik. Semakin tinggi komponen impor dalam konsumsi pangan rumahtangga, maka semakin rendah kemandirian pangan.
Impor pangan dianggap berbeda dengan impor mesin, peralatan, bahan baku dan bahan penolong untuk manufaktur. Impor bahan pangan habis untuk dikonsumsi, dan tidak meningkatkan kapasitas produktif negara. Sebaliknya impor mesin dan peralatan, tidak saja meningkatkan kapasitas produktif dalam negeri tetapi juga dapat menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar. Impor bahan pangan juga dianggap menghamburkan devisa yang mahal bagi keperluan yang lebih rendah nilainya dibandingkan impor barang modal dan bahan baku.
Bahan pangan pokok dinilai lebih murah dihasilkan dengan menggunakan sumberdaya dalam negeri daripada impor. Bahan pangan dapat dihasilkan dengan menggunakan tenaga kerja dan sumberdaya tanah, yang secara ekonomi relatif murah di negara-negara berkembang. Tenaga kerja dan tanah yang menganggur pada dasarnya memiliki biaya imbangan (opportunity cost) yang rendah dan bahkan mendekati nol. Untuk memproduksi pangan lokal, petani dapat memanfaatkan sumberdaya dan fasilitas yang sudah tersedia secara lokal. Derajat subsistensi di sisi input dan output rumahtangga petani yang menghasilkan pangan lokal umumnya cukup tinggi. Petani menggunakan tenaga kerja keluarga sendiri, menggunakan benih atau bibit dari hasil panen sebelumnya, dan sebagian hasilnya dikonsumsi untuk keperluan rumahtangga. Katergantungan pada pasar relatif rendah bagi petani penghasil pangan lokal ini.
Bahan pangan lokal memiliki ciri yang antara lain (1) diproduksi tidak jauh dari tempat konsumsinya, (2) mengutamakan pemakaian sumberdaya lokal, (3) teknologi yang digunakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi penduduk setempat, dan (4) lebih ramah lingkungan. Jika bahan pangan produksi lokal diharapkan mampu memiliki peranan dalam perbaikan gizi ataupun ketahanan pangan masyarakat, sifat dari produksi pangan berbasis sumberdaya lokal yang cenderung subsisten tentunya perlu diubah,. Perlu ada upaya-upaya serius untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas bahan pangan lokal. Untuk itu, perbaikan dan peningkatan akses petani kepada teknologi tepat guna perlu diperluas. Teknologi tepat guna yang diperkenalkan hendaknya memiliki risiko produksi yang dapat diterima petani.
Pengembangan bahan pangan dengan menggunakan sumberdaya lokal juga memerlukan berbagai kondisi atau prasyarat untuk dapat berkelanjutan. Dengan meminjam pikiran Mosher (1966) dalam bukunya Getting Agriculture Moving, maka diperlukan empat syarat dari 5 syarat yang dituliskan Mosher. Syarat tersebut adalah: (1) a market for the products, (2) adaptability to changing technologies, (3) locally available inputs such as equipment and supplies, dan (4) increasing the quality and amount of agricultural land. Tanpa hadirnya empat prasyarat ini, maka sulit mengharapkan bahan pangan lokal mampu bersaing dengan bahan pangan yang selama ini sudah dominan menempati anggaran rumahtangga.