Mekanisasi, Peran dan pentingnya dalam pembangunan Pertanian

Artikel RASMUNALDI, ST(Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan) 23 Januari 2016 14:30:17 WIB


Oleh : Ir. Jamalus, MSi, UPTD Balai Mekanisasi Pertanian, Diperta Sumbar

 

Nak, rajin-rajinlah sikolah, supayo jaan ka sawah juo bantuak ayah ko. Ini adalah seuntai kalimat yang sering disampaikan oleh orang tua kepada anaknya (umumnya di pedesaan yang memang mata pencahariannya bertani ). Tentunya perlu kita bertananya, kenapa pernyataan ini muncul dan disampaikan oleh sebagian besar para orang tua yang memang berprofesi/pekerjaan sebagai petani? Apakah memang sebagai petani kita hidup susah atau miskin? Apa akibat dari pernyataan tersebut? Berikut kita coba ulas apa akibat dari pernyataan tersebut.

 

Ketersediaan tenaga kerja dan pekerjaan yang akan digarap.

Salah satu ciri pertanian modern adalah introdusir alat dan mesin dalam sistem usahatani (budidaya dan pasca panen). Bisa dibayangkan untuk melakukan pengolahan lahan sawah (olah tanah I dan II) untuk satu hektarnya diperlukan sekitar 40 orang tenaga Kerja (HOK) atau malahan lebih. Atau jika dengan menggunakan bajak kerbau per unitnya per hektarnya dibutuhkan waktu sekitar 10 – 12 hari kerja. Dengan traktor roda dua waktu kerja bisa dipangkas menjadi 2 – 3 hari saja. Ini merupakan suatu penghematan yang luar biasa. Apalagi saat ini mencari tenaga kerja untuk mengolah lahan sudah sulit dan harga yang mahal. Jika upah tenaga kerja satu hari mencapai Rp. 60.000,- – Rp. 75.000,-, tentunya untuk mengolah lahan seluas satu hektarnya memerlukan biaya sekitar Rp. 2.400.000,- sampai Rp. 3.000.000,- (untuk 40 HOK). Sebagai contoh, jika satu hamparan lahan sawah seluas 200 hektar yang olah lahan serentak membutuhkan tenaga kerja sebanyak 8.000 HOK. Jika diasumsikan waktu untuk pengolahan lahan persiapan tanam berkisar interval 21 hari, maka kebutuhan tenaga kerja berjumlah 380 orang (8.000 HOK dibagi 21 hari). Tentunya pertanyaan berikutnya apakah tenaga kerja sebanyak itu tersedia dilokasi tersebut ? Begitu juga jika hamparan lahan sawah luasnya menjadi 500 hektar tentunya jumlah tenaga kerja yang tersedia harus (500 hektar x 40 HOK = 20.000 HOK), maka dibutuhkan 952 orang.

Berikut kita beralih ke penanaman, dimana untuk satu hektar sawah dibutuhkan tenaga sebanyak 20 orang, ditambah dengan upah persiapan (mancabuik) benih sebanyak 5 orang per hektar, jadinya total 25 orang. Dirujuk kepada luasan 200 hektar, kita memerlukan HOK sebanyak 5.000 HOK, dibagi dengan waktu interval tanam maksimal 21 hari, maka diperlukan tanaga kerja tanam sebanyak 238 orang. Selanjutnya jika areal 500 hektar, tentunya kebutuhan tenaga tanam (500 hektar x 25 orang), dibagi 21 didapatkan 595 orang.

Selanjutnya kita bergeser ke proses panen, dimana untuk panen satu hektar tanaman padi sawah (sabit dan merontok) dibutuhkan sekitar 20 orang (jika dikerjakan dalam satu hari kerja). Jika dirujuk luasan yang ada seluas 200 hektar, maka kebutuhan orang untuk panen tentunya 4.000 HOK. Selanjutnya jiga dibagi dengan selang waktu mengerjakan sama dengan olah lahan yaitu 21 hari maka kebutuhan tenaga kerja adalah 190 orang. Jika luas sawah yang akan dipanen adalah 500 hektar tentunya dibutuhkan tenaga sebanyak 476 orang. Pertanyaannya berikutnya apakah tersedia jumlah sebanyak tersebut di lokasi?

Merujuk kepada pernyataan pada uraian pertama di atas, tentunya dapat kita amati betapa sulitnya tenaga kerja di lapangan saat ini. Ketersediaan tenaga kerja saat ini yang mau ke sawah didominasi oleh kaum tua dengan umur dominan 35 atau 40 tahun ke atas. Padahal dengan segitu tentunya kemampuan untuk bekerja sudah mulai menurun.

 

Kenapa Perlu mekanisasi ???

Peran strategis mekanisasi dalam pembangunan pertanian diantaranya; Pertama, proses lebih cepat.Dengan mekanisasi, kita dapat melaksanakan pengolahan lahan, panen dan pasca panen dengan cepat. Apalagi saat ini kita perlu peningkatan intensitas pertanaman untuk mengejar peningkatan produksi ; ke dua, lebih efisien, kebutuhan ongkos (cost production) lebih rendah dibandingkan secara tradisional atau manual, baik untuk olah lahan maupun untuk panen; Ketiga, menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah, dengan menggunakanalsintan thresser (perontok) yang efektif dapat menekan/menurunkan kehilangan hasil ; Keempat, meningkatkan pendapatan. Mekanisasi pertanian memberikan kontribusi untuk menurunkan biaya produksi, meningkatnya hasil dan menurunnya susut hasil, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan usaha tani. Namun pada dasarnya, keempat posisi strategis mekanisasi itu menuntut prasyarat kelengkapan dan kesiapan kelembagaan dan sumber daya manusia sebagai pelaku pembangunan.

Dalam hal pemanfaatan alsintan, ditetapkan kebijakan yang menyangkut keterkaitan antara pemerintah, pengusaha dan akademisi (lembaga penelitian dan perguruan tinggi) dan didalamnya diharapkan memuat beberapa hal sebagai berikut :

  • Pemanfaatan dan penempatan teknologi alat dan mesin pertanian yang cocok dan sesuai lokasi (the right machine on the right land).
  • Penempatan jumlah atau rasio alsintan seasuai dengan yang dibutuhkan (lahan dan alsintan).
  • Peningkatan kemampuan SDM petani (operator) sehingga mampu mengelola alsintan secara lebih baik, terawat dan bertahan lebih lama (mencapai umur produktif).

 

Mekanisasi yang efektif dan efisien.

Mekanisasi diharapkan dapat memecahkan masalah kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usahatani, baik saat berproduksi (on-farm), panen (harvesting) maupun pasca panen, menekan ongkos produksi, menekan kehilangan hasil menuju efisiensi usahatani sehingga meningkatkan pendapatan petani. Berkenaan dengan efektivitas dan efisiensi mekanisasi, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu ; 1) ketepatan alokasi alsintan sesuai kondisi lahan (the right machine on the right land), 2) kerapatan alsintan sesuai dengan luasan lahan yang ada (rasio jumlah alsintan dengan luas lahan) dan 3) kesinambungan penggunaan dan perawatan sehingga mencapai umur produktif alat.

Kesesuaian alsintan dengan kondisi lahan merupakan hal yang perlu diperhatikan. Misalnya traktor roda dua dengan motor penggerak diesel 8,5 PK akan efektif pada lahan sawah datar sampai lahan yang sedikit miring. Traktor roda dua 8,5 PK ini kurang efektif bila dialokasikan pada daerah yang berlereng agak besar karena petakan sawah relatif kecil dan sulit mobilisasi antar petakan. Pada daerah yang lahan sawahnya berlereng agak besar, akan lebih cocok dan efektif traktor roda dua motor penggerak 6,5 PK. Begitu juga selanjutnya untuk daerah yang lebih berlereng tinggi maka akan efektif traktor 5 PK atau jenis bensin yang lebih ringan. Sebaliknya traktor Diesel 6,5 PK akan kurang efektif bila dialokasikan pada daerah yang datar karena kemampuan kerja akan berkurang. Misalnya, sebagian besar (dominan) lahan sawah di Kabupaten Padang Pariaman, Pesisir Selatan, Kota Padang, Dharmasraya, Pasaman Barat, Agam Barat cocok dengan traktor roda dua 8,5 PK. Sebaliknya, untuk dominan lahan sawah di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, Kabupaten 50 Kota, Kota Padang Panjang, Pasaman, Solok Selatan dominan cocok traktor roda dua 6,5 PK atau yang agak kecil 5 PK atau jenis penggerak bensin.

Disisi lain, untuk jenis lahan sawah rawa dan relatif dalam maka jenis alsintan untuk pengolah lahan adalah hidro tiller (kura-kura). Jika dialokasikan traktor roda dua type bajak dan cocok untuk lahan sawah dangkal tidak akan efektif dan tidak akan bermanfaat banyak. Maka ketepatan alokasi inilah yang perlu dalam memberikan bantuan alsintan.

Kerapatan atau rasio alsintan terhadap luas lahan sangat menentukan efektifitas atau jam kerja alsintan. Menurut teknis, traktor roda dua kisaran rasio dalam satu musim tanam adalah 20 – 30 hektar. Artinya dalam satu musim tanam, jumlah areal yang dapat digarap oleh traktor roda dua berkisar minimal 20 hektar atau sampai 30 hektar. Jika dalam satu musim tanam, satu unit traktor hanya bekerja seluas 10 hektar, artinya alsintan tersebut tidak efektif dan ada kapasitas tidak tergunakan (idle capacity) seluas 10 hektar. Dengan demikian, maka jika dalam satu kecamatan terdapat luas lahan sawah 1.500 hektar, maka untuk mengolahan lahan sawah cukup sebanyak 75 unit. Jika jumlah traktor roda dua sudah mencapai 95 unit atau lebih, maka sesungguhnya sudah terjadi kelebihan sebanyak 20 unit. Hal ini sudah dapat dikatakan bahwa sudah terjadi pemborosan investasi (walaupun dibeli sendiri oleh petani ataupun bantuan pemerintah) atau pemubaziran yang tentunya dana tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan atau bantuan jenis lain yang berguna bagi petani. Berkenaan dengan itu, jika diamati di lapangan secara kasat mata tergambar jumlah capaian hektar kerja traktor roda dua sudah rendah, yaitu ada yang 10 atau 12 hektar. Malahan untuk lokasi tertentu sudah mencapai di bawah 10 atau 8 hektar (ketika ditanya kepada operator). Hal ini tentunya sudah mengindikasikan kejenuhan traktor roda dua, dimana seharusnya luasan cakupan kerja sekitar 20 hektar atau lebih dalam satu musim tanam.

Perawatan dan pemeliharaan alsintan juga menentukan efektivitas dan efisiensi. Jika operator kurang memperhatikan pemeliharaan dan perawatan alsintan (penggantian oli terlalu lama) dan secara teknis untuk setiap 100 jam kerja. Mesin tidak akan bertahan lama dan cenderung cepat rusak. Selanjutnya juga jika alsintan sudah memperlihatkan rusak ringan, tapi tidak dilakukan perbaikan, maka rusak ringan ini akan menjadi rusak berat. Kalau sudah rusak berat, jam kerja akan menjadi lebih rendah dan umur pakai alsintan menjadi rendah. Artinya seharusnya alsintan efektif digunakan lebih dari 10 tahun (bisa mencapai 15 tahun), namaun karena tidak dirawat dan dipelihara, maka umur produktifnya mungkin saja hanya mencapai 7 atau 8 tahun.

 

Kesimpulan

Alsintan sangat dibutuhkan sekali dalam pembangunan pertanian. Berkaitan dengan itu, untuk mencapai efektivitas dan efisiensi alsintan, akan ditentukan kesesuaian tipe/jenis alsintan dengan kondisi lahan (the right machine on the right land). Selain itu, juga perlu analisis sudah sejauh mana rasio/kerapatan alsintan di suatu daerah/wilayah. Jika kerapatan sudah melebihi kebutuhan idial tentunya akan berakibat kepada inefisiensi sumber daya dan berakibat kontra produktif. Keberadaan alsintan bukan hanya tidak dibutuhkan dilapangan, akan tetapi juga menjadi masalah baru, seperti perbaikan berkala. Selanjutnya alsintan juga akan cepat rusak, karatan. Selanjutnya akan menjadi ironis lagi, petani kurang merawat alsintan dan sebagian mereka berpikiran dan mengira kurang merawat alsintan karena mereka mengira akan dapat lagi bantuan di tahun mendatang.