CACI MAKI MENGUAT SOLIDARITAS MENURUN MENGAPA?

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 11 Desember 2015 18:48:33 WIB


Catatan Pinto Janir

Aku menulis surat ini ketika hujan sore berderai-derai di kotaku yang dingin. Aku menggigil bukan karena tak tahan ditikam angin, dingin dan hujan. Tapi ketika payung yang kukembang tak lagi bisa menenggang hujan yang deras.

Aku menggigil, bukan karena dingin. Tapi karena melihat mobil yang mogok terjebak banjir dan didorong oleh beberapa orang lelaki. Ketika kendaraan keluar dari genangan air, beberapa tangan lelaki menampung ke pengendara. " Terimakasih....", katanya sambil mengantongi sejumlah uang.

Aku berjalan, pada sebuah simpang beberapa lelaki mengarahkan mobil untuk ke jalan lain karena jalan lurus macet. Kemudian mereka menampungkan kotak tempat pengendara melemparkan uang. Terimakasih!

Berhari kemudian, hujan sudah lama reda. Kotaku yang tadinya berlangit bersih, kini berkabut. Dari kabut bercampur asap. Dari asap menjadi pengap. Langitku kotor. Karena di hutan tak ada lagi solidaritas perimba modern. Hutanku dipanggang pembuka ladang.

Aku membuka Facebook dalam segelas kopi manis. Namun beranda FBku penuh dengan carut marut dan caci maki. Sopan santun seakan lenyap. Tukang caci seperti ingin dianggap kritis. Umpatan kakus membuat beranda FB-ku busuk. Bau.

Orang-orang yang selalu merasa benar, keras dan tajam, seakan-akan ingin dianggap idealis. Kerja tuan seakan salah melulu.

Lalu aku harus bagaimana? Apakah harus larut dan ikut dalam simponi caci maki atau orkestra kebencian biar dipandang kritis dan idealis?

Tidak. Aku memilih diam, bukan karena diam itu emas. Bukan karena aku ingin dianggap baik. Karena dalam hiruk pikuk yang sangat galau, orang baik memilih diam karena tak sudi terjebak dalam kegaduhan pikiran beragam dalam irama yang seakan mendendangkan rasa sakit yang tak hilang-hilang; sehingga yang muncul jeritan keras kemudian seakan terjebak dalam keluhan kebencian yang membawa dendam tak berkesudahan.

Mengapa kita saling mengasah muncung sampai berkeruncingan untuk menikam sesuatu yang sebenarnya tak perlu ditikam-tikam benar. Aduh...!

Negeriku Indonesia yang satu, tak perlu kurusak dengan segala macam hal ihwal yang membuat kita berderai-derai. Bila ada yang salah mengapa tidak bersama-sama kita memperaikinya. Caci maki adalah cambuk yang membuat Indonesia kita makin sakit, bukan makin kuat.

Sudah kukatakan, bila bangsa sakit, puisi obatnya. Puisi adalah rasa. rasa adalah hati. Hati adalah jiwa. Jiwa adalah kita. Kita adalah Indonesia. Indonesia adalah bangsa santun. Bahasanya sopan, tuturnya lembut. Indonesia adalah bangsa berbudaya. Oleh budaya juga kita saling menghormati, saling menyegani, saling menyantuni dan budaya media pemersatu bangsa. Dengan solidaritas kita berindonesia.

Lenyap solidaritas. Lenyap rasa. Lenyap budaya.Lenyap bangsa Lenyap bangsa, musnah nusantara.

Hari ini mari kita berbaik-baik sangka. Hilang baik sangka, muncul kekhawatiran. Timbul kekhawatiran muncul kecurigaan. Muncul kecurigaan, hilang rasa percaya. Lenyap rasa percaya, khianat menjadi raja. Ketika khianat merajalela, kegaduhan di mana-mana. Gaduh adalah neraka. Damai adalah surga.

Indonesia adalah bak sepotong surga di atas dunia. Bila 'surga' ini kita nerakakan dengan saling hantam, saling serang, saling tikam, saling caci; maka iblis tersenyum di atas Indonesia.

Mari kita bangun Indonesia dengan hati, dengan solidaritas, dengan saling kasih, saling sayang dan saling cinta.

Dan solidaritas itu adalah saling tenggang. Sesakit sesenang.Sehina semalu. Seciap bak ayam, sedengking bak besi.

Solidaritas itu adalah ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun.

Solidaritas itu adalah saling membesarkan kawan untuk membesarkan Indonesia.

Solidaritas itu adalah kita yang baik.

Salam solidaritas; Pinto Janir