1) MENGENANG SETAHUN BERPULANGNYA TOKOH PERS SUMBAR H NASRUL SIDDIK (INYIAK) MENGENAL INYIAK DAN MENUANGKAN GAGASAN (1)
Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 23 Juni 2015 02:49:45 WIB
Pinto, Inyik Nasrul Siddik butuh wartawan muda untuk koran Canang yang baru beliau dirikan “, kata Pak Effendi Koesnar sambil melirik ke Pak Roesli Syaridin pada sebuah ruang redaksi Harian Semangat, “ kami berdua menyebutkan nama Pinto pada Inyik. Inyik setuju. Minta Pinto menemui Inyik di rumahnya jalan Bangka nomor 22 Wisma Warta Ulakkarang”.
Waktu itu sekitar akhir tahun 1988. Saya baru saja tamat SMA dan baru pula menyelesaikan Ospek di Fisipol Universitas Ekasakti Padang. Saya mengenal jurnalistik bermula dari Harian Semangat. Begitu tamat SD tahun 82, saya ‘melamar’ ke koran ini. Yang saya ojokkan adalah ijazah SD saya itu ke Pak MS Sukma Djaja. Pak Sukma yang badannya berdegap ini kala itu jadi Pemimpin Redaksi Semangat. Di samping Pak Sukma, ada Pak Zakaria Yamin. Mereka memandang saya dengan raut wajah bergarah, masa pula anak sekecil itu mau melamar jadi wartawan?
Sungguh, jadi wartawan adalah impian saya sejak kanak-kanak. Di kampung saya Alai Gunungpangilun ada namanya Pak Muntasir. Ia wartawan dan juga kerja di Deppen. Pak Muntasir kemana-mana acap menjinjing kamera. Kalau ada pejabat datang ke kampung saya, Pak Muntasir itu habis memotret selalu duduk di muka dan sangat dihargai banyak orang. Dari Pak Muntasirlah saya terinspirasi menjadi wartawan pula. Hobi saya memang mengarang. Kalau anak SD hanya menulis satangah halaman buku Letjes, saya sudah bisa menulis sampai 2 halaman benar.
“ Eh, kenapa kamu termenung. Ini duit, tolong belikan saya rokok Gudang Garam merah”, kata Pak Sukma mengejutkan lamunan saya. Saya masih ingat, lagak Pak Sukma merokok. Rokok kretek itu acap terselip di ujung bibirnya. “ Benar kamu mau jadi wartawan?” tanya Pak Sukma. “ lekas saya mengangguk gadang seraya menyerahkan sebuah berita tentang pertandingan tenis meja antar RT di kampung saya Gunungpangilun. “ Ini berita saya Pak”, ucap saya.
Pak Sukma tampak mengangguk-angguk. Lalu beliau memanggil Pak Roesli Syaridin yang belakangan saya ketahui sebagai redaktur olahraga yang akrab dipanggil dengan sebutan Pak Soeli. “ Pak Suli, anak ini mau jadi wartawan. Ini beritanya!”. Lama pula Pak Suli mematut berita itu. “ Nama aslinya kok payah benar lidah menyebutnya”, ujar Pak Suli membaca nama “Friheddapinta” di bawah berita tersebut. “ Panggilan kamu siapa?” tanya Pak Suli. Saya jawab, “ Pinto “. Lalu, “ Nama orangtua?” tanya Pak Suli lagi. Jawab saya: “ Janir”. Pak Suli mengangguk-angguk, sementara Pak Sukma sudah duduk di balik meja kerjanya. Gagah benar bapak itu di mata saya, sambil memeriksa berita, rokok terselip rancak di ujung bibirnya. “ Ha, begini saja, mulai kini nama kamu Pinto Janir bukan Friheddapinta. Disingkat PJ”, ujar pak Suli berlalu sambil membawa berita saya tadi. Besoknya, berita itu benar-benar terbit di halaman olahraga. Saya kundang-kundang terus berita pertama saya itu. Saya pelanggakkan ke orang sekampung, bahwa saya ‘wartawan’ juga akhirnya.
Di mana-mana sampai kini nama populer saya Pinto Janir. Itu pemberian Pak Suli (alm). Sejak SMP (saya sekolah di SMP negeri 5 Padang) hingga SMA ( di SMA 3 Padang), sambil sekolah saya terus menulis berita di harian Semangat dan terus mendapat jabatan sebagai pemimpin redaksi di mading sekolah, baik di SMP negeri 5, maupun di SMA negeri 3 Padang. Bahkan, dari honor menulis itu, saya agak kurang meminta jajan pada orangtua.
Olala, panjang benar saya berkisah-kisah. Yang jelas, pada tahun 1988 itu saya benar-benar menemui Inyik Nasrul Siddik di rumahnya, di jalan Bangka itu tadi.
***
Baiklah, bertuturlah saya ke belakang masa kembali. Masa-masa pertemuan saya dengan Inyik Nasrul Siddik di rumahnya. Padahal sudah sebulan pula lamanya Pak Effendi Koesnar dan Pak Suli meminta saya menemui Inyik Nasrul Siddik. Baru kini saya laksanakan.
Kala saya tiba, orang sedang ramai rupanya di rumah Inyik. Tentulah orang Mingguan Canang semua.
“Pak, awak disuruh Pak Suli dan Pak Effendi menemui Apak.Namo awak Pinto Janir”, kata saya begitu jumpa Inyik Nasrul Siddik. Gaya bersalam Inyik hangat benar. Beliau senyum. Senyum. Senyum yang sangat kharismatik. Inyik bertanya, apa saya mau bergabung dengan Mingguan Canang. Saya jawab pertanyaan Inyik dengan menyerahkan cerita bersambung serial anak muda yang sudah saya jilid tebal.
“Harris.....harris.....Alwi...Alwi...” terdengar oleh saya Inyik memangggil nama Harris dan Alwi yang rupanya sedang ada pula di rumah itu yang sedang ada pertemuan redaksi Canang. Yang belakangan saya ketahui bernama Harris Efendi Thahar dan Alwi Karmena. Yang bang Harris kini ‘Professor Sastra’ dan Bang Alwi yang kelak selama saya di Canang menjadi ‘abang’ yang sangat memberi banyak pelajaran kepenulisan,kesusastraan,kepuisian pada saya.
“ Ini Pinto Janir”, Inyik mengenalkan saya pada Bang Harris dan Bang Alwi seraya menyerahkan kumpulan cerita bersambung saya ke Bang Harris. Kelak di Mingguan Canang, serial itu terbit rutin sejak tahun 1988 itu hingga saya ‘berhenti’ di Canang tahun 2000. Serial Topan, nantinya digandrungi pembaca muda Canang. Selain serial Topan, saya juga bikin kolom “Kamu Menanyakan Topan yang Jawab”. Kolom ini juga banyak peminat pembaca muda Canang.
“ Pinto, besok temui saya di kantor Canang di jalan S Parman Lolong”, ujar Inyik Nasrul Siddik. Kepada Inyik Nasrul Siddik, saya tak memanggil beliau dengan sebutan Inyik, tapi saya “ber-apak” ke beliau. Saya dengar belakangan, Bang Alwi Karmena, Bang Harris, dan Pak Yurman Dahwa (Redaktur Pelaksana Canang) memanggil Inyik dengan “ Da Nas...”.
Setelah bertemu dengan Pak Nasrul Siddik, bang Harris, Bang Alwi dan Pak Man (Yurman Dahwat), saya langsung ‘mempelajari’ halaman demi halaman Mingguan Canang. Saya mendapat kesimpulan, Canang kurang memberi tempat kepada pembaca remaja/muda/pelajar. Saya ingin Canang juga dibaca oleh kalangan muda atau pelajar. Lalu saya buat proposal halaman baru di Canang. Halaman itu saya beri nama ‘dari Sekolah ke Sekolah’; saya singkat dSkS. Pada halaman dSkS ada banyak rubrik. Untuk cerita pendek yang dikirim pelajar, saya berinama “Ceria” yakni akronim dari CERita mIni remajA. Pada masa itu, anak-anak muda suka menyingkat-nyingkat kata. Lalu saya bikin kolom Bursa Kata Orang Muda (BKOM). Pada dSkS ada juga kolom puisi remaja. Ada laporan prestasi sekolah-sekolah. Ada berita pelajar berprestasi, atau tulisan kiriman Pak dan Buk Guru. Kemudian ada Cerbung Topan serial anak muda dan kolom Kamu Menanyakan Topan yang Jawab (KMTyJ). Untuk menghimpun pembaca Canang keseluruhan, saya ajukan juga kolom ‘sahabat pena’ yang saya labeli dengan “ Canang Fans Club”.
Saya mulai kerja di Mingguan Canang ketika tiras Mingguan ini baru sekitar 3 ribuan.Suatu masa Mingguan Canang menjadi Mingguan terbesar dari segi oplah surat kabar di Sumatera tengah yakni mencapai 22 ribu eksemplar, oplah mana yang hingga kini (setahu saya) belum sanggup disaingi surat kabar harian lokal kita.
Besoknya proposal halaman baru itu saya serahkan ke Pak Nasrul Siddik di kantor redaksi Canang nan di Lolong itu. Indak banyak benar kata Pak Nasrul sehabis membaca usulan saya itu. “ Iko rancak, ko. Mulai terbit minggu besok halaman ini harus kita mulai. Ambo akan minta Yurman Dahwat untuk menyediakan halaman. Apa Pinto sanggup menyiapkan halaman ini?”.
“Sanggup Pak !” jawab saya tanpa saya sadari waktu menyiapkan berita dengan Deadline Canang hanya tinggal 3 hari saja lagi. Habis, berkata begitu saya langsung mencari bahan. Target saya pertama adalah SMA negeri 3 Padang, tempat mana saya pernah bersekolah. Laporan catatan prestasi SMA negeri 3 Padang menjadi laporan pertama di dSkS-Canang.
Alhasil, saya tepati janji saya pada Apak Nasrul. Bahan saya serahkan lengkap ke Pak Nasrul.
“ Pinto yang langsung jadi redaktur halaman ini!” ujar Pak Nasrul pada saya, yang diiyakan oleh Pak Man.
Ondeh, menjadi redaktur? Inyik memercayakan pada saya? Pada tidak salah itu? Usia saya pada waktu itu baru akan ke 20 tahun. Tapi, ini saya sanggupi karena saya memang sudah terbiasa bergelut dengan naskah-naskah ketika menjadi pemimpin mading baik semasa SMP maupun semasa SMA. Kumpulan naskah bagi saya memang sudah tak asing lagi.
Jadilah halaman dSkS ‘ngebooming’.Digemari pembaca dari berbagai SMP dan SMA di Sumbar. Meja redaksi yang paling banyak mendapat surat dari pos adalah meja saya. Ternyata Pak Nasrul mengamati. Dan suatu kali memanggil saya ke ruang kerja beliau.
“ Pinto, kalau awak tambah satu halaman lagi untuk dSkS, ba-a?” ujar Pak Nas.
Ha, satu halaman lagi? Bukankah untuk menyiapkan satu halaman satu minggu saja, saya sudah nyaris tanggal-tanggal sarawa dibuatnya. Apalagi, sambil menyiapkan halaman, saya juga terus aktif mencari berita-berita investigasi.
Karena bagi saya berpantang ‘menidakkan’ maka saya iyakan saja saran Pak Nas itu.
“Jadi, Pak !” jawab saya.(Pinto Janir)