MENGENANG SETAHUN BERPULANGNYA TOKOH PERS SUMBAR H NASRUL SIDDIK (INYIAK) TAJAM.KERAS NAMUN SANTUN (3)

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 23 Juni 2015 02:54:31 WIB


Mingguan Canang terbit sekali seminggu dengan 12 halaman. Suratkabar ini memiliki mesin cetak sendiri. Motonya, dibali ciek kanyang sapakan. Dari Lolong, Canang berpindah kantor ke Jalan Hamka nomor 23 Airtawar Padang. Parak siang buta, sudah banyak para agen yang berkumpul menunggu Canang terbit. Gudang itu penuh oleh tumpukan surat kabar Canang. Bayangkan saya, oplah Mingguan ini sudah melejit pada angka 20 ribu eksemplar. Dan, itu dilipat dengan cara manual, oleh Mak Udin dan kawan-kawan.

 

Mingguan Canang diterbitkan oleh PT Palanta Raya Pers. Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksinya Pak Nasrul Siddik. Redaktur Pelaksananya, Yurman Dahwat. Pada staf redaksi tertera Harris Effendi Thahar, Alwi Karmena,Djayusdi Effendi, Edi Pranata dan saya yang termuda, Pinto Janir. Korespondennya tersebar di seluruh kota dan kabupaten di Sumbar, serta di beberapa kota luar propinsi Sumbar seperti Riau, Jambi dan Jakarta serta lainnya.

 

Muatan Canang adalah berita politik,hukum,pendidikan dan pembangunan pedesaan serta hiburan.  

Da Jeff, begitu saya memanggil Djayusdi Effendi berpindah ke grup Riau Pos—kelak Da Jeff juga menjadi salah satu tokoh pendiri Padang Ekspres dan Pos Metro. Da Jeff di Canang adalah redaktur KMD dan Ruang Wanita dan Masalahnya. Tanggung jawab da Jeff di Canang ada 4 halaman. Kolom yang paling banyak penggemarnya dibina da Jeff adolah Apo Kato Bintang Sanak dan Pantun. Sejak da Jeff pindah ke Riau Pos, saya dipercayakan Inyik jadi Redaktur KMD. Halaman 1. Tanggungjawab Pak Yurman Dahwat sebagai Redaktur Pelaksana. Selain Redpel, tugas berat Pak Man adalah mengelola jalannya perusahaan.

 

Sering berita kiriman wartawan/koresponden yang singgah di meja Pak Man diserahkan ke saya untuk diedit atau direwrite (tulis ulang). Pertambahan kerja ini selalu saya nikmati dengan senang hati. Karena, yang saya lihat adalah kesempatan “belajarnya”. Apalagi, tiap ‘mengolah’ berita untuk halaman satu itu ataupun berita halaman dalam, saya selalu mendapat ‘bon’ tambahan. Setidaknya Rp 5 ribu sekali ngebon. Uang lima ribu itu, kalau dikinikan, ya senilai 50 ribu sekarang. Perbandingannya, rokok gudang garam surya masa itu sebungkus Rp 1400, kini Rp 14 ribu.

Suatu siang, saya dan Pak Man dipanggil Pak Nas ke ruangannya begitu Canang baru saja terbit.

 

“ Berita seperti ini, tolong dihindari. Bila perlu tak usah dimuat”, kata Pak Nas serius. Pak Man melihat kepada saya. Karena memang saya yang mengolah berita itu, hasil kiriman koresponden kita di daerah. Saya lihat kembali Canang yang dibentangkan Pak Nas itu, di sana terdapat judul berita 4 kolom: “ Oknum Ustadz Cabuli Anak Ketek”.

 

Dua yang dimasalahkan Pak Nas. Judul berita dan isi berita. Judulnya kasar. Isinya keras. Dengan pelan Pak Nas berkata seperti ‘mengeluh’ dan seakan-akan bicara sendiri. “ Mengapa harus ‘ustadz’nya itu benar yang diangkat menjadi kepala berita. Mengapa tidak inisial sang oknum saja. Tidak ustadz, tidak seorang haji, tidak seorang guru, kita manusia bisa saja bersifat kilaf atau keliru. Membesar-besarkan berita kesalahan atas nama Ustadz ataupun oknum Pak Haji, jangan pernah ada lagi di Canang. Itu sama artinya kita memojokkan agama sendiri. Sama artinya, kita menghilangkan kepercayaan masyarakat kita di Minangkabau yang hanya sepakat menganut agama Islam kepada para ustadz kita atau kepada para Pak Haji kita. Cobalah awak periksa dan amati, adakah terdengar oleh kita kabar berita yang sampai menyebutkan seorang pendeta masuk koran gara-gara hal yang sifatnya amoral? Bukan tak mungkin peristiwa itu ada, tapi tak pernah peristiwa itu mereka ungkapkan. Awak, mengapa sampai hati mengungkapkan berita seperti ini? Bahkan, kehilangan sandal di masjid pun ramai-ramai awak jadikan berita. Kini hindari sajalah berita-berita yang berbau memperburukkan atau merusak citra agama kita sendiri, yakni Islam”.

 

Termenung besar kami mendengar ‘keluhan nurani’ Pak Nas itu. 

 

Canang memang koran ‘keras’ dan berani pada masa itu. Saat mana tak ada terungkap di koran lain, maka bacalah Canang. Di Mingguan Canang, semua menjadi kabar jelas. Ketika koran lain gamang mengungkap soal ‘korupsi’ maka dengan tuntas di Mingguan Canang terungkap. Kebijakan bupati atau walikota bahkan gubernur sekalipun yang tak berpihak kepada rakyat, di Canang akan digisa habis.

 

Pesan jurnalistik Pak Nas kepada kami, “ Sekali mengungkapkan berita, maka berita itu harus sampai. Harus sampai ke pengadilan. Harus jelas duduk tegaknya! Jangan sampai sebuah kabar menjadi fitnah...Berita harus dapat kita pertanggung-jawabkan isi dan kebenarannya demi sebuah keadilan”.

Makanya ada ungkapan pejabat di Sumbar yang senantiasa membeli Mingguan Canang hanya untuk sekedar memeriksa apakah ‘kesalahan yang telah ia lakukan tercanangkan’.

 

Pada halaman satu Mingguan Canang, ada tulisan Pak Nas yang selalu ditunggu-tunggu pembaca, yakni Pati Kato. Pati Kato adalah ruang Inyik dalam mengupas berbagai persoalan sosial dan politik di tengah kehidupan, terutama masyarakat Sumatera Barat. Isu politik lokal hasil kupasan Inyik Nasrul selalu mantap. Tajam. Keras. Tapi santun. Tulisan Inyik selalu argumentatif dan solutif. Jelas tegak perkara, jelas jalan keluar perkara. Inyik berpikir praktis dan logis. Dan suatu kali, Pak Muslim Kasim (kini Wagub Sumbar) pernah berkata pada saya bahwa Tulisan Inyik Nasrul itu Tajam dan Solutif dan Tidak Melukai hati orang.

 

Suatu kali, saya memberi kabar kepada Pak Nas tentang apa dan bagaimana yang diderita oleh seorang pengusaha pribumi yang kondang di Sumbar, yakni Hatta Muchtar (alm). Asset perusahaan Pak Hatta akan disita oleh bank dengan cara yang saya anggap tidak adil.  Saya memang sangat akrab dengan Pak Hatta yang juga mengelola sebuah yayasan pendidikan. Terkadang saya disuruh Pak Hatta juga untuk jadi ‘guru’ di sekolah yang ia bina.

Kepada Pak Nas saya bawa beberapa berkas perkara itu. Pak Nas mempelajarinya. Lalu berkata: “ Pinto, bikin berita ini”. Pak Nas meminta saya menghubungi beberapa pihak berkompeten untuk konfirmasi melengkapi berita.

 

Begitulah adanya. Berita yang ditulis di Canang, akan diback-up oleh Inyik di Pati Kato. Hasilnya, pihak Bank menunda ‘eksekusi’. Kami pun lega.

Ketika Pak Hatta ingin menyampaikan terimakasih pada Pak Nas melalui sejumlah uang, dengan mentah-mentah Pak Nas menolaknya. Dan, itu dihadapan saya. “Sudahlah Pak Hatta, bagi saya, tertolong Pak Hatta, tegakknya keadilan dan kebenaran, itu bagi saya sudah cukup. Karena fungsi koran memang begitu, menegakkan keadilan dan kebenaran!”.

 

Kemudian, peristiwa yang sama juga pernah menimpa Hotel Maninjau Indah yang dimiliki pengusaha pribumi Idham Rajo Bintang. Apa yang diungkapkan Pak Radjo Bintang pada saya dan pada Bang Alwi Karmena, juga saya sampaikan ke Pak Nas untuk dijadikan berita. “Tulis berita ini sampai-sampai Pinto. Saya melihat, Pak Radjo Idham sedang mendapat perlakuan tak adil. Ia harus kita bela!”. Kemudian, Pak Nas kembali menupang berita itu dengan Pati Kato-nya. Alhasil, pihak Bank ‘merumas’ melakukan eksekusi. Eksekusi tertunda. Baru-baru ini saya mendengar, Pak Radjo diputuskan pihak pengadilan sebagai pihak yang menang dan benar.

 

Mingguan Canang adalah Mingguan yang keras dan lantang. Akibat pemberitaan tak jarang tiap minggu ada-ada saja pihak yang tak senang. Sebagian ‘memprotes’ langsung ke kantor, sebagian bertura-tura saja di luar.

 

Suatu hari ada oknum tentara berpangkat Kapten datang ke Canang. Ia hendak menemui Pak Nasrul Siddik sang pimpinan Canang. Inyik menyuruh oknum itu masuk ke ruangan. Saya dan Pak Man ikut mendampingi Pak Nas. Saya lihat, betapa oknum itu mengeras-ngeras lagak bicaranya. Nan Pak Nas tetap saja tenang setenang-tenangnya. Sudah puas oknum itu bicara, baru Pak Nas berkata:” Sudah selasai Pak Kapten bicara?”. Pak Kapten itu mengangguk. 

 

Ujung dari pembicaraan itu adalah keteduhan. Pak Kapten itu akhirnya dapat memahami. Dan bahkan minta maaf ke Inyik. Kami bersalam-salaman akhirnya.

 

Suatu kali Mingguan Canang ulang tahun. Saya adalah orang yang gemar benar mencari Iklan. Bila ada acara yang berbau peresmian kantor, gedung atau usaha-usaha baru, saya akan datangi pimpinannya. Saya akan mewawancarai mereka. Bila mereka memberi saya amplop setelah berwawancara atau setelah berita itu saya muat, maka amplop itu akan saya tolak. Penggantinya adalah saya tawarkan pemasangan iklan di Mingguan Canang. Biasanya, banyak yang sukses. Saya kira, komisi dari sebuah iklan jauh lebih sangat besar ketimbang isi amplop tersebut. Berita-berita yang nilainya lebih banyak menguntungkan orang sepihak, maka saya berpatok pada ungkapan ‘kok lai putiak ka manjadi buah’ yang artinya hasil wawancara dan berita yang dimuat soal kemajuan usaha yang bersangkutan, saya harap akan berbuah iklan jugalah hendaknya. Ya, begitulah.

 

Ya, Pak Nas, melalui Pak Man selalu memberi komisi yang besar kepada para pendapat iklan. Bisa, 40% komisinya. Wow, itu! Pemasukan saya di Mingguan Canang itu ada tiga, pertama gaji resmi dari Mingguan Canang, kedua ‘tunjangan’ langsung dari saku pribadi Inyik dan ketiga dari komisi iklan. Jangan pernah sekali-sekali menerima amplop kalau tak ingin disemprot Inyik.

 

Benar adanya. Semasa di Mingguan Canang, saya menjadi wartawan muda yang berpitih. Bisa beli motor sendiri dengan kontan. Bahkan pernah saya beli mobil, tanyalah ke Bang Alwi kalau tak percaya. Saya bisa bantu adik-adik kuliah. Bisa membeli perlengkapan rumah tangga untuk ibu saya dan lain sebagainya. Bahkan karena Canang juga saya dapat ‘jatah’ kebun PWI di Pasaman yang hingga kini hasilnya masih saya nikmati tiap bulan.

Ohya, soal Canang yang akan berulang tahun itu. Saya kumpulkan molah beberapa orang ‘mitra’ yang pernah merasa terbantu atau bersimpati pada Mingguan Canang. Saya minta mereka memasang iklan ucapan selamat ulang tahun pada Mingguan Canang. Mereka bersedia. Bahkan tak masalah dengan berapa biayanya.

 

Hal ini saya sampaikan pada Pak Nas.

 

Tapi apa kata Pak Nas?

 

“ Pinto, lucu terdengar bagi ambo. Masak, awak yang ulang tahun, lalu orang pasang ucapan selamat di surek kaba awak. Awak yang beruntung dengan mendapat ucapan selamat, mengapa pula orang harus bayar. Cara-cara begitu, tak bagus Pinto. Sampaikan saja terimakasih ambo kapado mereka yang telah menyampaikan ucapan selamat kepada awak”, kata Pak Nas.

 

Untuk mencari dan mengungkapkan berita yang benar-benar layak dikonsumsi umum, Pak Nas tak akan segan-segan memberi awak uang jalan. Berita rancak selalu ‘dimodali’ oleh Pak Nas/ Bagi Inyik, minta pitih ke orang lain dalam rangka menghimpun informasi untuk bahan berita itu haram hukumnya. Bila perlu, nara sumber yang dikasih duit.

 

Suatu kali, ada sebuah peristiwa, terbunuhnya seorang pelajar hanya gara-gara meludah tak sengaja yang memicu sebuah pertengkaran yang berujung maut. Saya ceritakan kisah itu pada Pak Nas. Pak Nas terharu seusai membaca berita yang saya tulis itu. “ Pinto, malam nanti pergi takziah ke rumah korban, dan serahkan uang duka saya ini kepada ahli warisnya. Sampaikan salam duka saya pada keluarga mereka”, kata Pak Nas.

Dengan begitu saya merasa sangat dekat dengan keluarga korban. Saya bisa menulis berita yang tak terberitakan oleh Harian lain. Sudah menyampaikan salam duka dari Inyik, pihak keluarga bertutur pada saya tentang apa dan bagaimana dengan almarhum semasa hidupnya. Dan cerita keluarga itu saya jadikan pula berita bersambung di Mingguan Canang.

 

Pak Nas, selalu mengingatkan kita untuk hati-hati menuliskan sebuah berita. Terutama berita yang dapat ‘merusak’ hati keluarga orang yang diberitakan. Lihat dulu kebenaran sebuah berita itu. Kumpulkan data, catat fakta. Konfirmasi lengkapi. Jangan gegabah menurunkan berita. Karena bila berita sudah dikorankan maka ia akan menjadi milik publik. Kita tidak bisa menghentikan sebuah berita begitu saja. Sekali memberitakan sesuatu harus sampai.

 

Pesan Pak Nas lagi, jangan pernah menulis sesuatu dengan rasa benci, dengan rasa tidak suka. Mulailah menulis dengan niat untuk mencari atau menegakkan kebebaran serta membantu orang-orang yang terzalimi.

 

 “ Berita adalah matahari bagi pembaca. Ia harus mencerahkan, bukan menggelapkan bukan memberi kabar petakut tapi adalah kabar yang menginspirasi banyak orang. Setajam apapun menulis, jangan seperti pisau melukai. Sekuat apapun menusuk, jangan seperti duri yang menyansam..! Tak pernah berita buruk yang melahirkan kebaikan-kebaikan. Mulailah menulis berita dengan niat yang benar, bukan dengan kebencian-kebencian....”, pesan Inyik Nasrul suatu kali pada saya. Dan pesan beliau lagi, seorang wartawan jangan pernah meminta atau menginginkan perlakuan-perlakuan istimewa, sombong itu tak perlu!

 

“ Ambo heran pula, banyak orang kini menulis dengan memakai istilah-istilah asing yang melangit. Pasan ambo ke Pinto, menulislah dengan bahasa sederhana dan hindari pemakaian kata-kata asing, cari padanan kata Indonesia yang sesuai dengan kata asing itu. Bermuatan intelek atau tidak inteleknya sebuah tulisan bukan bergantung kepada seberapa banyak tulisan itu memakai kata-kata langit atau istilah asing, tapi tergantung dari bagaimana dan dari sudut apa kita memandang dan memilhat sebuah perkara. Lalu memahaminya. Kemudian menawarkan jalan keluar atau alternatif dari pemecahan masasalah yang kita tulis tersebut”.

 

               Soal buat membuat koran. Soal mengembangkan berita. Soal mengapungkan isu nan bana yang menarik, fakta dan aktual serta perlu di tengah masyarakat pembaca, Inyik benar pakarnya itu. Soal mengupas dan menyajikan berita, itu memang Inyik yang terjago. Di mata saya, kejurnalistikan Inyik benar-benar masak. Yang agak kurang bagi Inyik adalah soal manajemen perusahaan, soal administrasi perusahaan. Tampaknya bagi Inyik, soal manajemen dan administrasi perusahaan, adalah soal yang kurang menarik. Bagi Inyik, lai koran terbit tepat waktu, lalu gaji orang terbayar, perusahaan tak berhutang, jadilah itu dulu.

 

               Nah soal manajemen dan administrasi perusahaan, diatur Pak Yurman Dahwat.

               Pokoknya, selama menjadi orang Canang, saya merasa menjadi orang senang. Senang dengan pekerjaan, senang dengan perhatian Inyik Nasrul, senang dengan Abang Alwi Karmena, senang dengan abang Harris dan senang dengan Pak Yurman Dahwat yang tak pernah menidakkan saya kalau hendak ‘ngebon’.

 

               Begitu pula dengan Inyik Nasrul yang ‘peragih’ itu. Kalau ada peristiwa yang membutuhkan investigasi dan berkunjung pada suatu daerah, Inyik akan membekali kita dengan pendanaan yang cukup. Tak perlu uraian tertulis segala, cukup sampaikan saja secara lisan. Lalu Inyik akan menelpon atau menyampaikannya kepada Pak Yurman Dahwat. “ Man, Pinto jo Alwi ka pai cari berita, tolong agiah mereka pitih........”, ha begitu langsung ketemu Yurman, dana untuk cari berita itu langsung dapat.

 

               Biasanya sehabis mencari berita, Bang Alwi langsung melapor. “ Sukses beritanyo Da Nas. Dapek informasi tu. Berita tu kini sadang dibuek Pinto”, lapor Bang Alwi. Dan biasanya Inyik menjawab singkat: “ Mantap!”

 

 

 

 

               Mingguan Canang terus saja menjadi Mingguan yang ditunggu 20 ribu pembaca yang tersebar di berbagai pelosok daerah atau nagari. Lima atau empat tahun sejak berdirinya Mingguan Canang, oplah itu makin meningkat tajam sampai angka 20 ribu itu. Ketika perang teluk terjadi, oplah itu tambin sedikit demi sedikit hingga mencapai angka 7 ribu saja lagi.

 

               Pada tahun 1999, SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) tidak diberlakukan lagi. Syarat mendirikan sebuah media atau surat kabar, tak perlu SIUPP, cukup memiliki badan hukum dan memiliki modal untuk terbit. Sejak saat itu, pertumbuhan media baru di Indonesia bak cendawan tumbuh.

 

               Pada tahun 2000, saya bersama dengan Bang Alwi Karmena dan Amran SN—penulis Cerbung Rompak di Mingguan Canang pamit kepada Inyik Nasrul Siddik karena hendak mendirikan Mingguan baru yang kami berinama Mingguan Rancang (yang disingkat dari ‘oRANg CANanG). Mingguan rancang adalah Mingguan bercap ‘mistik dan hiburan’. Semacam pengembangan salah satu kolom yang ada di Canang yakni “Kaba dari Alam Ghaib”.

 

               Tak lama kemudian, Bang Harris juga menyatakan mundur karena kesibukan sebagai dosen di UNP dan sedang kuliah di S2—selanjutnya Bang Harris sukses menjadi Proffesor.

 

               Tak berselang setelah itu, Pak Yurman Dahwat juga menyatakan mundur dari Mingguan Canang karena telah menyiapkan tim penerbitan untuk Serambi Pos. Sebagian koresponden Canang di daerah menyatakan diri bergabung dengan Serambi Pos.

               Ada dua surat kabar Mingguan yang didirikan oleh orang Canang. Yakni, Mingguan Rancang dan Serambi Pos. Di Rancang, rata-rata adalah para wartawan muda. Sedangkan di Mingguan Serambi Pos adalah murni orang Canang.

 

               Saya tak bisa membayangkan betapa sedihnya Inyik Nasrul ketika ‘kami’ tinggalkan ramai-ramai hanya karena tergerak hati untuk ingin tegak sendiri-sendiri dengan menerbitkan surat kabar masing-masing. Tapi kesedihan itu, tampaknya disurukkan Inyik. Tak diperlihat-lihatkannya benar. Sewaktu menerbitkan Mingguan Rancang, saya pernah ditelpon Inyik. “ Pinto, selamat ya. Mingguannya rancak. Warnanya jelas. Ada ruhnya. Teruslah berkarya”, pesan Inyik.

 

               Rancang kami dirikan bertiga. Saya, Bang Alwi dan Uda Amran SN (alm). Koran ini hanya bertahan 2 tahun. Bubar bukan lantaran tak laku. Tapi lantaran karena ada sedikit ketidaksepakatan antara kami bertiga yang akhirnya kami putuskan untuk ‘menguburkan’ Rancang.

 

               Kemudian saya diajak Pak DR Tatang Pemimpin Umum Harian Riau Mandiri milik Pak Basrizal Koto untuk bergabung di surat kabar yang baru itu. Sampai pada akhirnya, saya juga ikut membidani kelahiran Harian Sumbar Mandiri. Di Harian ini saya hanya bertahan satu tahun lurus saja. Lalu saya pamit langsung kepada Pak Basko dan Pak Tatang. Alasan saya waktu itu hendak berkarir di Jakarta. Baru hendak siap-siap ke Jakarta, Inyik Nasrul Siddik kembali menghubungi saya.

 

               Kami bertemu lagi setelah berpisah sekian lama.

 

               Inyik Nasrul meminta saya untuk kembali mengurus Mingguan Canang. Bahkan Inyik Nasrul Siddik mau melepaskan jabatan Pimpinan Redaksi pada saya. Jadilah saya selaku Pemimpin Redaksi di Mingguan Canang. Saya ingin menjemput kembali masa kejayaan Canang.

 

               Tapi entah mengapa, saya merasa kehilangan semangat saja. Tak seperti dulu. Ternyata, tanpa adanya Bang Harris, Bang Alwi dan Pak Yurman Dahwat, saya agak merasa lengang di Canang. Semasa ada Bang Alwi, Bang Harris dan Pak Man, kehidupan di Mingguan Canang penuh dengan canda, tawa, garah dan hidup. Saya ingin benar kembali menghubungi Bang Harris, Bang Alwi dan Pak Man. Tapi tentu itu tidak mungkin. Bang Harris sibuk dengan kuliahnya di Jawa. Bang Alwi sibuk dengan koran barunya di Zaman. Pak Man sibuk pula dengan korannya Serambi Pos.

 

               Saya juga sedih.

 

               Tiap sudut Canang, mengundang kesedihan saya.

 

               Padahal dalam soal dana, cetak mencetak, tak ada masalah. Canang masih bisa hidup. Yang bermasalah itu adalah saya, mengapa saya kehilangan semangat dan gairah untuk berkoran-koran Canang kembali, padahal perhatian Inyik kepada saya tak pernah berkurang.

 

               Akhirnya saya sampaikan ‘masalah psikis’ ini pada Inyik. Dan untuk kedua kalinya, Mingguan Canang saya tinggalkan dan saya hati saya tergerak menerbitkan Mingguan baru lagi yakni SumbarNews.

 

               Tak berselang lama, saya dapat kabar, Mingguan Canang tak terbit-terbit lagi. Diam-dia saya terpukul!

 

               Komunikasi saya dengan Apak, dengan Inyik Nasrul Siddik, tak pernah putus. Tetap saja saya dan Bang Alwi Karmena bertandang ke rumah Inyik dan bercakap-cakap dengan Inyik. Inyik tetap semangat.Tetap menggebu-gebu. Dan tetap perhatian pada apa dan bagaimana peristiwa sosial dan politik yang tengah terjadi menimpa negeri ini. 

 

               Betapa besarnya hati Inyik ketika bertandang ke rumah beliau saya membawakan kumpulan 100 puisi saya di atas sampul “Rakyat Susah Susah Benar Jadi Rakyat”. Betapa senangnya hati Inyik ketika di muka beliau saya bacakan beberapa puisi. Semangat sekali Inyik mendengar dan membahasnya.

 

               ***

               Tanggal 15 Mei 2014, Bang Alwi menelpon saya. Minta saya segera ke Jalan Bangka nomor 22 Padang. Inyik Nasrul Siddik sakit. Saya langsung ke rumah Inyik.

 

KEPADA INYIK NASRUL SIDDIK

Kabar duka 31 Mei 2014 di Subuh itu

               Saya singkap jendela, ada embun di kaca

               Di langit matahari pagi menangis, kata-kata jadi air mata

               Embun dingin menitik jatuh memburai nimbun 78  aksara

               Kata tegak menjadi nisan- nisan gagah menjadi catatan

               Dalam sejarah, kabut harus kita siram, biar jelas rupa dan makna

               Bumi Minangkabau kehilangan, itu adalah kesedihan

               Kesedihan bukanlah petaka; singkapkan saja tirai rasa

               Kebenaran dan kejujuran adalah pusaka, wariskan ia pada anak cucu kita

               Mewariskan dusta pada masa adalah kecelakaan jiwa yang tak terampunkan

               Bahwa Nasrul Siddik adalah kepercayaan dan kebenaran di balik gagahnya kata-kata kita

               Yang meliuk-liuk di atas panggung jurnalistik nusantara....

               Selamat jalan Apak, selamat jalan Inyik, selamat Jalan Nasrul Siddik

               Dengan doa, kami menghantarmu

               Dengan rasa kami jalankan segala ajaran-ajaranmu

               Tak untuk sesuatu; hanya untuk satu

               Satu kebenaran

               Satu keadilan

               Satu harapan

               Harapan kata bersantun

               berjernih pikir bersantun kata

              Bukan warta yang menyiksa

               “Berita....”

               Jadilah matahari; bukan badai atau duri-duri !

               Mungkinkah Canang bergema lagi

Biar gaungnya berderai-derai, ingatkan Singgalang dan Marapi?

Ya Allah, surgakan Inyik... (Pinto Janir)