DI JAM GADANG, MERDEKAKAN PANDANGAN

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 17 Maret 2015 03:12:04 WIB


Kota Bukittinggi kota nan cantik. Hawanya sejuk, pemandangannya elok. Berlapis-lapis daya pikat kota yang juga gemuk dengan gumpalan sejarah bangsa, di sini pernah terjejak riwayat bangsa kita dalam alunan perjuangan. Salah satunya adalah jejak perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Di kota ini juga lahir sejumlah orang-orang ternama yang tercatat dalam tinta emas sejarah kita. Salah satunya; Bung Hatta, proklamator kita.

               Bukittinggi laksana sepotong nirwana di atas dunia. Bagai lukisan terpajang, bila langit sedang tak berawan, menyumbul dua gunung gagah; Marapi dan Singgalang. Bukittinggi kota cantik, itu tak terpungkiri. Banyak penduduk bumi mengakui kelebihan kota ini. Bahkan, kolonial Belanda menjulukinya Paris Van Sumatra.

               Ngarai Sianok membuat membuat mata terhenyak kagum. Beberapa peninggalan penjajah seperti lubang Jepang dan benteng Fort de Kock menjadi wisata sejarah yang ramai dikunjungi wisatawan. Kedatangan ke Rananh Minang belum lengkap bila tak berkunjung ke kota ini. Wajar saja bila di akhir pekan, kota ini semarak oleh kunjungan wisatawan dari berbagai penjuru.

               Demikian adanya, kota Bukittinggi yang senantiasa terngiang-ngiang di ruang mata. Sekali datang ke kota ini, pulangnya para wisatawan harusnya membawa kenangan manis. Bukan kenangan pahit.

               Bila ke Bukittinggi, kesempurnaan kedatangan dilengkapi dengan mengunjungi Jam Gadang. Jam Gadang adalah kawasan sentral kunjungan. Jam Gadang telah menjadi identitas kota wisata ini. Puncak Jam Gadang menjadi puncak pandang tertinggi di kota ini.

               Bertahun yang silam, Surat Kabar Mingguan Canang (tempat saya bekerja dulu)  adalah salah satu surat kabar yang menentang adanya pembangunan gedung tinggi di sekitar kawasan Jam Gadang. Kala itu persis saat sedang berlangsungnya pembangunan sebuah Plaza di seberang jalan Jam Gadang. Nyaris tiap Minggu Canang menampilkan opini untuk mengingatkan pemerintah kota supaya mempertimbangkan izin pembangunan plaza tersebut. Namun, akhirnya; opini Canang gagal bersaran. Pembangunan plaza itu tetap berlanjut. Sebelumnya Canang juga menyarankan supaya pembangunan hotel –kini The Hills, dulu Novotel—harus dipertimbangkan karena akan menutup pandang di areal Jam Gadang.

               Dalam pandangan saya—sejak dulu hingga kini; kawasan Jam Gadang bagusnya memang harus bebas dari hambatan pandangan.

               Kini, baru terdengar bahwa DPRD kota Bukittinggi membahas Ranperda tentang bangunan gedung yang salah satunya berisi larangan mendirikan bangunan gedung yang menutup pandangan ke arah Jam Gadang.Bila Ranperda itu kelak menjadi Perda, dalam sisi ruang dan waktu dia sudah agak “telpu” maksudnya telat keputusan. Pasalnya, ruang tempat membangun di sana juga sudah sempit.

               Sebenarnya, dalam pandangan saya, yang harus digagas pemerintah kota ini adalah menjadikan kawasan Jam Gadang benar-benar kawasan “hijau” bebas hambatan pandang. Yang ada hanya istana Bung Hatta dan Jam Gadang saja. Sehingga “punggung” bebukitan itu benar-benar menjadi puncak pandang tertinggi yang dapat menikmati keindahan kota Bukittinggi dari sudut 360 derjat pandang.

               Bagi saya, pikiran ini bukanlah hayalan. Karena, tak ada yang tak mungkin untuk diwujudkan. Sesusah apapun itu, semua serba mungkin.

               Bayangkan, tak ada pasar yang memnghambat pandang. Tak ada plaza yang membentur pandang. Tak ada hotel yang menghalang pandang. Yang ada hanya kawasan hijau.

               Lalu, kebun binatang yang ada di pusat kota, yang nota benenya masih selingkung Jam Gadang, sudah saatnya untuk dipindahkan ke pinggir kota. Dan kawasan kebun serta benteng menjadi panorama hijau di puncak kota!

               Kini, Jam Gadang sudah terapit tembok dan beton. Hanya sedikit kisi yang membuat mata lepas memandang. Saatnya kita berpikir untuk memerdekakan mata dari kawasan Jam Gadang.

               Saya tetap yakin, suatu saat nanti akan lahir pikiran-pikiran baru dari seorang walikota yang akan memimpin kota ini kelak. Kita tunggu; tak lima tahun, ya sepuluh tahun lagi, atau beberapa tahun ke muka; dan semoga di kawasan Jam Gadang, pandangan kita merdeka dan tak lagi terbelenggu oleh dinding-dinding beton yang kian lama kian menyamak juga. (Pinto Janir)