Kabut Asap

Artikel Sub Bag. Sarana dan Prasarana(Sub Bag. Sarana dan Prasarana) 21 Maret 2014 09:07:20 WIB


Kabut Asap

Oleh : Irwan Prayitno

Saat ini dan beberapa tahun belakangan kita diresahkan oleh munculnya fenomena kabut asap. Dunia tampak suram karena matahari seperti enggan bersinar. Cahaya mahari tertutup oleh gelapnya kabut asap. Sejumlah penerbangan terpaksa tertunda, penderita ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) meningkat jumlahnya dan banyak kerugian lain yang belum sempat dirinci.

Istilah kabut asap pertamakali diperkenalkan oleh Dr Henry Antoine Des Voeux di London pada tahun 1905. Kata kabut asap berasal dari kata smoke (asap) dan fog (kabut) atau di Inggris disingkat dengan istilah smog dan di Indonesia dikenal dengan istilah kabut asap atau ada juga yang menamakannya asbut (asap kabut).

Secara sederhana bisa didefinisikan kabut adalah kumpulan uap air yang mengambang di udara, senyawa kabut didominasi oleh uap air. Pagi hari kabut sering ditemukan berupa embun pagi dan jika terakumulasi di udara akan berubah menjadi hujan. Sedangkan asap adalah suatu senyawa yang terdiri dari berbagai jenis gas, kadangkala juga mengandung zat padat dan polutan (zat pencemar). Asap biasanya merupakan hasil pembakaran, baik berupa pembakaran bahan-bahan organik, maupun pembakaran bahan bakar fosil (BBM dan batubara). Kabut asap tentulah gabungan keduanya bersenyawa, berwarna lebih gelap, mengambang di udara dan sulit terurai..

Kabut asap di London waktu itu ternyata disebabkan oleh asap hasil pembakaran batubara. Kebanyakan pembangkit listrik dan pabrik-pabrik di London waktu itu menggunakan sumber energi batubara. Ditambah lagi, kebanyakan rumah penduduk juga menggunakan pemanas yang energinya bersumber dari batubara. Akibatnya di musim-musim tertentu muncullah kabut asap menyungkup kota London dan membuat kota itu terkesan kumuh dan suram.

Di Los Angeles dilaporkan kabut asap pernah terjadi lebih awal. Sumber asap kabut tersebut berasal dari buangan gas hasil pembakaran berbagai industri dan gas buangan hasil aktifitas manusia di kota yang padat penduduknya tersebut. Ontario-Kanada, Beijing-China, Mexico City, Taheran-Iran dan sejumlah kota-kota besar lainnya di dunia juga pernah mengalami hal serupa. Penyebabnya adalah sisa hasil pembakaran kendaraan bermotor yang tidak terkendali, gas buangan industri dan aktifitas pembakaran lainnya.

Lalu, London melakukan perbaikan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar batubara, baik di industri maupun rumah-rumah, negara-negara lain juga mengikutinya. Asap buangan kendaraan-kendaraan bermotor diperbaiki sehingga asap dan polutan yang dihasilkan menjadi sangat rendah. Begitu juga industri-industri ditertibkan sehingga pencemaran yang dihasilkan berada di bawah ambang batas.

Bagaimana dengan kasus kabut asap di Indonesia? Hingga saat ini memang belum ada deskripsi yang jelas atau juga belum ada hasil penelitian yang pasti, termasuk penyebabnya. Yang terlihat menonjol memang adalah dampak kebakaran hutan yang menimbulkan asap cukup tebal. Baik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, petani maupun akibat gejala alam di musim kemarau.

Membuka lahan atau peladangan baru dengan sistem tebang dan bakar memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita dari dulu, termasuk di hampir seluruh Sumatera. Di Sumatera Selatan dan Jambi sangat terkenal sistem peladangan 3T (tebas, tunu/bakar, tanam). Jadi pola peladangan yang jamak digunakan adalah menebas hutan, lalu membakarnya (tunu) dan lalu menanam tanaman di bekas lahan yang sudah terbakar. Hal serupa juga terjadi di Riau. Di daerah yang memiliki lahan gambut, kebakaran ini makin parah dan sulit dipadamkan

Dulu mungkin alam masih bisa menentralisir kabut asap yang timbul. Apalagi jumlah petani yang membakar hutan jumlahnya sedikit. Sekarang, jumlah petani yang membuka lahan makin banyak, juga ditambah dengan kegiatan membakar lainnya (membakar jerami dan sisa-sisa limbah pertanian misalnya), ditambah lagi dengan perusahaan besar juga ikut melakukan hal yang sama, maka tentu saja alam tak mampu lagi menerima dan menetralisirnya.

Karena itu untuk crash program, aksi inilah yang perlu dilakukan segera. Titik-titik api yang berpeluang menjadi sumber kebakaran besar perlu diatasi dan dipadamkan segera. Selain itu masyarakat juga diminta untuk menahan diri agar tidak melakukan pembakaran yang akan menambah potensi munculnya kabut asap.

Untuk jangka panjang kita perlu lebih mendisiplinkan lagi buangan sisa pembakaran kendaraan bermotor yang jumlahnya terus meningkat tajam. Melihat jumlah kendaraan yang jumlahnya sangat luar biasa, kita tak tahu, manakah yang lebih berpotensi sebagai penyebab kabut asap, kendaraan bermotor ataukah kebakaran hutan?

Yang pasti, jika negara-negara lain bisa mengatasi fenomena kabut asap, tentu hal yang sama juga bisa kita lakukan, kuncinya tentu dilakukan dengan serius dan bersungguh-sungguh. Selain itu juga harus dilakukan oleh semua pihak secara bersama-sama, tidak ada yang boleh berpangku tangan. Mari kita sinsingkan lengan dan perbaiki lingkungan kita bersama-sama dan bulatkan tekad, agar tahun depan kabut asap tidak terjadi lagi. ***