OJK dan Asuransi

OJK dan Asuransi

Artikel () 28 April 2018 08:19:38 WIB


Harian Bisnis Indonesia edisi 27 April 2018 dalam salah satu beritanya menurunkan judul “Pengaduan Konsumen: Asuransi Didorong Lebih ‘Jujur’”. OJK meminta pihak asuransi meningkatkan transparansi kepada konsumen karena tingginya persentase pengaduan konsumen. Dalam lima tahun terakhir pengaduan yang masuk ke OJK didomimnasi masalah bank dan asuransi.

Pemasar asuransi dianggap kurang transparan dalam menjual produk asuransi. Bahkan pengaduan pelayanan tidak sesuai penawaran termasuk yang tinggi persentasenya. Masalah pembebanan biaya asuransi ternyata tidak disampaikan agen asuransi dengan baik. Di mana ini berasal dari kegiatan telemarketing. 

Selain itu, dalam hal unit link tidak diinformasikan tentang biaya dan risiko di produk asuransi yang terkoneksi dengan investasi. Ada pula pengaduan terkait unit link yang dijual sebagai tabungan. Dari hasil survei nasional literasi dan inklusi keuangan OJK tahun 2016, hanya 29,7 % masyarakat yang memiliki pemahaman tentang produk dan layanan jasa keuangan. Selain itu, pemahaman konsumen dalam kewajiban terhadap produk dan layanan jasa keuangan sebesar 36,1%. Dan pada hak produk dan layanan jasa keuangan sebesar 40,5%.

Apa yang terungkap dalam laporan atau temuan OJK ini sesungguhnya merupakan keresahan masyarakat atau konsumen atau nasabah bank. Data mereka yang diketahui oleh telemarketing menyebabkan munculnya keengganan sebagian nasabah bank berinteraksi dengan bank lebih jauh. Di samping itu pegawai bank masa kini berbeda dengan zaman dulu. Pegawai bank kini, baik teller maupun customer service aktif menawarkan produk asuransi yang dianggap investasi kepada nasabah yang sebenarnya ke bank hanya untuk keperluan transaksi keuangan rutin seperti setor, tarik, transfer. Nasabah kini dianggap sebagai lahan empuk sasaran penjualan asuransi, yang sayangnya ditawarkan dengan diawali kebohongan atau tidak transparan sehingga tidak jujur dalam bermuamalah. 

Saya memperkirakan, jika ini berlanjut terus, pengaduan makin banyak, maka semakin malas orang berurusan dengan bank, karena hanya dijadikan semacam “tumbal” asuransi. Di bank mereka ditawarkan produk yang tidak diminati, di luar bank mereka dihubungi telemarketing via telepon yang kadang cara menawarkannya dengan memaksa dan tanpa malu yang mencerminkan etika ketimuran yang kian luntur.  

Saat ini di dunia, ada fenomena disrupsi perbankan. Bank tidak lagi ada kantor fisik dan pegawai di dalamnya. Nasabah bisa setor dan tarik uang dari mesin. Di Indonesia, bank virtual yang sudah ada di luar negeri tersebut kini sudah mulai membuka layanannya. Nasabah kian dimanjakan dengan layanan online virtual demikian. Perlahan tapi pasti, disrupsi yang terjadi di dunia perbankan dunia akan pula terjadi di Indonesia. Disrupsi terjadi salah satunya akibat perilaku yang tidak baik kepada nasabah, atau perilaku yang menyulitkan nasabah. Maka nasabah akan memilih yang terbaik untuk mereka, yaitu yang tidak menyulitkan mereka. (efs) 

 

Referensi: Bisnis Indonesia, 27 April 2018  

ilustrasi: freefoto.com