TANTANGAN PEREMPUAN MENJADI KEPALA DAERAH
Artikel Zakiah(Tenaga Artikel) 20 Juli 2020 13:31:53 WIB
TANTANGAN PEREMPUAN MENJADI KEPALA DAERAH
Tidak lama lagi, kabarnya di Bulan Desember Tahun 2020, kita kembali akan mengikuti pemilihan Kepala Daerah Tingkat Provinsi Sumatera Barat. Sudah terdengar beberapa calon kandidat bersosialisasi ke tengah masyarakat dan memasang baliho dengan foto diri terpajang di pinggir-pinggir jalan protokol. Siapakah kali ini yang akan berhasil meraih suara terbanyak pilihan masyarakat Sumatera Barat? Kita tunggu saja tanggal mainnya. Semoga memang pasangan yang terbaik yang akan membawa Sumatera Barat menjadi Provinsi maju dan sejahtera yang melenggang ke Gubernuran tersebut.
Di balik itu semua, kita masih penasaran, kenapa tidak banyak perempuan yang menjadi kandidat? Apakah memang menjadi kepala daerah itu menakutkan bagi perempuan? Atau karena rimba perpolitikan itu belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan di Provinsi Sumatera Barat ini? Silahkan mencari jawabannya dengan persepsi masing-masing.
Namun bagi saya, perempuan harus punya peranan dalam berpolitik. Kenapa? Karena politik adalah cara untuk mencapai tujuan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Dengan terjunnya perempuan di bidang politik, diharapkan ada kebajikan dalam mengatur masyarakat karena politik perempuan itu halus dan lembut. Seperti tabiatnya perempuan yang tidak suka dengan kekerasan, atau main kasar. Tapi penuh dengan kasih sayang.
Bukankah kita meyakini bahwa masyarakat yang baik lahir dari Ibu (perempuan) yang baik. Rasul SAW bersabda bahwa “Ibu (an-Nisa’) adalah tiang negeri” (al Hadist). Jika kaum perempuan dalam suatu negeri berbudi pekerti baik (shalihah), niscaya akan sejahtera negeri itu. Sebaliknya, apabila kaum perempuan di suatu negeri berperangai buruk (fasad), maka binasalah negeri seluruhnya. Kitab suci Alquran menempatkan perempuan dengan hak serta tangung jawab masing-masing, yang sama beratnya, dan menjadi kata kunci terpeliharanya harkat martabat insaniyah pada jenis yang berbeda antara lelaki dan perempuan. Hubungan keduanya ada pada posisi azwajan = mitra setara dan ini modal utama kalau akan menjadi pasangan dalam hidup (lihat Q.S.16:72, 30:21, 42:11).
Laki-laki dan Perempuan punya hak dan kewajiban yang sama, terutama di dalam membina keluarga di tengah rumah tangganya. Perempuan perekat silaturrahim. Lelaki pelindung perempuan. Keduanya, punya tanggung jawab sama, menjaga lingkungan dan kehidupan berjiran bertetangga.
Dalam Pandangan Syarak (Syariat Agama Islam) disebutkan “ad-dunya mata’un, wa khairu mata’iha al mar’ah as-shalihah” artinya perhiasan paling indah adalah perempuan saleh (perempuan yang istiqamah pada peran dan konsekwen dengan citra-nya).
Risalah Agama mengutamakan pendidikan akhlaq. Sebuah bangsa akan tegak dengan kokoh karena tegaknya etika moral dan akhlaknya. Etika dan moral itu dibentuk oleh budaya dan ajaran agama. Moral anak bangsa yang rusak, membuat bangsa terkoyak.
Rumah tangga sebagai extended family (inti keluarga besar) dalam budaya Minangkabau menjaga dan mencetak generasi bermoral, dengan filosofi yang jelas, Adat bersendi syarak – syarak bersendi Kitabullah. Kaum perempuan (bundo kanduang, pemilik suku) berperan mendidik, menjaga nikmat Allah. Kaum lelaki (pemilik nasab), membentuk generasi berdisiplin. Kedua peran ini menjadi satu di dalam tatanan pergaulan masyarakat adat, dengan kekerabatan yang kuat.
Menurut ajaran Islam peranan perempuan terdiri atas:
1).Kepada Tuhannya Sebagai Hamba Allah(QS. 51:56 dan Al Ahzab: 28-29)
2).Kepada Dirinya Sebagai Pribadi Sholehah (QS.Al Baqarah : 222)
3).Kepada Orang Tua Sebagai Anak Perempuan (QS Luqman [31]: 13-19).
4).Kepada Suami Sebagai Istri yang taat: Perempuan adalah pasangan laki-laki, (QS An-Nisa:1, At-Taubah: 71, Ar-Ruum: 21, Al-Hujurat:13)
5).Kepada Anaknya Sebagai Ibu yang penyayang (QS. Luqman: 14)
6).Kepada Ummat Sebagai Anggota Masyarakat (QS Ali Imran:195, An-Nisa:124, At-Taubah:72 dan Al-Mu'min:40).
Kemudian sebagai anggota masyarakat,sekarang peran perempuan juga dibutuhkan didunia politik,baik sebagai legislatif maupun dilembaga pemerintahan. Perempuan memiliki makna yang sangat penting di dunia politik untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Sehingga perempuan harus masuk ke dunia politik jika ingin hak-haknya terpenuhi.Setiap keputusan itu ada di politik nah kalau perempuan mau hak-haknya terpenuhi mereka harus berada di dalam pengambilan keputusan. Itu harus berada di dalam politik yang ada, dan salah satu caranya ya masuk ke partai politik, menjadi anggota legislatif.Atau yg lebih strategis menjadi kepala daerah.
Kita tidak menganggap laki-laki itu lebih hebat dari kita, tapi kita juga tidak merendahkan laki-laki. Karena ada juga kan tipe perempuan yang memperjuangkan hak perempuan tapi justru menurunkan hak laki-laki, jadi dia feminis sekali, saking feminisnya jadi anti laki-laki. Jangan sampai seperti itu, kesetaraan gender bagi kita punya hak yang sama dan kemudian berada dalam pengambilan keputusan yang sama.Perempuan adalah mitranya laki-laki,saling menguatkan,saling tolong menolong ,saling menghormati peran masing-masing.Dalam rumah tangga, suami menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya. Tapi di masyarakat perempuan bisa berperan menjadi pemimpin, khususnya dalam organisasi perempuan serta lembaga lainnya .
Perempuan dan Laki-laki memiliki persamaan di dalam kebebasan menjalankan kewajiban beragama dan beribadah (QS. Al Ahzab (33) ; 35),juga dalam beramal sholeh (QS. An-Nisaa’ [4]:124). Berpolitik bagi perempuan adalah bagian dari amal sholehnya sebagai anggota masyarakat dalam upaya memperhatikan urusan ummat dari semua bidang, serta menumbuhkan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih.
Selain itu arti pentingnya perempuan ikut berperan dibidang politik diantaranya juga karena: Jumlah perempuan yang sama banyak bahkan lebih dari jumlah laki-laki. Kemudian adanya UU No. 2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka 30 persen ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.- UU No. 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap 3 bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bacaleg perempuan.
Sekarangn ini, kita melihat rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik dapat disebabkan alasan: Pertama, masih mengakar kuatnya paradigma patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik. Kedua, kurang dukungan keluarga , izin dari suami dan izin dari orang tua, kadang susah didapatkan perempuan karena harus mengorbankan waktu untuk keluarga. Ketiga, kapasitas , kemampuan dan kapabilitas perempuan untuk tampil didunia publik. Kadang perempuan itu sendiri yang merasa kurang percaya diri untuk itu.Jadi harus bisa mengupgrade diri dan mengembangkan potensi dirinya sehingga layak diberi kepercayaan oleh masyarakat baik menjadi anggota legislatif maupun kepala daerah.
Keempat, institusi politik pada umumnya tidak benar-benar memiliki komitmen penuh pada pemberdayaan perempuan. Misalnya, dalam hal pengajuan bakal calon legislatif perempuan oleh parpol yang kerapkali hanya dilakukan demi memenuhi persyaratan pemilu.Pada umumnya, parpol masih kurang yakin perempuan mampu menjadi vote getter dan menaikkan elektabilitas parpol. Asumsi ini tentu berkaitan dengan keterbatasan perempuan dalam kapital, baik finansial maupun sosial.
Kelima, biaya besar dibutuhkan untuk kampanye.Tidak semua perempuan punya finansial yang lebih untuk terjun kedunia politik.
Apalagi jika mau maju menjadi Kepala Daerah . Peluang partisipasi perempuan dalam Pilkada ini dapat dikatakan sudah terbuka lebar, Jadi bukan sebuah ilusi. Tapi , jika ada perempuan Minang berani maju menjadi Kepala daerah, perlu dilihat kembali apa tujuan perempuan Minangkabau tersebut untuk menjadi kepala daerah?. Apakah perempuan itu sudah bisa/selesai menjalankan fungsinya dalam keluarga dan kaumnya dengan baik?. Untuk bisa berperan terhadap masyarakatnya. Agar jangan menjadi perempuan yang salah langkah.
Tantangan bagi perempuan calon kepala daerah adalah harus punya strategi kampanye dan keterikatannya dengan akar rumput, merupakan salah satu penentu kesuksesan karena nasib masing-masing kandidat calon kepala daerah pada akhirnya bergantung pada pilihan rakyat. Terlebih dengan mekanisme pilkada langsung saat ini, kepiawaian kandidat untuk mendekatkan diri dengan pemilih merupakan faktor yang menentukan bagaimana pada akhirnya pemilih menjatuhkan pilihan padanya. Di sini, peran dari partai (jika diusung partai) atau tim suksesnya memainkan peran yang sangat penting pula untuk dapat membantu kandidat perempuan ini mengikatkan dirinya dengan pemilih. Apalagi terkadang ketika kandidat perempuan dihadapkan langsung dengan pemilih, kemungkinan munculnya sentimen terkait isu-isu gender yang berhubungan dengan penerimaan budaya, agama, dan tradisi, bisa saja muncul. Di sinilah kandidat perempuan seringkali dihadapkan pada aspek penerimaan publik atas identitasnya sebagai perempuan.
Sekalipun penerimaan yang terkait dengan tradisi, budaya, dan agama ini tidak terlalu signifikan disebut sebagai hambatan bagi perempuan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, aspek ini tidak dapat begitu saja dikesampingkan. Hal ini dikarenakan identitas sebagai perempuan seringkali dapat menjadi alat perlawanan politik yang digunakan oleh lawan politiknya untuk menggagalkan perjalanan perempuan menuju kursi kepala daerah.
Konsekuensinya, ia harus memiliki basis organisasi yang dapat melakukan advokasi kepada masyarakat dan meyakinkan masyarakat untuk dapat memilihnya. Dengan kata lain, ketika sudah berhadapan dengan masyarakat, mesin politik harus bekerja dengan optimal agar isu-isu sentimen gender yang mungkin bisa saja muncul di tengah masyarakat dapat dialihkan kepada pembangunan citra baik kandidat perempuan.
Dalam konteks perempuan yang memiliki elektabilitas tinggi—misalnya perempuan berlatar belakang legislator—partai yang pragmatis menyandera upaya konsolidasi perempuan untuk maju memimpin pemerintahan. Perempuan berlatar belakang legislator misalnya, telah mengumpulkan kekuatan politik yang dimilikinya saat ia menjadi anggota legislatif.Kemudian perempuan mencalonkan diri sebagai kepala daerah di tempat dimana ia bertugas sebagai anggota legislatif.
Hal ini membuat perempuan mantan anggota legislatif mempunyai elektabilitas yang tinggi. Namun, tak melihat konsolidasi politik perempuan ini.Ini tantangan tersendiri bagi perempuan ditengah peluang yang ada.
Padahal jika kita melihat refleksi kepemimpinan perempuan dalam peningkatan perannya jika menjadi pemimpin, perempuan tersebut memimpin dengan telaten, sabar mampu menjadi teladan bagi masyarakat untuk mengubah pola hidup menjadi lebih sehat sudah banyak sosialisasi tentang pola hidup bersih dan sehat melalui berbagai komunitas. Implementasi kepemimpinan (perempuan peletak batu pertama bagi anak) maka perempuan juga merangkap peran sebagai pendidik, pengasuh, pendamping, penuntun, pendorong/motivator dalam keluarga, pemuat, pendamping suami, pencari nafkah tambahan.
Maka dari itu dalam menghadapi tantangan global diperlukan kepemimpinan perempuan yang visioner, berfikir inovatif, mempunyai kemampuan manajemen waktu,membina kerja tim, mengenali dirinya, percaya diri, dan memiliki kapabilitas dalam memimpin masyarakat. Wallahu a’lam. (SZ)