Kasus Wamena Jadi Pelajaran Bagi Perantau Minang
Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 08 Oktober 2019 15:35:27 WIB
Oleh Yal Aziz
“Karatau tumbuah di hulu, babuah babungo balun. Marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun”.
Makna dari pepatah ini menjelaskan kalau anak laki-laki yang masih bujangan atau belum menikah tidak mempunyai peranan atau posisi dalam adat. Untuk itu sangat wajar, kalau keputusan pergi merantau, sudah membudaya bagi generasi muda Minang.
Secara sederhana, merantau bisa diartikan sebagai perginya seseorang dari tempat asal di mana seseorang anak tumbuh dan besar ke daerah lain untuk menjalani kehidupan baru yang menurut pikirannya jauh lebih baik dari kampung halamannya.
Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan anak muda Minang pergi merantau. Dari sekian banyak faktor, termasuk faktor budaya, ekonomi, alam, dan pendidikan. Namun, dari sekian banyak faktor, yang paling dominan adalah faktor ekonomi. Dalam hal ini, merantau dianggap memberikan harapan untuk kehidupan yang lebih baik di tempat yang akan dituju.
Kemudian ada juga yang menilai, sifat merantau bagi Orang Minang bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja, tetapi juga ada faktor tradisi atau kebudayaan yang dianut oleh Orang Minang, yakni faktor sistem matrilineal. Kenapa? Karena sistem matrilineal yang dianut orang Minangkabau memberikan harta pusaka atau hak waris kepada pihak perempuan, sedangkan pihak laki-laki hanya memiliki hak yang kecil.
Jadi bisa disimpulkan, kalau masalah matrilinial ini menjadi salah satu alasan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Namun faktanya sekarang, pihak perempuan Minang pun telah banyak juga yang pergi merantau. Kemudian, ada juga orang tua yang memaksa agar anak remajanya merantau sejauh-jauhnya dari wilayah Minangkabau, sebab ada pandangan bahwa semakin jauh tempat perantauan, maka pengalaman hidup yang didapatkan juga semakin banyak. Sehingga, si anak semakin berguna dalam masyarakat ketika mereka kembali.
Kemudian, adanya cerita di kampung tentang suksesnya orang-orang terdahulu di perantauan. Selanjutnya cerita tersebut sekalagus menjadi pemicu motivasi tersendiri untuk mendorong generasi Minang untuk pergi merantau. Bahkan motifasinya merantau untuk mambangkik batang tarandam. Maksudnya, dengan kesuksesan merantau, dapat merubah nasib dirinya dan keluarganya. Alasan itu menjadi kompilasi dari alasan-alasan lainnya. Ini pula lah yang menjadi motivasi terbesar orang Minang dalam merantau.
Bagi perantau Minang, ada filsafah hidup yang jadi anutan dan pedoman, dimanapun mereka berada. Bahkan falsafah adat inipun selalu mereka genggam erat.Diantara falsafah yang mereka pegang erat itu; Di mana bumi dipijak di situlah langit dijunjuang.
Kemudian bagi orang Minang, alam takambang jadi guru. Maksudnya, alam selalu terkembang untuk mereka jadikan guru. Selanjutnya, para perantau Minang selalu memegang; Setinggi-tingginya bangau terbang, pulangnya ke kubangan jua. Maksudnya, sejauh apapun mereka merantau, kampung halaman harus diingat juga dengan tradisi Pulang Basamo.
Kini setelah terjadi tragedi Wamena, 1 Oktober, 2019 lalu, setidaknya ada sekitar 433 perantau dari Sumatera Barat yang kembali ke Kampung halamannya. Bahkan, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit menyempat diri berkunjung ke Wamena, pasca rusuh tersebut.
Kedepan, tentu kita berharap kepada para perantau Minang dimanapun berada untuk selalu waspada dengan tragedi kerusuhan. Maksudnya, para perantau selain meningkat komunikasi dengan masyarakat asli setempat, juga menjalin komunikasi dengan aparat penegak hukum, bila terjadi kerusuhan. Maksudnya, jangan sampai terjadi kerusuhan yang menelan jiwa perantau Minang. Cukup kasus Wamena yang menelan korban. Semoga. (Penulis waratwan Tabloidbijak.com dan Ketua SMSI Sumbar)