PENTINGNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

PENTINGNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

Artikel Zakiah(Tenaga Artikel) 28 Maret 2018 10:56:43 WIB


PENTINGNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI mengadakan kegiatan Penyerasian Peraturan Perundang-Undangan terkait Perlindungan Hak Perempuan”, pada tanggal 11-13 April  2018 di Hotel Harmoni One, Batam. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat khususnya pengurus Lembaga terkait Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Indonesia, tentang Peraturan Perundang-Undangan Perlindungan Perempuan.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019, pemerintah telah merumuskan 3 (tiga) arah kebijakan dan isu strategis yaitu: 1) meningkatnya kualitas hidup  dan peran perempuan dalam pembangunan; 2) meningkatnya perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, termasuk tindak pidana perdagangan orang (PTPPO) dan; 3) meningkatnya kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan kelembagaan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan.

Hampir setengah dari penduduk Indonesia adalah perempuan (49,75%). Namun dalam kehidupan sehari-hari, perempuan masih mengalami ketidakadilan akibat diskriminasi seperti : marjinalisasi (peminggiran/pemiskinan), sub-ordinasi, pelabelan (stereotype), kekerasan, dan beban kerja.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak dewasa ini memiliki modus dan karakteristik yang canggih dan makin tidak berperikemanusiaan. Maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin menghawatirkan banyak pihak. Kejadian ini oleh Kepala Negara disebut “darurat” kekerasan.

Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016 yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, menghasilkan data bahwa satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun atau sekitar 28 juta orang pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual, baik dilakukan oleh pasangan maupun bukan pasangannya. Kekerasan fisik dan/atau seksual cenderung lebih tinggi dialami perempuan yang tinggal di perkotaan (36,3%) dibandingkan yang tinggal di perdesaan (29,8%). Kekerasan tersebut lebih banyak dialami perempuan dengan latar belakang SMA ke atas (39,4%) dan perempuan tidak bekerja (35,1%).

Selain kekerasan fisik dan seksual, dalam survei ini juga dicakup tentang kekerasan emosional (psikis) dan kekerasan ekonomi. Sekitar 1 dari setiap 4 perempuan yang pernah/sedang menikah pernah mengalami kekerasan ekonomi oleh pasangannya, antara lain tidak diperbolehkan bekerja, tidak diberikan uang belanja, dan diambil uang/penghasilannya tanpa persetujuannya. Sementara 1 dari 5 perempuan yang pernah/sedang menikah mengalami kekerasan emosional/psikis oleh pasangannya, antara lain dihina, diintimidasi dan dipermalukan di depan orang lain.

Hasil dari survei ini telah membuka mata kita semua, bahwa kekerasan terhadap perempuan sangat memprihatinkan. Data ini harus kita maknai bahwa perlindungan terhadap hak perempuan harus menjadi prioritas seluruh komponen bangsa.

Untuk itu, Kementerian PP-PA tahun 2016 telah  mencanangkan Three Ends (Tiga Akhiri) yaitu: 1). Akhiri kekerasan terhadap perempuan; 2). Akhiri perdagangan orang; 3). Akhiri  kesenjangan akses ekonomi bagi perempuan. Ketiga agenda tersebut harus berjalan sebagaimana diharapkan, sehingga di daerah-daerahpun harus teragenda, yang dilaksanakan secara terprogram, konsisten, dan berkesinambungan. Oleh sebab itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dapat secara sinergi dengan instansi lainnya untuk melakukan harmonisasi kebijakan dan program/kegiatan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Di samping itu, untuk mendukung suksesnya agenda Three Ends  ini, bukan saja dituntut kemampuan teknis, melainkan juga kemampuan managerial yang dapat menggerakkan potensi dan sumberdaya pembangunan di daerahnya, termasuk upaya dan kerjasama dengan private sector dan lembaga masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mengatasi  masalah yang terjadi di daerahnya.

Untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak,  telah terbit UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) beserta PP No. 4 Tahun 2006 tentang  Penyelenggaraan Kerjasama dan Pemulihan Korban KDRT.  Selain itu  ada UU No. 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU No. 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak.  PERPPU ini dikenal dengan PEPPU Kebiri, untuk mempertegas pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Juga ada Perpres No. 61 tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia; Permenko PMK No. 2 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA); Permen PP-PA No. 7 tahun 2016 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan Kekerasan terhadap Anak melalui Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan, dan RAN Perlindungan Anak.

Kemudian ada Pembentukan Satgas Anti KDRT tingkat Desa/Kelurahan. Hal  ini merupakan bagian dari wujud dan keinginan pemerintah yang kuat untuk “menghadirkan negara” pada warganya, terutama perempuan dan anak yang mengalami  atau menjadi korban tindak kekerasan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik

Saat ini sedang dibahas bersama DPR Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (RAN UU PKS). RAN UU PKS ini dibuat untuk mempertegas perlindungan bagi perempuan dan anak. Kehadiran undang-undang ini akan menjadi pelengkap bagi undang-undang KDRT dan undang-undang perlindungan anak. RUU PKS akan memberi ancaman atau sanksi berat terhadap pelaku kekerasan seksual. Ada tembak mati, hukuman seumur hidup hingga sanksi sosial. RUU PKS ini juga akan memastikan pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.

Kementerian PP-PA juga gencar Kampanye BERLIAN (Bersama Lindungi Anak); Peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan melalui Program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang sudah terbentuk di 136 desa/kalurahan; Gerakan Pekka Perintis (Perempuan Kepala Keluarga Inovator Indonesia; Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak; Peningkatan kemampuan keluarga dalam pengasuhan melalui PUSPAGA (Pusat Pemberdayaan Keluarga); Penguatan kapasitas Aparat Penegak Hukum dalam penanganan kasus kekerasan; Penguatan lembaga layanan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) di 34 provinsi melalui sertifikasi ISO 9001; Pelatihan pencatatan dan pelaporan data kekerasan on line; Hibah MOLIN (Mobil perlindungan perempuan dan  Anak) di 34 provinsi dan 168 kab/Kota (202 MOLIN tahun 2016) dan TORLIN (Motor Perlindungan untuk Perempuan dan Anak), dan di tahun 2017 juga ada bantuan Molin dan Torlin.

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, rentan terhadap berbagai bentuk penyelundupan, termasuk penyelundupan migran. Penyelundupan migran merupakan salah satu bentuk tindak pidana transnasional yang kerap kali dilakukan secara terorganisasi. Dengan demikian, tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi penyelundupan migran melalui darat, laut, dan udara membutuhkan suatu pendekatan yang menyeluruh, termasuk dengan melakukan kerja sama, pertukaran informasi dan upaya-upaya lain yang diperlukan, di tingkat nasional, regional, maupun internasional.

Untuk mengatasi masalah terkait dengan TPPO,  pemerintah telah mengeluarkan kebijakan antara lain: a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU-PTPPO),  ini merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas, dan Menghukum TPPO, khususnya Perempuan dan Anak; b). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini  merupakan undang-undang yang mengatur tentang kepastian dalam memberikan perlindungan kepada saksi/korban tindak pidana perdagangan orang.

Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, terutama perempuan dan anak, tidak dapat ditangani sendiri oleh Indonesia, tetapi perlu ditangani oleh seluruh negara di kawasan ASEAN yang merupakan negara asal, transit, dan/ atau tujuan dari tindak pidana perdagangan orang. Oleh karena itu, Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu meningkatkan kerja sama dengan negara yang tergabung dalam ASEAN dalam mencegah dan memberantas tindak pidana perdagangan orang.

Pemerintah juga menjamin pekerja migran Indonesia. Mereka harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Jaminan ini diwujudkan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia pada tanggal 22 November 2017.

Pemerintah memastikan bahwa Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan berhak memperoleh restitusi. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana yang diterbitkan pada tanggal 16 Oktober 2017.

Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah peraturan yang mengatur Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Perlindungan yang diberikan oleh negara kepada  perempuan dalam situasi darurat (situasi bencana dan konflik) dan kondisi khusus (lansia dan penyandang disabilitas) agar terlindungi hak-haknya, telah ada kebijakan:

  • Terbitnya Peraturan Presiden RI Nomor 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam konflik Sosial. Perpres telah dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) Tahun 2014 – 2019 melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI Nomor 07 tahun 2014.
  • Telah terbit UU NO 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. UU ini telah mengakomodir hal yang berkaitan dengan gender dalam Pasal 3, Bab 2, melalui prinsip non-diskrimintif dan keselarasan serta keserasian dalam penanggulangan bencana. Prinsip-prinsip tersebut menekankan bahwa segala macam program di dalam manajemen bencana wajib tidak membeda-bedakan individu berdasarkan latar belakang budaya, gender, status, agama dan ras.
  • Upaya untuk mengembangkan model perlindungan lansia dalam rangka menuju lansia sehat, produktif dan mandiri. Contoh: model Senior Center   dan Home Care, yaitu model yang mengimplementasikan upaya pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan lansia dengan berbasis keluarga dan masyarakat.
  • Indonesia telah meratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons with Disabilities. Ratifikasi ini menunjukkan kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas.

Demikianlah beberapa hal yang disampaikan pada acara tersebut,  semoga kita dapat meningkatkan kerja sama, bergandeng tangan dengan  semua pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, utamanya untuk melindungi perempuan dan anak.(SZ)