25 Tahun Bank Syariah

25 Tahun Bank Syariah

Artikel () 24 Desember 2017 07:47:52 WIB


Adiwarman Karim menulis di Republika edisi dengan judul. Ia menceritakan bagaimana peraih nobel ekonomi tahun 2017 Richard Taler menggunakan sentuhan jiwa dalam membentuk perilaku manusia, seperti halnya Imam Ghazali.

Saya mengutip tulisan Karim yang menyatakan bahwa Thaler (guru besar Universitas Chicago) menulis buku bersama Cass Sustein (guru besar Universitas Harvard) yang berjudul “Nudge: Improving Decisions about Health, Wealth and Happiness” di mana teori Nudge yang dikembangkan Thaler berpendapat bahwa pada saranya manusia tidak selalu bertindak secara rasional. Manusia sebenarnya cenderung bertindak tidak rasional dengan pola yang dapat diprediksi. Karena kesalahan manusia dapat diprediksi, maka manusia dapat diarahkan untuk membuat pilihan yang lebih baik.

Karim melanjutkan penjelasan Thaler yang menyimpulkan dengan bahasa yang mudah dimengerti, “Bila Anda ingin seseorang melakukan sesuatu, maka mudahkanlah ia untuk melakukannya, make it easy”. Karim menjelaskan lebih jauh bahwa pendekatan sentuhan kecil jauh lebih efektif daripada pendekatan larangan di mana orang dimudahkan meninggalkan keburukan dengan memberikan pilihan lain.

Karim kemudian melanjutkan lagi, bahwa pendekatan halal haram tidak membuat orang lain bisa berubah, bahkan cenderung memilih atau melakukan yang buruk. Di sisi ini Imam Ghazali tidak menekankan pentingnya halal haram, tapi bagaimana memudahkan dan menggembirakan orang dalam berbuat kebaikan.

Karim menjelaskan lagi, pendekatan nudge dengan memudahkan dan menggembirakan orang untuk memilih syariah, memilih ekonomi keuangan syariah, merupakan suatu keniscayaan yang efektif. Sedangkan pendekatan lama menurut Karim biasanya kombinasi dari dua ekstrem. Yaitu pendekatan yang menekankan pendekatan dikotomi halal haram, dan pendekatan yang menekankan perlunya melindungi industri keuangan syariah  dengan alasan industri yang baru tumbuh.

Kedua pendekatan itu menyebabkan masyarakat tidak dimudahkan mencari yang halal meskipun kesadaran meninggalkan yang haram tinggi, dan menyebabkan perkembangan semu industri  keuangan syariah yang melemahkan.

Jika bicara tentang perkembangan keuangan syariah, maka pendapat Mohammad Munif Ridwan bisa kita lihat sebagai sebuah data. Ridwan menyatakan bahwa pada 2014 dan 2015 pertumbuhan aset industri perbankan syariah di Indonesia terpuruk, di angka 12,42 persen dan 8,99 persen year on year. Kemudian naik di 2016 menjadi 20,33 persen. Ridwan menyatakan bahwa selama 2005-2013 rata-rata pertumbuhan aset perbankan syariah mencapai 36 persen pertahun. Pada 2010 dan 2011 sempat berada di 48 persen dan 49 persen. Dibanding rata-rata pertumbuhan aset perbankan konvensional sebesar 16 persen terlihat pertumbuhan aset perbankan syariah cukup tinggi.

Ridwan mempertanyakan penyebab terpuruknya pertumbuhan bank syariah, apakah karena masalah yang fundamental. Ridwan melihat jumlah umat Islam mayoritas yang besar ternyata tidak punya keterkaitan dengan pertumbuhan bank syariah, di samping itu perkembangan bank umum syariah dan unit usaha syariah yang mengalami perlambatan.     

Dengan pendapat dari Karim dan Ridwan ini saya juga ingin memberikan pendapat yang berbeda, yaitu melihat dari sudut pandang manajemen sumber daya manusia dan budaya organisasi.

Selama 25 tahun perjalanan bank syariah, pertumbuhan aset memang terjadi, dan cukup besar. Bank syariah baru bermunculan, baik bank umum syariah maupun unit usaha syariah dari bank konvensional. Bank syariah juga memperluas kantor cabangnya ke berbagai daerah. Di samping itu bank syariah menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi Islam untuk memperluas jangkauan nasabahnya serta pelayanannya.

Karena aset bertambah, kantor bertambah, jumlah bank bertambah, mau tidak mau SDM pun bertambah. Namun pertambahan ini terlihat hanya sekedar bertambah jumlah saja jika dilihat dari luar, belum bertambah secara kualitas.

Selain itu budaya organisasi di bank syariah belum mampu menarik nasabah lebih banyak lagi dibanding bank konvensional. Ini juga akibat sedikit banyaknya terkait SDM yang ada di bank syariah.

Seharusnya bank syariah bisa bergerak lebih baik jika budaya organisasinya diatur sedemikian rupa sehingga nasabah yang ada bisa menikmati kenyamanan dan kemudian menarik calon nasabah datang untuk menjadi nasabah. Memang sudah ada yang mencoba memperbaiki budaya organisasi, sehingga masyarakat menjadi bersemangat datang ke bank syariah dan menjadi nasabahnya.

Oleh karena itu bank syariah perlu terus menerus melakukan evaluasi terhadap budaya organisasinya sekaligus melibatkan SDM yang ada untuk memperbaiki budaya organisasi bank syariah agar masyarakat semakin menikmati keberadaan bank syariah. Hal-hal yang terkait dengan budaya organisasi bank syariah yang mungkin dikeluhkan nasabah seperti saluran elektronik seperti internet banking, atm, mobile banking yang terasa tertinggal dibanding yang ada di bank konvensional. Demikian pula produk-produk yang ada di bank syariah belum sebanyak yang ada di bank konvensional sehingga nasabah tidak punya pilihan banyak. Dan dari sisi pelayanan nasabah atau customer service juga perlu perbaikan kuaitas agar pelayanan kepada nasabah semakin membaik kualitasnya.   

Perlu juga diakui bahwa budaya organisasi bank syariah selama 25 tahun semakin menunjukkan perbaikan yang signifikan. Namun masih dirasa tertinggal dibanding bank konvensional. Budaya organisasi bank syariah memang beda dengan aset bank syariah. Jika pertumbuhan aset bank syariah yang angkanya cukup besar dari tahun ke tahun menjadi semacam prestasi, maka budaya organisasi bank syariah yang mampu menunjukkan bagaimana bank syariah itu kepada masyarakat seperti terabaikan sehingga terkesan lupa untuk ditata dengan baik.

Dan budaya organisasi serta SDM bank syariah ini juga ada hubungannya dengan apa yang disampaikan oleh Adiwarman Karim yang menguraikan tentang teori Nudge. Yaitu menjadikan orang mudah dan senang berhubungan dengan bank syariah dibanding harus berpikir halal atau haram.  (efs)

 

Referensi:

Republika, 18 Desember 2017

 

Republika, 24 Mei 2017

ilustrasi: freefoto.com