PDRI dan Bela Negara
Artikel Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 30 Desember 2014 04:08:28 WIB
Tanggal 19 Desember tahun ini (2014) menjadi istimewa dibanding tahun-tahun sebelumnya. Baru di tahun ini Upacara Bela Negara digelar di seluruh Indonesia dan Pemerintah Pusat di Jakarta juga melaksanakan upacara Bela Negara. Mendagri dan Menhan menyurati seluruh Gubernur/Bupati/Walikota seluruh Indonesia untuk menyelenggarakan Upacara Hari Bela Negara di daerah masing-masing.
Di Sumatera Barat upacara digelar di halaman Kantor Gubernur. Upacara berjalan lancar dan sangat khidmat. Saya sebagai inspektur upacara yang selama ini membaca pidato Gubernur, hari itu membacakan pidato Presiden RI, Joko Widodo. Sejumlah pejuang dan tokoh-tokoh masyarakat Sumatera Barat juga banyak hadir saat itu. Mereka, juga saya, sangat terharu dengan peristiwa itu. Kami mengucapkan terimakasih dan mengapresiasi semua tokoh-tokoh yang dengan bersungguh-sunggu memperjuangkan agar Bela Negara dijadikan hari besar nasional.
Hari Bela Negara yang telah ditetapkan dan diperingati secara nasional setiap tanggal 19 Desember merupakan peringatan terhadap peristiwa berlangsungnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi Sumatera Barat. Meski sebelumnya banyak menimbulkan pro kontra, namun tak bisa dipungkiri, sejarah mencatat bahwa kota Bukittinggi pernah menjadi Ibukota Republik Indonesia.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Desember tahun 1948. Pada hari Minggu pagi pukul 05.45, tanggal 19 Desember 1948 lapangan terbang Maguwo Jogjakarta (kini Adisutjipto) dibombardir dan dihujani tembakan oleh Belanda menggunakan lima pesawat Mustang dan sembilan pesawat Kittyhawk. Belanda mengumumkan bahwa mereka tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Mereka sekaligus tidak lagi mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Serangan ini kemudian dikenal dengan Agresi Militer II.
Ibukota Negara yang saat itu berkedudukan di Jogyakarta berhasil mereka rebut, Presiden, Wakil Presiden dan sejumlah menteri ditawan oleh Belanda, pemerintahan RI lumpuh saat itu. Belanda mengumumkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia telah bubar.
Sasaran serangan Agresi Militer II adalah seluruh wilayah Indonesia, namun yang menjadi target utama adalah Jogyakarta yang saat itu menjadi Ibukota RI dan Bukittinggi sebagai pusat pemerintahan RI di wilayah Sumatera. Karena pertahanan di Jogyakarta saat itu lemah, hanya dalam tempo 25 menit Jogya berhasil dilumpuhkan.
Namun tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, termasuk tokoh-tokoh asal Sumatera Barat saat itu tak tinggal diam. Tokoh-tokoh pemikir dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia saat itu memang banyak yang berasal dari Sumatera Barat. Meski Belanda berusaha menumbangkan pemerintahan RI, Bangsa Indonesia bertekad bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus tetap dipertahankan.
Maka pada saat itu pusat pemerintahan dan kekuasaan negara langsung diambil alih oleh tokoh Dwi Tunggal Sumatera Barat, yaitu Sjafruddin Prawiranegara dan Muhammad Rasyid. Mereka lalu membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan menjadikan Bukittinggi sebagai ibukota Negara setelah Jogyakarta ditaklukkan Belanda tanggal 19 Desember tahun 1948. Presiden Soekarno memang telah memberikan mandat kepada Sjafruddin yang saat itu menjabat Menteri Kemakmuran RIuntuk membentuk PDRI.
Bunyi mandat tersebut adalah sebagai berikut : “Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas ibukota Jokyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya, kami menugaskan pada Mr. Sjafruddin Prawiranegara , Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera.” (Jogyakarta, 19 Desember 1948).
Kota Bukittinggi yang juga mendapat serangan dari Belanda saat itu justru memberikan perlawanan. Kebetulan Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu sedang berada di Bukittinggi dalam rangka tugas, bersama TM Hasan (Ketua Komisariat Pemerintahan Pusat), dan Residen Sumatera Tengah Muhammad Rasyid,membentuk PDRI dan terus melakukan perang gerilya melawan Belanda.
Sejak saat itu pemerintahan tertinggi RI berada di Bukittinggi. Untukmempertahan kedaulatan negara dan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia, NKRI harus tetap ada. Belanda terus berusaha membubarkannya dengan melakukan penyerangan terhadap PDRI. Namun Sjafruddin berhasil bertahan, dengan melakukan perang gerilya dari hutan ke hutan di berbagai wilayah Sumatera. PDRI tetapi eksis sampai Juli 1949.
Karena situasi telah kembali aman, pada tanggal 13 Juli 1949 Sjafruddin mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Dalam sebuah upacara sederhana dihadapan sejumlah menteri dan sejumlah pejabat tinggi negara serta didampingi Jenderal Sudirman, Sjafruddin memimpin langsung acara serah terima tersebut.
Kini, Alhamdulillah suasananya sudah jauh berbeda. Tak ada lagi yang menggugat kedaulatan Republik Indonesia, tak perlu lagi perang gerilya keluar-masuk hutan, mengorbankan harta benda bahkan nyawa seperti yang dilakukan Sjafruddin dan para pejuang lainnya. Tugas kita adalah mengisinya, membangunnya agar tercapai amanat UUD 1945, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Bela Negara saat ini tidak lagi berperang secara fisik melawan penjajah, tetapi dalam arti yang lebih luas. Seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo, melawan illegal fishing juga termasuk bela negara, mempertahankan kedaulatan pangan juga termasuk bela negara, dan banyak contoh lainnya.
Bagi Sumatera Barat, Hari Bela Negara merupakan suatu pengakuan bahwa masyarakat Sumatera Barat memang berperan dalam memperjuangkan kedaulatan negara ini dan sebagai bukti besarnya kepedulian masyarakat Sumatera Barat terhadap NKRI. Semoga momen ini menjadi kebanggaan generasi muda dan semua warga Sumatera Barat, sekaligus memberikan motivasi agar ikut berperan dalam upaya bela negara di masa depan dalam arti yang lebih luas. Amin. (irwan Prayitno)