Sudah Saatnya Sumbar Memiliki Bangunan Tahan Gempa
Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 30 Maret 2017 11:06:09 WIB
Sudah Saatnya Sumbar Memiliki Bangunan Tahan Gempa
Oleh: Noa Rang Kuranji
Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) termasuk kawasan rawan gempa bumi disebabkan letaknya di pantai barat Sumatra yang secara tektonik berada berdekatan dengan zona subduksi (subduction zone), yaitu zona pertemuan/perbatasan antara 2 lempeng tektonik berupa penunjaman lempeng India-Australia ke bawah lempeng Eurasia.
Pergerakan lempeng-lempeng ini akan menyebabkan gempa yang tak jarang berkekuatan besar. Selain itu, Patahan Besar Sumatera (Sumatra great fault) yang masih aktif akan selalu pula mengancam kawasan itu apabila terjadi pergeseran di zona patahan tersebut. Ditambah pula, aktivitas gunung berapi yang masih aktif, misalnya Gunung Marapi, Tandikek, dan Talang dapat menimbulkan getaran yang cukup kuat.
Antara zona subduksi, Sesar Sumatera, dan gunung-gunung berapi aktif ini saling berkaitan dan mempengaruhi. Oleh karena itu, Sumbar bukan hanya rawan terhadap bencana gempa, namun juga bencana lain yaitu letusan gunung berapi, tsunami, bahkan tanah longsor (akibat getaran gempa).
Oleh sebab posisinya yang “dikepung” oleh sumber-sumber gempa itu maka Sumbar menjadi daerah yang sering terkena (rawan) bencana ini. Beberapa gempa di Sumbar tidak terjadi sekali getaran saja, tapi dapat berulang-ulang seperti serangkaian gempa yang pernah mengguncang Sumbar, gempa susulan akan mengguncang beberapa kali dalam waktu dekat.
Bahkan di Sumbar sering terjadi gempa besar yang getarannya dapat pula dirasakan hingga ke provinsi tetangga seperti Riau, Kepulauan Riau (Kepri), dan Jambi, bahkan hingga ke negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia (kawasan Semenanjung). Seperti kejadian gempa dahsyat 2009 dengan kekuatan 8,9 SR yang meluluh-lantakan Kota Padang dan sekitarnya. Ribuan bangunan hancur dan runtuh serta ratusan nyawa pun melayang dalam sekejap.
Sementara daerah-daerah yang termasuk ke dalam kawasan pantai timur Sumatera, seperti Riau dan Sumatera Selatan, tidak berada di dekat pusat gempa sehingga relatif aman dari aktivitas gempa yang kuat. Daerah-daerah yang berada di pantai timur Sumatera hanya menerima getaran dari gelombang seismik yang berasal dari pusat gempa di pantai barat.
Dulu, pasca gempa dahsyat 2009, segenap para pemimpin di Sumbar termasuk Kota Padang berpikir dan sepakat untuk membangun gedung-gedung dan perumahan warga yang tahan terhadap gempa guna mengantisipasi agar tidak timbul korban yang lebih besar lagi di masa-masa mendatang. Akhirnya, didatangkanlah para pakar dan ahli bangunan ke daerah ini, termasuk dari luar negeri seperti Jepang guna mengkaji struktur tanah yang ada di bumi Ranah Minang.
Tapi sayang, sampai kini program bangunan tahan gempa itu tidak jelas lagi karena Pemprov Sumbar dan pemerintah kota/kabupaten di daerah ini hanya sibuk melakukan simulasi mitigasi gempa yang tujuannya mengajak atau memberitahukan kepada masyarakat bagaimana cara menyelamatkan diri bila suatu saat terjadi gempa.
Sementara warga tidak pernah diajarkan bagaimana membangun rumah yang tahan gempa sehingga perasaan was-was warga terhadap ancaman bahaya gempa tidak pernah hilang meskipun beribu kali dilakukan simulasi mitigasi gempa oleh pemerintah.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di Indonesia baru Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang telah menerapkan sistem bangunan tahan gempa di wilayahnya. Kedua daerah ini pernah dihantam gempa cukup besar, yakni gempa disertai tsunami melanda Aceh tahun 2004 dan gempa dahsyat Yogyakarta tahun 2006 silam.
Setelah itu, mereka cepat bangkit dan melakukan berbagai terobosan guna mencegah agar peristiwa yang menelan korban jiwa dan harta benda yang sangat besar itu tidak terulang kembali. Seperti menjalin kerjasama dengan pemerintah dan sejumlah lembaga pendidikan dan sosial di Jepang untuk membangun rumah tahan gempa.
Jepang melalui University of Tokyo, Meguro Laboratorium dan JICA bersama PIP2B Yogyakarta memperkenalkan konstruksi rumah aman tahan gempa yang jauh lebih murah ketimbang konstruksi yang sudah ada.
Rumah aman tahan gempa yang salah satunya dibangun di Diro, Pendowoharjo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta itu dibangun dengan menggunakan teknologi PPBM (Polypropelyne band mesh).
"PPBM adalah teknologi penguat dinding bangunan gedung atau mansonry building dengan menggunakan tali poly propylyne sebagai pengikat dinding bangunan agar tidak runtuh saat gempa," kata Project Manager of PPBM Technology Institute of Industrial Science University of Tokyo Kimiro Meguro seperti dikutip dari situs kompasiana.com.
Metode pemasangannya, setelah batu bata dinding tersusun, jaring-jaring tali poly propylyne dipasang di bagian dalam dan luar. Antara bagian dalam dan luar ada titik-titik tertentu yang menyambung menembus dinding. Setelah jaring-jaring terpasang barulah tembok diperkuat dengan lepa (semen).
Disebutkan pemasangan PPBM pada dinding bangunan tembok akan dapat melindungi penghuni rumah dari kecelakaan tertimpa material bangunan konstruksi rumah saat gempa.
"Kalau dinding runtuh maka tidak akan segera jatuh tetapi masih tertahan karena adanya jaring-jaring yang kuat. Ini akan memberi waktu bagi penghuni untuk menyelamatkan diri," tambahnya.
Di DIY, bangunan dengan menggunakan teknologi PPBM ini telah berhasil diterapkan antara lain gedung KUD Tani Bhakti Sewon, Mushola Al Mutaqqin, Kalasan dan di Diro, Pendowoharjo, Bantul.
Teknologi itu, lanjutnya, tepat dimanfaatkan pada rumah-rumah berdinding bata seperti pada kebanyakan rumah orang Asia khususnya Indonesia. Ia menyebutkan selain di Bantul, teknologi ini juga sudah dimanfaatkan di Aceh dan di Nepal.
Lalu, bagaimana dengan Sumbar? Sudahkah menerapkan teknologi bangunan rumah tahan gempa asal Jepang tersebut? Jika memang belum, sudah saatnya kita memulainya dari sekarang. Sebab, sebagai daerah yang termasuk rawan gempa, baik Pemprov Sumbar maupun pemerintah kabupaten/kota yang ada harus proaktif menyikapi hal ini.
Pemprov Sumbar bisa saja menginstruksikan seluruh bupati dan walikota untuk membuat program rumah atau bangunan tahan gempa di wilayahnya masing-masing guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di masa mendatang.
Kemudian, meminta pihak developer (pengusaha perumahan) membuat model bangunan rumah tahan gempa serta membantu warga yang ingin memperbaiki rumahnya sendiri sesuai teknologi asal Jepang itu.
Kita tidak pernah tahu kapan musibah gempa itu akan datang lagi. Tugas kita selaku manusia adalah berdoa dan waspada guna menghindari bencana tersebut. Yang jelas, gempa itu pasti akan terjadi lagi sesuai kehendak sang pencipta. Semoga kita selalu mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Amiin Ya Rabbal’alamin. (*)