Peluang UMKM Dalam Pasar Bebas Asean
Artikel () 23 November 2016 14:27:24 WIB
Peluang UMKM Dalam Pasar Bebas Asean
Oleh : Arzil
Dalam rangka menjawab tantangan Pasar Bebas Asean (MEA) saat ini, masih terbukan peluang bagi pelaku UMKM untuk meraih pangsa pasar dan peluang investasi. Guna memanfaatkan peluang tersebut, maka tantangan yang terbesar bagi UMKM di Indonesia menghadapi Pasar Bebas Asean adalah bagaimana mampu menentukan strategi yang tepat guna memenangkan persaingan.
Saat ini, struktur ekspor produk UMKM Indonesia banyak berasal dari industry pengolahan seperti furniture, makanan dan minuman, pakaian jadi atau garmen, industri kayu dan rotan, hasil pertanian terutama perkebunan dan perikanan, sedangkan
di sektor pertambangan masih sangat kecil (hanya yang berhubungan dengan yang batu-batuan, tanah liat dan pasir).
Secara rinci barang ekspor UMKM antara lain alat-alat rumah tangga, pakaian jadi atau garmen, batik, barang jadi lainnya dari kulit, kerajinan dari kayu, perhiasan emas atau perak, mainan anak, anyaman, barang dari rotan, pengolahan ikan, mebel, sepatu atau alas kaki kulit, arang kayu/tempurung, makanan ringan dan produk bordir.
Sedangkan bahan baku produksi UMKM yang digunakan adalah bahan baku lokal
sisanya dari impor seperti plastik, kulit dan beberapa zat kimia. Beberapa kendala UMKM yang banyak dialami negara-negara berkembang termasuk Indonesia antara lain adalah masalah kurangnya bahan baku yang mesti harus diimpor dari negara lain untuk proses produksi.
Disamping itu pemasaran barang, permodalan, ketersediaan energi, infrastruktur dan informasi juga merupakan permasalahan yang sering muncul kemudian, termasuk masalah-masalah non fisik seperti tingginya inflasi, skill, aturan perburuhan dan lain
sebagainya.
UMKM di negara-negara Asean pada umumnya juga mempunyai permasalahan yang sama dalam pengembangan bisnisnya antara lain kendala hukum dan regulasi pemerintah, kualitas produk dan daya saing, perpajakan, informasi pasar,
kualitas SDM, dan keahlian dalam pemasaran. Disamping itu yang paling tinggi adalah sulitnya mengakses pinjaman atau kredit.
Melihat begitu besarnya peluang yang bisa diambil UMKM, tidak salah jika Presiden Jokowi meluncurkan kebijakan ekonomi untuk mendorong perekonomian nasional pada awal September 2015 lalu.
Salah satu poin kebijakan tersebut ditujukan bagi pemberdayaan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pemerintah memberikan fasilitas subsidi bunga dalam pembiayaan ekspor melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Fasilitas tersebut memungkinkan UMKM memperoleh kredit berbunga rendah, dari 22-23 persen menjadi 12 persen. Ini merupakan bentuk dorongan pihak perbankan bagi pelaku UMKM.
Pemerintah juga bertekad meningkatkan kemandirian ekonomi, dan daya saing di pasar internasional. Pemberian fasilitas melalui program KUR dan LPEI meningkatkan kemampuan permodalan UMKM.
Sejalan dengan hal tersebut, Rencana Kerja Pemerintah tahun 2016 mencantumkan upaya peningkatan daya saing UMKM termasuk dalam sasaran pembangunan dimensi pemerataan antarkelompok pendapatan.
Sebagai gambaran saja, pada 2016 ini, pelaku UMKM di Indonesia diperkirakan mengalami perkembangan. Selama ini UMKM telah memberikan kontribusi pada PBD 58,92 persen dan penyerapan tenaga kerja mencapai 97,30 persen. Jadi tidak salah kirannya kita menilai bila UMKM memiliki daya tahan tinggi dan mampu untuk menopang perekonomian Negara.
Nah, kalau kita ditarik pada perkembangan UMKM di Provinsi Sumatera Barat, kebijakan pemerintah pusat diaplikasikan. Bahkah Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno dalam sebuah catatanya mengatakan, untuk mengatasi kemiskinan, investasi di Sumatera Barat lebih diarahkan kepada UMKM.
Ia berpendapat, di Sumatera Barat tidak cocok mendirikan perusahaan besar yang padat karya (dengan upah UMR) seperti yang dikembangkan di pulau Jawa.
Penilaian Gubernur Sumbar yang mendapatkan penghargaan Satyalencana Pembangunan Bidang Koperasi dan UMKM dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2012 itu, berdasarkan karakternya, masyarakat Sumatera Barat lebih menyukai menjadi pengusaha (meskipun kecil) dibanding jadi buruh.
Kemudian, langkah lain yang disiapkan Pemprov Sumbar bagi UMKM itu, antaranya, penerbitan peraturan daerah dan keputusan gubernur dalam pembentukan lembaga yang mengurus koperasi dan UMKM.
Komitmen di atas berpengaruh terhadap peningkatan kinerja Koperasi dan UMKM di Sumbar. Pada tahun 2012, dapat dilihat dengan meningkatnya persentase modal sendiri sebesar 18,75 persen dan modal luar 26,87 persen. Meningkatkan persentase volume usaha/omzet sebesar sebesar 29,65 persen dan Sisa Hasil Usaha sebesar 65,80 persen, meningkatnya persentase jumlah koperasi yang melaksanakan RAT sebesar 12,40 persen.
Tidak hanya itu, aparatur pemerintahan dan pihak terkait untuk pengembangan koperasi dan UMKM juga digenjot kualitas dan Sumber Daya Manusianya, sehingga meningkatnya SDM sebesar 23,53 persen melalui penyelenggaraan diklat bagi aparatur Pembina, Pengurus, Pengawas Dan Pengelola Koperasi serta pelaku usaha mikro. Jika sektor Koperasi dan UMKM terus berkembang.
Sepatutnya kita berharap atas komitmen dapat mewujudkan ekonomi masyarakat Sumbar yang tangguh, produktif berbasis kerakyatan, berdaya saing regional dan global, bisa semakin memperkuat Koperasi dan UMKM sebagai jantung ekonomi rakyat lalu dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumbar. (***)