Makna Qurban dalam Kehidupan Bernegara
Artikel Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 27 Oktober 2015 16:37:31 WIB
Adakah di antara kita yang tidak mencintai anak kandung sendiri? Adakah di antara kita yang rela menyembelih anak kandung sendiri, anak yang cuma semata wayang, sangat kita sayangi dan kita dambakan setelah puluhan tahun menunggu kehadirannya? Tentu saja tidak, tidak ada manusia normal yang tidak mencintai anaknya. Juga tidak masuk akal jika ada manusia yang tega menyembelih anaknya sendiri.
Tentu hal yang sama juga dirasakan oleh Nabi Ibrahim AS. Telah berpuluh tahun lamanya Nabi Ibrahim AS mendambakan seorang anak, namun meski telah melewati usia 80 tahun, anak yang beliau dambakan tersebut tak juga kunjung diperoleh. Tak henti-hentinya beliau berdoa agar dikaruniai seorang anak.
Baru di saat usia beliau menginjak 82 tahun, harapan untuk memiliki anak tersebut mulai terkabul. Atas izin Allah, disaat berusia lanjut tersebut istri beliau bernama Hajar hamil. Mereka lalu dikaruniai seorang bayi laki-laki yang sehat yang kemudian diberi nama Ismail. Bukan main senangnya hati Nabi Ibrahim saat itu, hatinya berbunga-bunga menimang anak yang lama didambakan dan cuma satu-satunya.
Namun kebahagian itu ternyata tak berlangsung lama. Disaat Ismail masih menyusu, Nabi Ibrahim AS mendapat perintah dari Allah. Nabi Ibrahim AS diperintahkan berpisah dengan istri dan putra tercintanya Ismail. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim AS membawa Hajar dan Ismail ke suatu tempat yang jauh, yang Nabi Ibrahim AS sendiri tidak mengenal tempat itu. Lalu dari Palestina dengan mengendarai onta, Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail ke arah yang dia sendiri tidak tahu tujuannya. Namun ia yakin dengan perintah Allah dan percaya Allah akan membimbingnya.
Setelah selama berminggu-minggu berjalan sampailah Nabi Ibrahim di sebuah daerah yang bernama Mekah. Saat itu daerah tersebut tidak berpenghuni. Dimana-mana hanya terlihat gurun pasir dan gunung-gunung batu, tak ada tanaman untuk dimakan juga tak ada air untuk diminum. Nampaknya di sinilah Hajar dan Ismail diperintahkan untuk ditinggalkan.
Nabi Ibrahim tentu saja sangat sedih berpisah dengan istri dan putra satu-satunya. Namun beliau berkata kepada Hajar: ”Bertawakallah kepada Allah yang telah menentukan kehendak-Nya, percayalah kepada kekuasaan-Nya dan rahmat-Nya. Dialah yang memerintahkan aku membawa kamu ke sini dan Dialah yang akan melindungi kamu dan menyertai kamu di tempat yang sunyi ini. Sungguh kalau bukan perintah dan wahyu-Nya, tidak sekalipun aku tega meninggalkan kamu di sini seorang diri bersama puteraku yang sangat aku cintai. Percayalah wahai Hajar bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak akan menelantarkan kamu berdua tanpa perlindungan-Nya. Rahmat dan barakah-Nya akan tetap turun di atas kamu untuk selamanya. Insya-Allah”
Setelah ditinggal Nabi Ibrahim AS, keadaan Hajar dan Ismail sangat mengenaskan. Karena hanya membawa bekal seadanya, segera saja Hajar dilanda kelaparan dan dahaga di gurun tandus tersebut. Akibat kelaparan, air susunya juga tak lagi menetes untuk menyusui Ismail. Ismail menangis terus-menerus menyayat hati. Kelaparan, kecemasan ditambah tangisan Ismail karena tak ada lagi air susu yang akan ia minum, membuat Hajar menjadi panik. Ia berlarian kesana-kemari untuk mencari sesuap makanan atau seteguk air pengobat lapar dan dahaga atau mencari seseorang yang bisa menolong mereka.
Lalu Hajar berlari ke bukit Safa, ia berharap bisa mendapatkan sesuatu atau bertemu seseorang yang bisa menolongnya, namun hanya batu dan pasir yang ditemuinya di sana. Dari Bukit Safa itu ia melihat bayangan air yang mengalir di atas Bukit Marwah, kemudian ia berlari lagi ke bukit Marwah, namun setelah sampai di sana yang dikiranya air, ternyata hanya bayangan fatamorgana belaka.
Diriwayatkan dalam keadaan yang tidak berdaya dan hampir putus asa, setelah 7 kali bolak balik antara Safa dan Marwah, datanglah malaikat jibril dan bertanya: “Siapakah sebenarnya engkau ini?” Kemudian Hajar menjawab : “Aku adalah hamba sahaya Ibrahim”. Jibril bertanya lagi : ”Kepada siapa engkau dititipkan di sini?”, hajar menjawab : “Hanya kepada Allah.”
Lalu malaikat jibril berkata lagi : “Jika demikian, maka engkau telah dititipkan kepada Dzat yang Maha pemurah dan Maha Pengasih, yang akan melindungimu, mencukupkan keperluan hidupmu dan tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan ayah puteramu kepada-Nya”
Lalu Hajar diajak ke suatu tempat dimana malaikat jibril menginjakkan telapak kakinya kuat-kuat di atas tanah. Atas izin Allah keluarlah dari bekas telapak kaki itu air yang begitu jernih. Mata air itu kemudian dinamakan Mata Air Zam-zam. Hajar lalu meminumkan air tersebut kepada Ismail yang sudah kehausan dan kelaparan dan untuk dia sendiri.
Keberadaan air Zam-zam tersebut pada awalnya mengundang kedatangan burung-burung untuk ikut minum di sana. Burung-burung ini kemudian menarik perhatian sekelompok bangsa arab dari suku Juhrum yang merantau dan sedang berkemah di sekitar Mekah. Mereka mengetahui dari pengalaman bahwa dimana ada terlihat banyak burung di udara, maka biasanya di bawahnya terdapat sumber air. Mereka lalu mengutus beberapa orang untuk memeriksa kebenaran teori tersebut.
Para utusan itu kemudian mendatangi tempat dimana Hajar berada, lalu mereka kembali kepada kaumnya dengan membawa kabar gembira mengenai adanya mata air Zam-zam dan juga keadaan Hajar bersama puteranya. Sejak itu, segeralah sekelompok suku Juhtum memindahkan perkemahannya ke tempat sekitar air Zam-zam. Lembah yang dulu kering kerontang lalu berubah subur, dan makin banyak masyarakat yang bermukim sekitar tempat itu.
Tempat tersebut kemudian menjelma menjadi sebuah kota yang bernama Mekah dan kini telah menjadi kota modern yang setiap tahun dikunjungi oleh jutaan jemaah haji dari segala penjuru dunia. Sedangkan air Zam-zam tetap mengalir dan tak pernah kering selama ribuan tahun hingga kini meski ratusan juta orang telah memanfaatkannya.
Setelah peristiwa Zam-zam, keimanan Nabi Ibrahim AS kembali diuji. Ketika Nabi Ismail AS mencapai usia remaja, Nabi ibrahim AS mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih puteranya tersebut. Lama Nabi termenung menafsirkan mimpi itu, namun mimpi itu kembali berulang sampai tiga kali. Sungguh amat berat ujian kali ini yang harus dihadapinya. Namun sesuai dengan firman Allah: “Allah lebih mengetahui dimana dan kepada siapa Dia mengamanatkan risalah-Nya”. Lalu Nabi Ibrahim AS menuju ke Mekah untuk menemui dan menyampaikan hal tersebut kepada putranya Ismail.
Seperti firman Allah dalam QS 2: 124, Dan (ingatlah, ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ”Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: ”(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.
Tanpa ragu-ragu dan berfikir panjang Nabi Ismail pun menjawab perkataaan ayahnya : “Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Kemudian dipeluknya Nabi Ismail AS dan dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim seraya berkata : “Bahagialah aku mempunyai seorang putra yang taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua yang ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah” (QS. ash-Shaffat: 102)
Saat penyembelihan yang mengerikan telah tiba, diikatlah kedua tangan dan kaki Nabi Ismail AS, dibaringkanlah ia di atas lantai, lalu diambillah parang tajam yang sudah dipersiapkan. Awalnya terjadi perang bathin di hati beliau, antara perasaan seorang ayah di satu pihak dan kewajiban seorang rasul di pihak lain. Namun akhirnya dengan memejamkan matanya, parang diletakkan di leher Nabi Ismail AS dan penyembelihan pun dilakukan.
Akan tetapi, parang tajam itu ternyata menjadi tumpul di leher Nabi Ismail AS. “Wahai ayahku, rupa-rupanya engkau tidak sampai hati memotong leherku karena melihat wajahku, cobalah telangkupkan aku dan laksanakanlah tugasmu tanpa melihat wajahku”. Penyemblihan kembalikan dilakukan dengan menggorok leher Ismail dari belakang. Akan tetapi parang itu tetap tidak berdaya walau Ismail telah ditelungkupkan dan lehernya dipotong dari belakang.
Dalam keadaan bingung dan sedih, datanglah wahyu Allah : “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpimu itu, sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan qibas”.
Kemudian sebagai ganti nyawa Ismail, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim AS menyembelih seekor domba yang telah tersedia di sampingnya. Inilah Asal permulaan sunnah berqurban yang dilakukan oleh umat Islam pada setiap hari raya Idul Adha di seluruh dunia hingga saat ini. Nabi Ismail AS lahir tahun 1911 SM dan meninggal pada tahun 1779 SM. Beliau diangkat menjadi Nabi tahun 1850 SM.
Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah melaksanakan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Qs 37: 104-106)
Dari kisah di atas bisa kita lihat betapa sebuah ujian, sebuah perjuangan, sebuah pengorbanan yang dilakukan dengan ikhlas selalu berujung dengan sesuatu yang indah, manis bahkan luar biasa. Mungkin Hajar tidak pernah membayangkan kota Mekah yang dulu tandus, tak berpenghuni, dimana ia dulu berjuang berurai air mata demi seteguk air. Namun berkat pengorbanan Nabi Ibrahim AS, Hajar dan Nabi Ismail AS, kini Mekah telah berkembang pesat menjadi kota modern dan kota yang mampu menyatukan umat muslim dari seluruh penjuru dunia.
Dalam rangka merayakan Idul Adha tahun 1436 H tahun ini mari kita kembali mengenang kisah teladan perjalanan hidup dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, Nabi Ismail AS dan Hajar. Jika kita simak kisah di atas jelas terlihat bahwa hewan ternak yang diqurbankan hanyalah sebuah simbol. Yang lebih dalam maknanya adalah ketakwaan, keikhlasan manusia mengorbankan/memberikan sesuatu yang dicintainya, yang terbaik, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Qurban berasal dari kata qurbah yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah Qurban juga merupakan wujud syukur kita atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT (nikmat sehat, nikmat selamat, nikmat materi… dan beribu nikmat lainnya)
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara praktek berkorban juga sangat penting dan sangat dibutuhkan. Jika kita buka lagi sejarah kemerdekaan Indonesia, betapa besar pengorbanan para pejuang kita terdahulu demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Harta, benda, bahkan jiwa dan raga, mereka relakan, mereka ikhlaskan, mereka korbankan demi masa depan Bangsa dan Negara Indonesia yang lebih baik.
Berkorban untuk kemerdekaan dengan berqurban saat Idul Adha wujudnya memang berbeda. Namun jika dilakukan dengan niat ikhlas, hakikatnya relatif sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan ridho Allah SWT. Semoga pengorbanan dan keikhlasan pahlawan kemerdekaan tersebut diterima sebagai amal ibadah yang istimewa di sisi Allah dan tentunya jika mereka meninggal dunia dalam perjuangan tersebut mereka syahid di sisi Allah. Amin.
Dalam kehidupan bernegara, konteks pengorbanan tak hanya berhenti sampai di situ. Untuk mengisi kemerdekaan, untuk mencapai kemajuan, untuk menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya, dibutuhkan lebih banyak lagi pengorbanan. Untuk menggenjot kemajuan di Amerika Serikat Presiden John F Kennedy memberikan petuah “Jangan tanyakan apa yang kamu dapat dari negara, tapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan kepada negara.” Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
Dalam keadaan ekonomi dan situasi yang sedang labil seperti saat ini pengorbanan sangat dibutuhkan. Pengorbanan tersebut bisa dimulai dari hal-hal yang kelihatannya sederhana saja, tapi jika dilakukan secara massal dan terus menerus bisa berdampak luar biasa. Misalnya jika jam kerja pegawai resmi adalah jam 08.00 sampai 16.00, lalu dilebihkan secara sukarela dan ikhlas menjadi jam 07.00 sampai jam 17.00, atau bahkan lebih baik lagi jika Sabtu-Minggu juga digunakan untuk kerja. Yang sering terjadi malah sebaliknya, yaitu dikurangi jumlah jam dan harinya.
Atau seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jepang, China dan Eropa. Untuk mengurangi pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menguras devisa negara, mereka beralih menggunakan sepeda dari sebelumnya menggunakan mobil. Dari segi kebersihan, rela mengorban sedikit waktu untuk bergotong royong membersihkan lingkungan dan fasilitas umum, juga merupakan sebuah pengorbanan yang sangat besar artinya dan bernilai ibadah jika dilakukan secara ikhlas karena Allah. Ada banyak bentuk pengorbanan lainnya yang bisa kita lakukan.
Mari kita jadikan Idul Adha kali ini sebagai momentum untuk berqurban dan berkorban dalam bentuk apapun wujudnya. Jika dilakukan secara ikhlas dan dalam rangka bertaqwa kepada Allah SWT, insya Allah kita akan mencapai bahagia yang paripurna, bahagia dan sukses, dunia dan akhirat, bangsa dan negara juga menjadi aman, damai dan makmur. Amin.