POTENSI PESISIR SELATAN: MENJUAL “BARUAK MAMANJEK KARAMBIE”…....

artikel 2 () 31 Agustus 2015 14:45:48 WIB


Saya mendapatkan pelajaran berharga ketika tanpa sengaja “dikritik” oleh salah seorang pelaku industri pariwisata Kota Padang yang menginformasikan bahwa dia akan mengorganise “grup fam-trip” dari India yang akan mengunjungi Sumatera Barat bulan depan. Kritikannya bermula saat kita mendiskusikan substansi, agenda dan rute perjalanan, saya menawarkan untuk membawa grup tersebut ke kampung saya Pesisir Selatan, sebuah Kabupaten di bagian selatan Sumatera Barat yang masih belajar merangkak dalam konteks mengembangkan potensi kepariwisataannya. Kalimat kritik tersebut kira-kira seperti ini, “Pak, saya sulit membawa grup ke Painan (Ibukota Kabupaten Pesisir Selatan), pertama karena perjalanan ke sana berliku-liku sehingga kurang nyaman bagi wisatawan mancanegara (yang terbiasa dengan highway lurus dan lebar di negaranya), kedua karena tidak ada rest-area yang representatif di tengah perjalanan untuk sekedar beristirahat dan buang air kecil setelah sempoyongan di jalan, ketiga karena banyak spot pemandangan alam di tengah perjalanan yang tidak dapat dinikmati karena tidak adanya parking-space bagi bus pariwisata yang berukuran besar, dan terkahir karena objek-objek unggulannya seperti Pantai Carocok dan Jembatan Akar tidak terlalu spesial dibandingkan jenis objek yang sama di daerah/ Negara lain”.

 

Jujur, saya antusias untuk membahas kritikan tersebut dan mencoba menggali apa yang ada di fikiran seorang pelaku industri pariwisata tentang kelemahan kampung halaman saya sendiri. Saya menjadi yakin akan kebenarannya ketika dia mengungkapkan bahwa dia pernah diundang Bupati Pesisir Selatan dalam suatu forum kepariwisataan daerah, dan sudah mengungkapkan masukkannya tanpa basa-basi, akan tetapi tidak direspon sampai sekarang. Kelemahan pertama yang dia utarakan adalah banyak titik-titik dengan nuansa pemandangan memukau mulai saat keluar Kota Padang dengan view Pelabuhan Teluk Bayur, nuansa pantai putih di Bungus, nuansa pergunungan, lembah dan air terjun di perbatasan Kota Padang – Pesisir Selatan dan nuansa pedesaan dan hamparan daerah pertanian, tidak dapat dinikmati hanya karena tidak ada parking-space bus pariwisata untuk berhenti menurunkan grup wisata sekedar menikmati view dan mengabadikannya dengan kamera/ video. Dia memperbandingkan dengan beberapa destinasi di Negara tetangga, saat otoritas daerahnya mengetahui dengan pasti titik-titik terindah pada suatu rute jalan antar Kota, kemudian dengan sigap membuat rest-area skala kecil sekedar untuk tempat parkir, pelataran untuk menikmati/ mengabadikan suasana, toilet yang representatif, dan art-shop yang kesemuanya dibayar (parkir, entry charge dan toilet) sehingga pememberikan masukkan pada pengelolanya.

 

Kelemahan kedua yang diutarakan adalah saat objek-objek unggulan, katakanlah seperti Jembatan Akar (katanya hanya kalah dari jenis sama di Afrika Selatan) tidak diatur penataan kawasannya sehingga objek jembatan itu sendiri menjadi kurang megah karena terhalang oleh berbagai bangunan; rumah, kedai minum, pos kamling, yang menutupi jembatan kalau dilihat sebagai suatu frame yang utuh. Menurut dia, dari kebiasaan wiasatawan khususnya dari mancanegara, tidak akan langsung mau mencoba melintasi jembatan tersebut sebelum menikmati semaksimalnya dari titik pandang tertentu sehingga dapat melihat profil jembatan sepenuhnya. Dari pengalamannya membawa grup ke berbagai destinasi di Negara lain, objek wisata yang sesungguhnya tersebut akan dapat dinikmati dari berbagai titik (tergantung jarak, arah dan focus) sehingga wisatawan dapat memilih dari posisi yang mana dia akan menikmati objek tersebut. Katakan objek jembatan akar tadi, dapat dilihat dari pelataran yang berjarak 100 meter dari kedua sisi jembatan, dari pelataran di bawah jembatan dan dari suatu titik ketinggian tertentu yang dapat melihat keseluruhan lansekap panorama pedesaan di sekitar jembatan akar tersebut. Pelataran tadi sama seperti konsep rest-area diatas, juga menjadi tempat menikmati panorama, mengabadikan gambar, toilet/ wash-room dan art-shop tempat wisatawan membeli oleh-oleh lokal yang ada.

 

Kelemahan ketiga adalah saat tak satupun pemikiran untuk membuat suatu deskripsi legenda yang dikembangkan dari fakta/ realita yang ada atau dari pengetahuan umum yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat diceritakan baik oleh tour-guide dan diperkuat oleh masyarakat disekitarnya yang untuk meningkatkan rasa keingintahuan wisatawan sehingga tertarik dan ingin mencoba semua yang ditawarkan di lokasi objek tersebut. Dia mencontohkan ilustrasi menjual atraksi baruak (sejenis kera) memetik kelapa muda di objek wisata pantai langsung dari pohonnya, dan kelapa muda itu dapat dijual ke wisatawan dengan harga berkali lipat. Skenario yang ingin ditawarkan adalah dengan menceritakan suatu legenda bahwa kelapa muda yang dipilih oleh kera dapat meningkatkan stamina dan menjaga kesehatan yang meminumnya. Rasionalitasnya adalah sang kera tentu saja dengan nalurinya memang bisa memilih kelapa terbaik, yang banyak airnya dan air kelapa pada sisi lain memang mengandung nutrisi tertentu yang dibutuhkan tubuh. Paket yang ditawarkan adalah lelang 3 buah kelapa yang dipetik sang kera (diceritakan lagi bahwa memang sang kera karena kebiasaan alaminya hanya akan mengambil 3 kelapa terbaik) secara berurutan dengan harga tertinggi pada kelapa pertama dan terendah pada kelapa ketiga. Kelapa tersebut langsung dikupaskan dan, jreeeng, langsung diminum dari batoknya sehingga sang wisatawan akan puas dan selalu teringat kejadian bahwa suatu ketika di suatu tempat dia pernah meminum air kelapa termahal di dunia yang membuat dia merasa segar, fit dan kembali ber-energi untuk melanjutkan perjalanannya. Saya terperangah mengakui bahwa ternyata saya memang belum bisa berfikir seperti itu, dan masih harus lebih banyak mendengarkan jika ingin berbuat sesuatu untuk pengembangan kepariwisataan di kampung saya……..

 

Oleh : H.Novrial (Mangkuto)