POTENSI PARIWISATA MANINJAU; BERTANDING ATAU BERSANDING…....

artikel 2 () 31 Agustus 2015 14:41:33 WIB


Dua anak muda yang baru lulus SLTP sangat bahagia dan saling mengemukakan rencananya paska pengumuman hasil ujian akhirnya di suatu dermaga kecil di pinggiran Danau Maninjau, yang satu mengatakan bahwa dia akan melanjutkan SLTA nya di Bandung karena ingin masuk ITB Bandung supaya seperti Habibie, sedangkan yang lain mengatakan akan memasuki SLTA di Jakarta karena ingin masuk IKJ karena ingin jadi penulis dan seniman. Setelah saling membanggakan cita-cita masing-masing, keduanya bergegas membuka pakaiannya dan, byurrrrr, langsung menceburkan diri ke Danau Maninjau yang airnya sebening kaca yang kemilau ditimpa nuansa mentari sore yang pulang ke peraduannya. Adegan diatas adalah cuplikan dari Film “Negeri Lima Menara” yang lokasi shootingnya sebahagian diambil di sekitar Danau Maninjau yang permai ditambah dengan keelokan lahan sawah berjenjang dengan latar belakang danau dari beberapa titik di Kelok Ampek Puluah Ampek yang termasyhur.

 

Sampai pada tahun 1990-an, kondisi kepariwisataan Maninjau mencapai puncaknya dengan potret visual tumbuh berkembangnya Hotel Berbintang dan puluhan Hotel Melati serta sejumlah Home-Stay untuk menampung lonjakan arus wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara, yang sengaja “turun” dari Bukittinggi khusus untuk menikmati keelokan alam, mulai dari Puncak Lawang, Kelok Ampek Puluah Ampek, jalan lingkar danau dan kesegaran air danau yang tidak ada duanya saat itu. Restoran dan café bernuansa “internasional” tumbuh di sekitar danau, art-shop dan kreasi seniman berkembang, paket trekking dari Puncak Lawang turun ke Maninjau dan variasi-variasi jalur lain bermunculan dan disepanjang jalan lingkar adalah hal yang biasa kita melihat bule-bule bersepeda mengeluarkan keringat sambil menikmati keindahan alam, disamping berbagai aktifitas olah-raga air seperti kano, selancar dan lain-lain yang tersedia oleh beberapa usaha masyarakat/ perusahaan saat itu. Saat itu bangunan-bangunan tradisional sengaja dipelihara, baik untuk ditinggali, di jadikan home-stay maupun usaha kepariwisataan lain karena memang menjadi request khususnya bagi Wisatawan Mancanegara yang memang mencari ikon-ikon natural yang tidak terdapat di negaranya.

 

Kalau kita melihat kondisi Maninjau sekurangnya 5 tahun terakhir, wajah dan penampilan visualnya drastis berubah, tiba-tiba kemajuan terasa sangat pesat dari sisi pembangunan fisik, rumah rumah dari kayu menjadi permanen, mesjid menjadi megah pasar nagari terlihat mencolok, jalan lingkar aspal beton, truk-truk wara-wiri bermuatan penuh sehingga wajah Maninjau berubah menjadi daerah yang terlihat sibuk. Perubahan visual tersebut sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan sekiranya ada kronologis ilustrasi dari kondisi 1990-an tadi ke kondisi kekinian, namun faktanya adalah ternyata motor penggerak Maninjau sekarang beralih dari usaha Pariwisata menjadi usaha perikanan darat dengan sistim keramba jaring apung. Peningkatan taraf hidup masyarakat dari usaha perikanan ini benar-benar dirasakan masyarakat, baik yang berfungsi sebagai pemilik/ pembudidaya, pekerja keramba, pemasok pakan, buruh angkat/ angkut, pengusaha tarnsportasi, perantara perdagangan sampai kepada usaha-usaha informal lainnya di sentra-sentra perikanan selingkar Danau Maninjau, yang secara fisik nyata terlihat dari perubahan wajah fisik lingkungan sekitar Danau Maninjau.

 

Tiga potret diatas sebenarnya adalah sebuah siklus pembangunan suatu daerah, tidak ada yang aneh, kecuali perobahan arah sektor utama pembangunan daerah yang sangat berbeda, tidak ada titik singgung dan cenderung saling meng-eliminir satu dengan yang lainnya. Dengan potret kekinian, maka kejayaan hotel/ wisma/ homestay, restoran/ café, operator trekking, biking dan canoeing terhempas tak berdaya, kecuali beberapa rumah makan spesifik yang tetap ada karena memang mobilitas orang dengan profesi dan tujuan lain tetap ada dan tetap butuh asupan konsumsi di daerah tersebut. Saat ini lalu-lalang bule menaiki sepeda atau berenang/ ber-kano di danau tinggal menjadi sejarah dan hanya menjadi cerita sore angkatan umur 50 tahun di kedai-kedai kopi. Perobahan alami itu sebenarnya tidak menjadi masalah, sekiranya tidak menjadi cetusan perasaan bagi beberapa pemikir, seperti Bupati Agam saat ini, Indra Chatri yang berlatar belakang planolog (pada suatu diskusi ringan di Nuansa Maninjau Resort pertengahan tahun 2011 lalu), yang pernah termangu memikirkan; “sektor mana yang sebenarnya memberikan multiplier effect real bagi masyarakatnya antara pariwisata dan perikanan?” dan “kenapa keduanya saling mengeliminir bukannya saling mendukung?”

 

Saat itu dan sampai sekarangpun saya tidak berusaha mencari jawaban yang pasti karena saya tidak mempunyai kompetensi yang cukup pada kedua bidang tersebut, namun saya memberanikan diri untuk berimajinasi bahwa persandingan antara kedua bidang tersebut sebetulnya tidak harus bertanding sampai saling mematikan, namun bisa saja digeser menjadi transformasi pariwisata alam/ atraksi danau menjadi wisata kuliner berbasis ikan atau fishery-tourism yang akan memberikan ruang bagi kedua bidang untuk saling berkembang tanpa harus kehilangan salah satunya. Detail imajinasi saya lebih lanjut adalah saya akan makan ikan bakar/ ikan gulai/ ikan panggang segar ke Maninjau karena saya harus bersampan sendiri dari pantai ke keramba untuk menangkap dan memilih ikan segarnya, istri saya akan membakar dengan caranya sendiri dan kami dengan lahapnya akan duduk baselo di tepi pantai dibawah semilir angin diantara pohon kelapa, sementara anak-anak saya sibuk ikut memberi makan ikan sambil bertanya dengan riuhnya kepada petugas keramba tentang berbagai hal tentang ikan dan usaha perikanan. Saya yakin ide ini hanyalah percikan fikiran nakal dan dangkal seorang pemimpi, namun yang pasti para cendekia pasti bisa merumuskan dengan lebih bijak pertanyaan saya, “kalau bisa dipersandingkan kenapa harus dipertandingkan?”