MASA DEPAN KEPARIWISATAAN BUKITTINGGI; SUATU SKENARIO DENGAN KEHATI-HATIAN..
artikel 2 () 31 Agustus 2015 14:36:23 WIB
Kepariwisataan Sumatera Barat sangat identik dengan Bukittinggi, suatu kota mungil yang berjarak sekitar 91 km dari Padang sebagai Ibukota Provinsi, 70 km dari Bandara Internasional Minangkabau dengan luas area sekitar 25 km2 pada dataran tinggi dengan posisi sekitar 800 meter diatas permukaan laut. Posisi geografis sedemikian memberikan nuansa pergunungan yang sejuk dan visualisasi alam yang tiada duanya karena Kota ini seolah diapit oleh dua raksasa gunung berapi aktif, Merapi dan Singgalang. Bukittinggi adalah tipikal Kota Megapolitan skala mini, saat populasi warga yang tinggal di Bukittinggi kurang dari separo dari jumlah jiwa yang berinteraksi di Bukittinggi karena migrasi penduduk dari wilayah sekitar sangat besar di siang hari untuk sector perdagangan dan jasa, pariwisata, pendidikan dan lain sebagainya.
Sebagai ikon pariwisata Sumatera Barat, anugerah terbesar Bukittinggi adalah mempunyai objek wisata unggulan semuanya terletak benar-benar didalam Kota dan dapat dinikmati dengan mudah dan murah karena kemungilan Kota ini. “Jam Gadang” sebagai landmark Kota hanya berjarak beberapa puluh meter dari “Pasar Ateh” sebagai pusat perdagangan yang sangat diminati wisatawan khususnya untuk produk-produk kerajinan tradisonal (sulaman, pakaian tradisional, cendera mata) dan “Los Lambuang” tempat beragam jenis kuliner tradisional (Nasi Kapau, Ampiang Dadiah, Karupuak Sanjai, dan jajanan lainnya) yang dapat membangkitkan selera pendatang ke Bukittinggi. Beberpa puluh meter dari Pasar Ateh terdapat “Taman Kinantan” yang terdiri dari “Kebun Binatang” dan “Museum Kota”, yang terhubung dengan “Jembatan Limpapeh” ke “Benteng Fort de Cock” sebagai objek wisata sejarah sebagai benteng pertahanan colonial disaat penjajahan dulu. Turun beberapa ratus meter ke bawah akan ditemui “Taman Panorama” tempat terindah untuk menikmati panorama “Ngarai Sianok” yang sudah melegenda sekaligus sebagai entry-gate “Lubang Japang” sebagai situs hidup terowongan pertahanan dan penjara colonial Jepang yang dibangus dengan sistim kerja paksa (romusha) masyarakat sekitar Bukittinggi.
Kondisi sedemikian masih ditambah dengan sejarah heroisme Bukittinggi sebagai Ibukota Republik Indonesia dalam suatu periode masa transisi kemerdekaan, dan tidak hanya sebagai Ikon Pariwisata, Bukittinggi juga beruntung dapat berkembang dengan pola “multiple track development strategies”, pertama sebagai pusat distribusi perdagangan dan jasa yang secara perlahan mengambil alih fungsi Ibukota Padang, sebagai pusat pendidikan menengah yang terpercaya serta sebagai pusat keperawatan kesehatan dengan keberadaan Rumah Sakit Ahmad Muchtar dan Rumah Sakit Stroke Skala Nasional di Kota Bukittinggi.
Dengan gambaran potensi sedemikian luar biasa, masa depan Bukittinggi saat ini dibayangi oleh kekhawatiran kemampuan daya dukung (carrying capacity) kota untuk mengakomodasi beberapa fungsi sekaligus di dalam suatu area terbatas 25 m2, panjang jalan yang relatif tidak bertambah yang tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kendaraan bermotor milik warga dan pengunjung Kota. Daya dukung tersebut kemungkinan akan di perparah karena peningkatan mobilisasi dan interaksi antar Kota yang menimbulkan permasalahan transportasi, sampah, air bersih, drainase dan sanitasi serta perkembangan lingkungan regional sekitar Bukittinggi yang luar biasa sehingga mengakibatkan meningkatkan waktu tempuh ke Bukittinggi dari jurusan manapun karena kemacetan yang luar biasa pada beberapa “bottle-neck”. Ada keluhan luar biasa terutama pada hari-hari libur bagi wisatawan yang mengunjungi Bukittinggi karena fakta dan kondisi sedemikian, ditingkahi keluhan yang tidak kalah mengkhawatirkan dari warga Kota karena kenyamanan mereka yang terganggu karena lalu lintas, parkir dan terhambatnya aktifitas ekonomi dan sosial mereka karena tingginya tingkat kunjungan. Dalam konsep pengembangan perkotaan, Bukittinggi berpotensi menjadi “Abandon City” yang ditinggalkan warganya karena kenyamanannya terganggu.
Masa depan kepariwisataan Bukittinggi sangat tergantung pada arah pengembangan Kota ke depan dan sejauh mana Kota dapat meminimalisir “snow-ball effect” yang dapat mengganggu imej tersebut yang pasti akan semakin besar dimasa mendatang. Suatu konsep yang dapat dipahami mungkin adalah “Pleasant City” yang mempunyai tujuan untuk membuat Bukittinggi nyaman untuk dikunjungi (wisatawan) sekaligus nyaman untuk didiami (warga Kota). Beberapa pendekatan spasial yang mungkin dapat diinisiasi adalah pemisahan lokasi geografis daerah perdagangan, lokasi wisata dan pusat admisnistratif, kerjasama antar kota terkait pemukiman dan fasilitas umum perkotaan serta revitalisasi arah dan kualitas objek pariwisata Kota Bukittinggi. Bukittinggi harus berani memilih segmen/ tipologi pembangunan tertentu, yang akan sangat mempengaruhi visi, misi, strategi dan program pengembangan Kota di masa depan, apakah benar-benar akan “mengandalkan dengan sungguh-sungguh” bidang pariwisata yang didukung bidang perdagangan, pendidikan dan kesehatan, atau malah akan membiarkan semua bidang tumbuh mandiri dan bersaing dan kemudian seleksi alam akan menentukan “pemenangnya” dengan pengorbanan sumberdaya pembangunan yang luar biasa? Apakah kita sedemikian bingungnya sehingga cenderung membiarkan Bukittinggi terlena dengan mahzab “multi-tracks” strateginya tersebut. Eksistensi kepariwisataan Bukittinggi ke depan sangat mungkin akan tergantung pada pilihan para pemangku kepentingannya………