POLITISI DAN SENIMAN

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 17 Maret 2015 03:24:57 WIB


Ketika kalimat itu berbau perebutan kekuasaan, sikap yang paling bijaksana adalah mendengar tapi jangan lekas-lekas menarik kesimpulan; apalagi ikut-ikutan percaya pada isi kalimat tersebut. Politik identik dengan negara, kekuasaan dan pengamanan perasaan serta pengalihan rasa publik.  

Muara  politik adalah merebut kekuasaan untuk kekuatan atau sebaliknya; kuat untuk berkuasa. Adakalanya politik berjalan di bilik mistik dalam arti mystikos( rahasia) dan tersembunyi (verborgen) serta gelap (donker). Ketika 'politik sedang mengungkap bilik besar, sebenarnya ia sedang menyembunyikan sesuatu di bilik kecil.

Dan di depan orang banyak ia seolah-olah "mengondisikan" A atau si A, padahal ia sedang menyiapkan B atau si B dan memakai B. Ketika itulah "A" menjadi kelinci percobaan di ruang uji publik sementara B menjadi keputusan. Kalimat politik adalah kalimat teka-teki. Bila teka-teki politik dihadapkan kepada kita; maka sikap kita adalah memandang. Yakni; memandang matanya, memandang hatinya, memandang selera, lalu memandang rasa. Jangan pandang lidahnya, karena lidahnya licin dan lihai.

Ketika ada bola cogok politik, jangan cepat-cepat ditapung. Pengumpan, umpankan kembali. Bola cogok, cogokkan lagi!

Politik adalah mainan orang yang berpikir. Kencang pikiran, kuat strategi.

Terkadang ia keras, terkadang ia lunak, terkadang ia santun, terkadang ia kurang ajar, terkadang ia cerdas, terkadang ia konyol. Strategi adalah kumpulan dari terkadang-terkadang itu. Ketika ia memperlihatkan seolah-olah bodoh, saat itulah ia sedang bercerdik-cerdik.

Politisi sejati tak pernah dungu, karena strategi menciptakan nyali-nyali.  Dalam 'kekalahan politik' pun ia bisa menang.

Politisi butuh kreativitas. Bila tak kreatif, cukup sekali saja jadi....

Tapi seenak-enak menjadi penggiat politik, jauh lebih enak jadi penggiat seni.

Berseni-seni itu, ibarat hidup membujang, bagaikan dendang lama Koes plus. yakni; " Hati senang walaupun tak punya uang....!".

Berpolitik? tak bisa. Tak ada money ; sakit kepala. Money tandas, kekuasaan lepas atau gagal, ujungnya bisa gila!

Nyenyi? tak begitu. tak ada berujung gila, karena dari hulu sudah duluan 'bergila-gila!'

Apakah politik itu seni?

Ooo...pendapat saya; belum tentu!

Bagaimana dengan 'seni berpolitik?'

Pertanyaan saya, apakah seni namanya kalau akibat 'berseni politik' banyak orang terbunuh atau terlaparkan?

Tapi, haruskah seniman jadi politisi?

Tidak. Tidak harus. Mengapa? Karena tanpa berpolitik pun, praktis seniman sudah berpolitik.

Ba-a pula itu?

Ketika ia menulis, ketika ia melukis, ketika ia berdendang, sebgaian orang sedih, menangis, atau bahagia, atau memberontak-- karena menyaksikan-membaca-mendengar karyanya--saat itu ia telah murni berpolitik praktis.

Bukankah dalam salah satu doktrin politik adalah ' bagaimana mempengaruhi massa' bagaimana menyeret massa ke alam pikiran 'lain' dan bagaimana membuat massa bergerak adalah 'tuja-tuja' politik juga.

Maka niscaya, dunia akan bergetar keras ketika seniman berpolitik. Lihatlah latar belakang tokoh-tokoh besar penguasa yang tercatat dalam sejarah dunia, ternyata ia adalah 'seniman'.

Sebenarnya, nuklis mulia politik itu adalah "keindahan bersama" bukan kemenangan bersama. Tak selamanya; politik itu buruk!

Untuk itu; ayo kita berpolitik indah!

Jangan yang kudisan, apalagi yang kurapan! (Pinto Janir)