Presiden Pilihan Rakyat
Artikel Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 12 Desember 2014 03:22:28 WIB
Kita tentu sudah paham bahwa negara kita menganut sistem demokrasi. Demokrasi mengizinkan setiap warga negaranya berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Hal ini sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pasal 1 ayat 2 yang berbunyi : Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Pada pasal yang sama ayat 3 juga ditegaskan bahwa : Negara Indonesia adalah negara hukum.
Salah satu bentuk pelaksanaan amanat Undang-undang tersebut yang baru saja selesai kita laksanakan adalah Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Sesuai dengan aturan Pemilu dan amanat Undang-undang, setiap warga Negara dijamin haknya untuk menentukan pilihan, dan berbeda pendapat. Negara juga menjamin kebebasan warga Negara untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin atau menjadi wakil mereka di lembaga legislatif.
Begitu juga dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) bulan Juli lalu, semua warga Negara diberi kebebasan melaksanakan hak pilihnya. Meski masing-masing Capres berusaha keras dengan berbagai metode pendekatan, untuk meyakinkan bahwa ia adalah pilihan terbaik, tapi tidak tidak ada satu alasan pun bisa dipakai untuk memaksa atau mewajibkan seseorang untuk memilih salah satu Capres. Kebebasan memilih itu dijamin oleh undang-undang.
Nuansa tersebut seirama dengan karakter masyarakat Sumatera Barat yang terkenal sangat demokratis dan egaliter. Masyarakat Sumatera Barat sudah sejak lama mengenal sistem pemilihan langsung terhadap pemimpinnya (memilih Kepala Kampung, Wali Nagari, Pemimpin Adat dan sebagainya). Suasana panas dan perbedaan pendapat bahkan meruncing sering terjadi selama proses pemilihan. Namun pada akhirnya semua bisa diselesaikan secara baik dan damai. Basilang kayu di tungku di sinan api mangko ka iduik, begitu pepatah yang sering dipakai. Berbeda pendapat untuk mencapai kebaikan, musyawarah dan mufakat, paham itu yang selalu digenggam erat.
Begitu juga dalam Pilpres bulan Juli lalu. Pilpres diterima masyarakat Sumbar juga dalam suasana egaliter dan demokratis. Egaliter dalam arti masing-masing individu punya sikap politik dan pilihan sendiri, tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Demokratis dalam arti berbeda pendapat dalam pilihan dan sikap politik, namun menerima dan mematuhi apa yang telah menjadi keputusan bersama.
Ini bisa dibuktikan saat pelaksanaan maupun pasca Pilpres yang baru berlalu, begitu juga beberapa kali Pemilu sebelumnya. Masing-masing masyarakat punya pilihan yang berbeda, namun menerima dengan lapang dada apa yang telah menjadi keputusan bersama. Meski pilihan Capres masyarakat Sumatera Barat adalah Prabowo, namun pilihan secara nasional adalah Jokowi, masyarakat Minang bisa menerima dengan lapang dada. Tidak ada gejolak yang terjadi, meski keputusan bersama berbeda dengan pilihan mereka. Juga tidak ada demonstrasi, apalagi kerusuhan.
Lalu apakah Sumatera Barat akan diabaikan karena telah melakukan pilihan berbeda dalam Capres? Pertanyaan ini sering muncul dan menjadi wacana di masyarakat. Perbedaan dan pilihan dalam Pemilu menurut saya adalah syah dan legal. Malah hal itu merupakan amanat Undang-undang dan merupakan hak masyarakat.
Presiden Jokowi adalah tokoh nasional dan Presiden Republik Indonesia, yang sangat peduli dan berpihak kepada rakyat. Sebagai tokoh nasional dan Presiden RI tentu saja beliau berjiwa besar dan maklum tentang perbedaan pendapat dan pilihan itu. Lagi pula, hingga saat ini saya tidak melihat ada keinginan maupun gejala Presiden Jokowi untuk mendeskreditkan daerah-daerah dimana beliau kalah saat Pilpres.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, juga tidak ada istilah anak tiri dan anak kandung berdasarkan jumlah pemilih. Yang ada, daerah yang bisa melaksanakan pembangunan dengan baik, tepat waktu dan akuntabel, akan mendapat prioritas dan perhatian yang lebih besar dari pemerintah pusat.
Indonesia merupakan Negara besar, terdiri dari berbagai pulau, berbagai suku bangsa dan agama. Ada banyak perbedaan dan keanekaragaman yang bisa ditemukan dalam Negara kita. Dari dulu kita sudah paham dan memiliki banyak pengalaman bahwa keanekaragaman itu merupakan sebuah potensi dan kekayaan yang luar biasa. Namun perbedaan dan keanekaragaman itu bisa pula digunakan oleh pihak tertentu untuk menciptakan konflik dan perpecahan di Negara kita.
Karena itu mari kembali kita sadari dan kita galang bersama semua perbedaan itu menjadi kekuatan, sesuai dengan amanat Sumpah Pemuda. Jangan pernah ikut terpancing justru ikut menjadi pemecah belah di antara kita. Mari kita bahu-membahu membangun Indonesia. Kita memiliki potensi alam dan sumberdaya manusia yang sangat kaya.
Kita tentu sudah merasakan bahwa perpecahan dan konflik justru memperburuk keadaan dan memperlambat pembangunan di Negara kita. Padahal kita harus berlari cepat untuk mengejar ketinggalan dibanding Negara-negara lain di Asia Tengara, apalagi dibanding Negara-negara lain yang telah maju. Apakah kita ingin terus tertinggal? ***(Irwan Prayitno)