PHT KLOP DENGAN BUDAYA BERTANI KITA

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 22 September 2014 08:44:19 WIB


Bercocok tanam dan beternak adalah budaya kental masyarakat Minangkabau. Berpikir untuk hidup ke esok dicermin kan orang Minang dengan adanya rangkiang di halaman rumah gadang. Rangkiang tempat menyimpan padi. Itu adalah cerminan dari ketahanan pangan masyarakat Minang Mari kita singkap hubungan atau pola PHT dengan pola kebudayaan atau cara bercocok tanam orang Minangkabau. Pola tanam PHT adalah pola yang menggali kembali “ilmu” nenek moyang kita yang selama ini tersuruk dan lenyap dalam dunia pertanian kita. Ayo kita menyibaknya…..

          Bertani dan beternak bagi orang Minang adalah tabungan kesejahteraan. Prinsip kemakmuran orang Minang, ketika padi menjadi, ketika taranak berkembang, ketika jagung berbunga—bak pepatah “ bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupia, anak buah sanang santosa, bapak kayo mande batuah, mamak disambah urang pulo”. Begitulah tujuan hidup orang Minang, yakni bumi sanang padi manjadi taranak bakambang biak. Hidup yang penuh berkah, yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu "baldatun taiyibatun wa robbun gafuur". Dan tentu saja hal itu adalah cermin dari kesepakatan masyarakat Minangkabau dalam sandaran sikap “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.

Asas pemanfaatan bagi orang Minang sangat tinggi. Dalam kehidupan sosial dan budaya, orang Minang tak mengenal apa yang kita sebut dengan sampah masyarakat. Mengapa, karena bagi orang Minang, tak ada orang yang tak berguna. Orang Minang senantiasa memercayai  dan memberikan sebuah pekerjaan kepada orang yang tepat seperti yang disampaikan oleh pepatah kita : “Nan Buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, Nan lumpuah pahuni rumah, nan kuek paangkuik baban, nan jangkuang jadi panjuluak, nan randah panyaruduak, nan pandai tampek batanyo, nan cadiak bakeh baiyo, nan kayo tampek batenggang.

          Konsep the right man in the right place masak dalam kehidupan sosial orang Minang.  Pembagian kerja bagi orang Minang itu  rasional atau objektif. Semua termanfaatkan. Itu sesuai pula dengan sabda Rasulullah: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” [Hasan: Shahih Al-Jami’ no. 3289].

          Prinsip pemanfaatan manusia dan SDM bagi orang Minang itu sangat rasional dan objektif sekali. Bahkan, pemanfaatan lahan bagi orang Minang sangat selektif. Tak ada lahan yang tak berguna bagi orang Minang. Semua lahan termanfaatkan sesuai bentuk, lokasi dan jenisnya. Sesuai benar dengan pepatah : “ Nan lurah tanami bambu, nan lereang tanami tabu, nan padek kaparumahan, nan gurun buek ka parak, nan bancah dibuek sawah, nan munggu kapakuburan, nan gauang ka tabek ikan, nan padang kapaimpauan, nan lambah kubangan kabau, nan rawang payo kaparanangan itiak” .

          Semestinya juga, masyarakat Minangkabau tak mengenal apa yang disebut dengan lahan telantar atau lahan tidur. Masyarakat Minang adalah masyarakat pertanian, ketika ke rimba berbunga kayu, air tergenang dijadikan kolam ikan, tanah tanah ditanamkan benih, tanah keras dibikin ladang, sawah bertumpak di tanah yang datar, ladang berbidang di lahan yang lereng. Begitulah budaya sosial masyarakat kita di Minangkabau.

          Bahkan orang Minang sudah memiliki teknologi pertanian yang merupakan warisan dari nenek moyang kita. Mereka bertani sesuai musim. Seperti pesan pepatah:” Ka ladang di hulu tahun, ka sawah di pangka musim, hasia banyak nkarano jariah, hasia buliah karano pandai”. Pepatah itu menyisipkan dua kata inti dalam hal ihwal berladang orang Minang. Yakni, pertama kerja keras, kedua karena pengetahuan atau kepandaian berladang. Dan hal ini sesuai benar dengan konsep PHT.

          Semangat dan optimisme orang Minang itu sangat tinggi. Tak ada yang tak mungkin bagi orang Minang asal dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras. “lawik dalam buliah diajuak, bumi laweh dapek digali, bukik dapek diruntuah, asa bajariah bausaho. Lawik ditimbo lai ka kariang, gunuang di runtuah mungkin data, sadang dek samuik runtuah tabiang, apolagi dek manusia nan baraka”. Begitulah dalil rasional orang Minangkabau.

          Jauh sebelum Koes plus mendengakan tongkat ditanam jadi “buah”, orang Minang sudah lebih dulu meyakini. Bahkan tak tongkat saja yang tumbuah, melainkan artinya lebih luas, yakni “ Apo ditanam namuah tumbuah, bijo ditanam ka babuah, batang ditanam kabarisi, batanam nan bapucuak, mamaliharo nan banyao”.

          Bahkan, sebelum bertanam, orang minang memikirkan perairan atau irigasi. “ Dibuek banda baliku, tibo di bukik digali, tibo di batu dipahek, tibo di batang di kabuang”.

          Begitulah kearifan lokal orang Minangkabau dalam bertani dan bataranak itu tadi. Bila ada lahan tak termanfaatkan, wajib kita bertanya? Mengapa? Apakah karena lahan kering tak teraliri irigasi? Apakah karena kita sudah pemalas? Pinto Janir)