PEMUDA” BIJAK” DITAHUN POLITIK
Artikel () 07 Juli 2014 02:57:43 WIB
PEMUDA” BIJAK” DITAHUN POLITIK
Oleh: Adib Alfikri, SE, M.Si
Tahun 2014 merupakan Tahunnya Politik, karena di tahun ini Pemilihan Umum (Pemilu) langsung, mulai dari Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) Kota Padang, Pemilihan Legislativ ( Pilek ) dan yang lebih tinggi lagi adalah Pemilihan Presiden ( Pilpres ) di selenggarakan di Negara kita Indonesia termasuk Provinsi Sumatera Barat ( Ranah Minang ) .
Bicara Pemilu di Sumatera Barat dan Indonesia umumnya ada dua kecenderungan yang akan muncul. Pertama, adanya alih generasi. Pemilu 2014 yang telah dan sedang berlangsung merupakan ujud berakhirnya karir sebagian besar aktor politik Era awal Reformasi. Positifnya, akan banyak muncul lakon muda yang mendominasi, kursi Parlemen maupun Eksekutif. Sementara aktor-aktor lama yang sudah berkarat dipastikan akan hilang, atau sudah saatnya beliau- beliau itu ‘rehat’ dari dunia perpolitikan tanah air serta di kancah perpolitikan Sumatera Barat khususnya.
Kedua, pemantapan Demokrasi. Aplikasi Demokrasi di kancah perpolitikan Negeri akan semakin mantap di pemilu 2014 ini. Tetapi, ada kemungkinan munculnya kecenderungan negatif dalam hal ini. Penerapan Demokrasi dewasa ini masih belum didasari pemahaman paripurna tokoh di dalamnya . Penyakit Demokrasi seperti politik uang, politik dinasti, dan lain-lainnya masih akan mengemuka bila pemahaman tersebut tidak segera terwujud.
Yang salah kaprah pemahaman di masyarakat adalah, bahwa Demokrasi tersebut hanya sekedar Pemilu, yang terbatas pada aktivitas pencoblosan (pemilihan wakil) rakyat dan memasukkan kertas suara ke dalam kotak. Padahal, essensi Demokrasi tidaklah sesempit itu. Masyarakat belum mengerti benar hakikat dari Demokrasi yang semestinya harus membawa masyarakat serta Negara ke depan pintu gerbang keadilan dan kesejahteraan.
Pemilu 2014 merupakan momen strategis bagi bangsa Indonesia termasuk Provinsi Sumatera Barat untuk lebih maju. Perubahan yang ada di Indonesia selama ini memang bukanlah dari elit politiknya. Perubahan itu selalu berawal dari kalangan pemuda yang memiliki power (kekuatan) sebagai kaum intelektual. Peran kaum intelektual ini adalah menjadi pendorong terciptanya kondusivitas perpolitikan tanah air.
Dengan kata lain takdir bangsa Indonesia, adalah dimulainya perubahan bangsa dari para pemudanya, bukan dari elit politiknya. Hal ini bisa dilihat di momen kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, hingga penurunan politik Orde Baru yang dipimpin Soeharto ke Era Reformasi, yang semuanya dilakukan pemuda sebagai tokoh utamanya. Sebagai analisis dari pengulangan sejarah yang terjadi. Serta rumusan dari beberapa Tokoh, bahwa siklus perubahan di Negeri ini di yakini terjadi dalam rentang 20 tahunan.
Meski itu tidak ada bukti kongkrit dan tertulisnya, namun pandangan itu selalu tepat 20 tahun, terbukti lompatan perubahannya berkisar 20an tahun. Kita bisa lihat di momen Kebangkitan Nasional 1908, disusul Proklamasi 1945. Kemudian berlanjut pada momen 1966 yang merupakan momen penurunan Soekarno, hingga 1998 untuk jatuhnya rezim Soeharto. “dan ke depan, Tahun 2019 kita yakini akan menjadi titik puncak perubahan bangsa yang tentu diawali dari pemilu 2014 ini sebagai batu loncatannya dari Era Reformasi.
Namun lebih dari itu memaknai soal Pemilu, inti susksesnya akan tertumpang pada pemuda”Bijak”, pemuda yang mampu mengantisispasi tipe- tipe pemilih dari kalangannya. Harus diakui banyak kalangan pemilih dari pemuda itu sendiri yang enggan memikirkan kelangsungan Bangsanya kearah mana harus dibawa, maju atau mundur.
Sementara kalau dipilah pemuda sekarang perannya dalam Pemilu dapat kita kotakkan menjadi tiga kategori. Pertama, tipe pemilih ( Kepentingan Sesaat ) pada tipe ini pemuda hanya menonjolkan sifat sementara yang hanya memandang materi (uang) yang sering juga di istilahkan mereka “ Bia Talu Kini dari Pado Ayam Bisuak” ( Biar Telur Sekarang Dari Pada Ayam Besok ), dan ini kalau dihitung nilai uangnya hanya sekedar pembeli sebungkus nasi dan rokok saja.
Kedua, tipe pemilih yang menonjolkan semangat kedaerahan ( Tagak Kampuang Paga Kampuang ), pada sisi ini pemuda lebih cenderung memilih mereka yang sekampung ( sedaerah ) dengannya, atau bisa mamak, kemenakan dan kerabatnya walaupun mereka- mereka tersebut tidak memiliki kemampuan.
Ketiga, tipe pemilih Rasional ( Melihat realita dilapangan ), pada tingkat ini juga dibagi lagi berdasarkan, Analisis dan kajian yang mengedepankan isi dari Visi dan Misi mereka yang menjadi calon, Aplikatif ( Pelaksanaan rekam jejak ), dengan artian apa yang telah diperbuat para kandidat tersebut.
Sementara pada sisi lain pemuda yang dianggap Bijak itu hendaknya mampu lebih memperhatikan 3 aspek yang mendukung kesuksesan Pemilu tersebut.
Pertama, persoalan DPT (Daftar Pemilih Tetap). Pemuda agar berperan aktif untuk menutup celah terhadap kecolongan suara yang besar, dengan jalan memberikan bimbingan terhadap DPT sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk dikelabui, karena selama ini kerap terjadi manipulasi DPT yang menjurus pada keuntungan salah satu pihak.
Kedua, penggunaan uang dalam pemilu. Input dan output (sirkulasi) keuangan kandidat menjadi perhatian penting yang harus dicermati pemuda di Bawaslu, karena Bawaslu bukan hanya menjadi pelapor jumlah in dan outnya saja melainkan sebagai penindak jika memang ada keganjilan dari arus keuangan calon.
Ketiga, Pemuda harus mampu menghentikan praktek manipulasi penghitungan dan penetapan hasil suara. Sebab suara adalah amanah rakyat yang dibebankan pada KPU dalam penghitungannya. Dengan melewatkan sekian persen saja sudah menjadi kecacatan yang harus dihindari.
Karena itu sudah selayaknya Pemuda mengawal KPU maupun Bawaslu agar berfokus pada tiga hal tersebut untuk mewujudkan pemilu yang berdedikasi.
Solusinya, yang mesti menjadi prioritas pemuda untuk membenahi bangsa sekarang maupun kelak yakni ada tiga hal pula.
Pertama, tetap berperan aktif mengawal pemerintah untuk menciptakan pemerintah bersih, dengan jalan memprovokasi pemuda lain menciptakan dunia politik yang bersih, karena partai politik merupakan rahim dari para Legislative dan Eksekutif yang akan memimpin Bangsa ini.
Kedua, menciptakan masyarakat Indonesia yang mandiri. Selama ini opini yang bercokol di masyarakat cukup kuat, seperti anggapan bahwa bekerja sama (menggantungkan diri) dengan pihak asing merupakan suatu prestis tersendiri. Maka tak heran, hampir semua aspek kehidupan kita tak lepas dari hegemoni pihak asing. Kultur masyarakat yang tercipta dari hal tersebut yakni masyarakat yang bermental inlander (pengemis) akan menjauhkan sifat kemandirian untuk diwujudkan. Masyarakat kita ogah bekerja keras, padahal dengan bantuan mereka ( Pihak asing ) hasil yang dicapai sama dengan saat kita bekerja dengan tangan sendiri. Mental inlander inilah yang menjadi penghancur kehidupan berbangsa kita untuk mencapai kemandirian.
Aspek ketiga mengupayakan pembenahan Negara pada tumbuh kuatnya politik skill para Elit. Percaturan politik tanah air tidak hanya membutuhkan sosok-sosok yang bermoral lurus. Ia juga membutuhkan sosok yang kuat advokasinya, mahir kemampuan dialog dan menginternalisasi ide, tegas, dan memiliki kemampuan organisator yang baik.
Nah, ketiga hal tadi merupakan kesempatan emas bagi pemuda untuk mengambil langkah “Bijak”. Karena pada Tahun 2019, 2024 ke depan, mahasiswa ( Pemuda ) kinilah yang kelak akan memimpin Negara kita. Momentum inilah yang mesti dipersiapkan sebaik- baiknya oleh para pemuda. Pemuda semestinya menjadi gerbong pencerdasan masyarakat karena ke depan politik bukan lagi soal uang. Namun melainkan soal seberapa keras kerja nyata pemuda di tengah- tengah Masyarakat untuk terus mengobarkan semangat masyarakat tetap optimis dan yakin akan kebutuhan untuk sebuah perubahan dan perbaikan bagi rakyat Indonesia dan Sumatera Barat khususnya .
Camkanlah itu wahai Pemuda.....Jadilah Pemuda yang Bijak, karena ditanganmulah arah Negara ini terletak.
Penulis Adalah: - Ketua DPD KNPI Sumatera Barat 2010- 2014
- Ketua Umum IPSI Kota Padang 2010-2014
- Ketua Harian IPSI Sumatera Barat 2013-2017
- Sekretaris Dispora Sumatera Barat