PENDIDIKAN POLITIK DALAM KELUARGA
Artikel Zakiah(Tenaga Artikel) 28 Juni 2018 20:38:45 WIB
PENDIDIKAN POLITIK DALAM KELUARGA
Bulan Juni 2018 ini, dilakukan pesta demokrasi serentak di seluruh Indonesia.Tepatnya tanggal 27 Juni 2018 ini, di Sumatera Barat, ada 4 (empat) Kota yang melaksanakan pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada,yakni Kota Padang, Kota Pariaman, Kota Padang Panjang dan Kota Sawahlunto. Sementara di seluruh Indonesia, menurut data KPU Pilkada serentak tahun 2018 lebih besar daripada Pilkada sebelumnya. Sebanyak 171 daerah berpartisipasi pada ajang pemilihan kepala daerah ini. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada di 2018. Beberapa provinsi di antaranya adalah Sumatera Utara,Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Namun, sayangnya disetiap daerah yang melaksanakan pemilihan umum, selalu saja ada masyarakat yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) yang enggan untuk ikut mencoblos bahkan memilih untuk golput. Kenapa hal ini bisa terjadi? Tidak adakah pendidikan politik bagi masyarakat? sehingga mereka bersegera untuk ikut berkontribusi memberikan suaranya dalam pemilihan umum, baik pemilihan Presiden (Pilpres), kepala daerah (Pilkada), maupun pemilihan wakil rakyat (Pileg).
Disinilah pentingnya ada penyadaran politik di tengah masyarakat dimulai dari keluarga. Karena keluarga adalah cikal bakal masyarakat yang sadar politik. Pendidikan politik dalam keluarga harus dimulai dari pasangan suami istri, kemudian kepada anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya.
Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam pendidikan politik. Cinta, kasih sayang dan kemesraan hubungan yang diperoleh anak-anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan perilaku sosial serta politik mereka. Jika anak-anak ditumbuhkan dalam suasana cinta dan kasih sayang, akan membentuk karakter cinta, kasih dan sayang dalam jiwa dan kehidupan mereka. Sebaliknya anak-anak yang tumbuh dalam suasana kekerasan, akan mudah mentransformasikan kekerasan itu dalam perilaku sosial dan politik mereka.
Kajian yang dilakukan oleh Kenneth P. Langton dan M. Kent Jennings untuk masyarakat Barat memberikan petunjuk bahwa ketika anak kecil dihadapkan kepada pemilihan afiliasi partai politik kedua orang tuanya, ia akan cenderung kepada orientasi ibunya. Ini dianggap sebagi pengaruh ibu dalam pembinaan orientasi politik individu. Langton juga menunjukkan hasil kajian yang lain, adanya pengaruh ayah terhadap perilaku politik anak-anaknya sebagai pemain politik dalam masyarakat.
Simbol-simbol yang ada dalam keluarga juga merupakan bagian dari pendidikan politik. Simbol-simbol politik bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara saja, melainkan semua simbol budaya memiliki muatan makna politik. Bahkan sesungguhnya simbol-simbol itu sifatnya tidak langsung, tetapi terkadang lebih besar dan lebih dalam pengaruhnya dalam membentuk kesadaran politik anak-anak daripada simbol-simbol yang langsung. Dalam hal ini institusi sosial khususnya keluarga, lebih efektif dibandingkan dengan institusi-institusi politik pada umumnya.
Diantara pendidikan politik dalam keluarga , bisa dilihat dari beberapa tema berikut: konsep kepemimpinan, ketaatan dalam kebaikan, serta konsep musyawarah. Keluarga harus memiliki kepemimpinan yang jelas, dan harus bersikap adil terhadap yang dipimpinnya. Agar bisa berlaku adil dalam memimpin, sehingga kepemimpinannya layak ditaati, diperlukan prinsip syura atau musyawarah. Dalam keluarga, hendaknya selalu membina suasana musyawarah.Bagaimana suami mengajak istri mengkomunikasikan suatu permasalahan dalam keluarganya,termasuk dalam mendidik anak-anak.
"Oleh karena itulah", kata Syech Yusuf Qardhawi, "agama Islam menolak adanya paksaan seorang ayah untuk menikahkan putrinya tanpa meminta pendapatnya, walaupun putri itu masih gadis". Ini bagian dari politik dalam berkeluarga.
Melalui pendidikan politik keluarga, akan lahir jiwa-jiwa yang peduli serta empati terhadap orang lain, terhadap lingkungan dan terhadap Bangsa serta Negara yang iya cintai. Lahirlah Nasionalisme.
Jika bukan kita yang peduli, lalu siapa lagi?...tidak malukah kita menumpang di Negeri kita sendiri tanpa ada kontribusi dan kepedulian membangun Bangsa sendiri?
Wallahu a’lam bishowab...(SZ: 27062018)