SILATURAHMI DI BATANG KAYU DAN KEMENANGAN TIM SUKSES

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 25 Maret 2014 04:03:58 WIB


Ada juga tokoh yang bukan pendatang baru, ia orang lama di kursi dewan. Ia orang berpengalaman 'duduk'. Ada yang meraih kursi itu dulu dengan susah payah, ada pula yang mendapat karena "galodo politik semata". Sebagian ada yang benar-benar tokoh, sebagian ada yang menokoh-nokohkan badan. Karena ia berada di ruang dan waktu yang tepat, akhirnya ia 'mendapat' juga -dapat kursi juga akhirnya dia.

         Lima tahun duduk, ada yang lupa pada rakyatnya, ada yang benar-benar berbuat untuk rakyatnya. Yang lupa pada rakyat semasa duduk, berkecendrungan 'gamang' untuk turun ke rakyat di masa kampanye ini. Pada dasarnya, cara yang dilakukan oleh 'wakil yang pelupa' ini cukup dengan cara menemui 'tang kayu' atau pepohonan untuk menempelkan gambar-gambarnya. Di situ, rakyat akan bisa menyaksikan betapa ramainya gambar 'sang calon' di sepanjang jalan terpaku di berbagai pepohonan. Sekiranya batang kayu bisa bicara, betapa lah membenarnya tang kayu kena hantaman paku-paku penempel gambar-gambar itu. Sebagian ada juga berupaya mengklaim program yang dijalankan pemerintah sebagai program miliknya bukan milik bersama.

         Banyak cara memang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.           Yang lain begini, sebenarnya soal politik memolotik tak abas-abas benar dalam pikirannya. Politik politik apa pula yang ia pikirkan. Yang ada dalam pikirannya adalah 'ilmu dagang' atau ilmu bisnis atau ilmu 'mendapat. Artinya, dengan ia mengeluarkan modal segini, keuntungannya seberapa ? Praktis ia menghitung logis dan jelas.

         Ketika ia masuk ke dunia politik, hitungan yang dulu acap ia gunakan di dunia bisnis atau dagang, tak bersua-sua. Tak pernah bertemu ruas dengan bukunya. Dunia politik dunia perhitungan tak jelas. Matematik yang ia kuasai adalah matematik dagang atau bisnis bukan matematik politik atau matematik sosial. Ia tergagap. Tapi mau apa lagi, prinsipnya sejak dulu, bila layar sudah terkembang, berpantang surut ke belakang. Bila kaki sudah tersorong, malu menariknya kembali. Kepalang basah, mandi saja sekalian...ya begitu ia kini.

Ba- gak ati?

 

KABAR GEMBIRA DARI TIM SUKSES

 

         Kini, tentu saja sesal belum tiba, karena kenyataan masih sebatas mimpi-mimpi . Bahkan impian dan harapannya makin besar dan membengkak.

         Makin dekat masa pemilihan, mimpinya makin bagus. Sekalipun uang sudah banyak tandas, terlupakan begitu saja bila setiap tim pemenangannya datang memberikan harapan atau kemenangan palsu. Ujungnya adalah; " suara kita makin mantap, bila disiram sedikit lagi, kita yakin perolehan suara kita full di daerah itu".

         Para tim sukses yang galir selalu menghembus-hembuskan kemenangan palsu. Tiap caleg bertanya situasi terkini di lapangan, yang dihembuskan adalah kata menang. Prinsip tim sukses yang galir itu adalah, senangkan hati caleg dengan kabar palsu sekalipun, maka uang 'siram' kan menyuburi kantong. Tak sedikit para tim pemenangan ini menjelma menjadi penganalisis suara dari berbagai TPS di banyak pelosok nagari. " Ambo lah lakukan survey secara acak Pak, sejak gambar dan poster awak banyak terpasang di jalan dan di kadai-kadai maka elektabilitas keterpilihan kita cukup signifikan. Bila kita kirim semen, batu, pasir, karikil, cat, upah tukang, makan siang untuk sejumlah tokoh di daerah itu, saya yakin bla pemilu dilakukan hari ini maka kursi dapat oleh kita satu. Bapak sah jadi anggota dewan. Untuk saya tak usah Bapak pikirkan dulu, jangka pendek yang Bapak pikirkan adalah untuk tim yang juga saya bentuk demi pemenangan Bapak!" , hehehe begitulah.

 

         Banyak lembaga survey lapauan yang muncul di mana-mana. Sedikit-sedikit survey jadi kambing hitam. "Tenang Pak, biaya survey perlu kita tambah. Kita inginkan survey yang objektiv...sistim kita adalah sistim tanya langsung dan lapor langsung kepada Bapak..! ", ahai yayai...

 

SURVEY POLITIK

 

Tapi ada juga lembaga survey yang seolah-olah dibungkus dengan keilmiahan dan keindependenan dan keabsahan. Lembaga survey seolah-olah ini acap dimanfaatkan oleh berbagai kelompok kepentingan politik. Tujuannya membentuk opini masyarakat. Biasanya lembaga survey seolah-olah ilmiah dan independen ini acap dipakai dalam Pilkada. Hasilnya biasanya diterbitkan di suratkabar sehari atau dua hari menjelang Pilkada. Sekalipun ada seruan dan ketentuan minggu tenang, karena mungkin berlindung di balik "keilmiahan" maka hasil survey yang disiarkan di saat minggu tenang seakan tak tersentuh hukum atau aturan, dan seakan lepas dari pengawasan Panwaslu. Konon, karena khawatir dengan ekses sosial lembaga survey yang melakukan penyurveian menjelang pemilu, Mendagri mengeluarkan aturan survey.Terutama yang bersangkut paut dengan hal ihwal 'pilihan' masyarakat dan kinerja pemerintah.

 

MEREKA MENYEBUT DIRINYA TOKOH

 

Pada masa pemilu yang paling laku adalah kata 'tokoh'. Ada yang menyebut diri sebagai tokoh pemuda, ada yang menyebut diri sebagai tokoh masyarakat.. Ada yang menyebut diri sebagai tokoh yang berpengalaman memenangkan beberapa kali pilkada. Dan mengaku beberapa kali berada di ring1 tim sukses bupati,walikota,gubernur bahkan presiden bagai. Terkadang koarnya itu tak sebanding pula dengan gaya hidupnya yang tetap (masih) kere. Kalau ditanya jawabnya begini: " Ah, saya membantu ikhlas kok. Sifat saya begitu, membantu ya membantu. Tak ada saya minta-minta duit dan jabatan untuk jadi A atau jadi B". Terkadang, pernyataan *kayak* gini tak lebih sebagai modus untuk meyakinkan sang caleg supaya dirinya diterima di ring 1 tim sukses. Itu saja.

 

Ada pula yang menyebut diri sebagai tokoh yang mampu 'mengkondisikan' ribuan suara Gila. Mirip fenomena dukun piawai penebak nomor lotre. Maksudnya, bila ia mengetahui nomor yang keluar, mengapa tak dia saja yang pasang nomor itu. Bila ia mengaku mampu dan bisa mengondisikan ribuan suara, mengapa tak dia saja yang maju jadi caleg?(Pinto Janir)