Kebebasan Pers Tanpa Aturan = Kejahatan

Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 16 Mei 2020 13:34:21 WIB


Oleh Yal Aziz
 
SEPERTI kebiasaan saya sehari-hari, setelah minum kopi pagi, langsung melihat berbagai informasi yang diunggah teman-teman di media sosial face book dan whatAps. Bahkan, berbagai komentar dari teman-teman tersebut, ada yang hanya saya lihat saja dan ada pula yang saya komentari, sesuai dengan selera atau kakobeh.

Jadi, berita yang ditayangkan portai berita Editor.com, milik Rhian D’kincai, Sabtu, 12 Oktober, 2019 dengan judul;” Ketua PWI Artal Sambiring, Profesi Tanpa Kompetensi Sama Dengan Pepesan Kosong,” membuat saya terusik, sehingga memunculkan hasrat untuk mengomentarinya. Komentar Atal Sembiring ini mencuat ketika menerima kunjungan anggota PWI Payakumbuh dan 50 Kota, yang sengaja berkunjung ke kantor PWI Pusat, Jakarta.

Kenapa saya terusik? Karena di alenia pertamanya, Ketua PWI, Atal Sembiring dengan tegas mengatakan;” Wartawan itu profesi, profesi tanpa kompetensi sama dengan pepesan kosong, karena itu kopetensi menjadi syarat wajib bagi seorang wartawan professional. Kalau tidak jadilah wartawan tanpa kapasitas sebagai seorang wartawan.”

Pandangan dan sekaligus sikap dari Ketua PWI, Atal Sembiring ada benarnya. Kenapa? Karena profesi tanpa kompetensi, memang sama dengan pepesan kosong. Untuk itu wajar, jika Dewan Pers mengharuskan wartawan mengikuti ujian kompetensi. Saya pun, 2012 lalu “terpaksa” juga mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan lulus dengan pridiket wartawan utama. Klop.

Menurut saya, kebebasan pers bisa dikatakan hak yang diberikan konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan pemberitaan media massa, termasuk media online, yang kini tumbuh dan berkembang bagaikan jamur di musin hujan.

Secara konseptual, bisa juga dikatakan, kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Kenapa? Karena hanya melalui kebebasan pers lah masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri.Untuk itu wajarlah, jika media djuluki sebagai pilar keempat demokrasi, untuk melengkapi eksekutif, legeslatif, dan yudikatif.

Kemudian, kebebasan pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Kenapa? Karena dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Selanjut menurut mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan dalam Pers, Hukum, dan HAM, menegaskan, kebebasan pers (freedom of press) atau kemerdekaan pers dapat diketegorikan ke dalam dua kategori utama. 1. Kebebasan pers itu sendiri, 2. Pers sebagai sarana atau forum kebebasan publik.

Kebebasan pers itu sendiri meliputi: 1. Kebebasan (kemerdekaan) mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarkan informasi. 2. Kebebasan (kemerdekaan) melakukan kontrol, dan kritik, dalam peri kehidupan politik, sosial, atau ekonomi.3. Kebebasan (kemerdekaan) untuk membentuk dan mengarahkan pendapat umum demi kepentingan publik. 4. Kebebasan (kemerdekaan) mengeluarkan pendapat dan pikiran pers.

Di bidang politik, kontrol dan kritik baik terhadap lembaga politik kenegaraan maupun lembaga politik kemasyarakatan. Kontrol dan kritik terhadap perikehidupan sosial, baik bertujuan melakukan perubahan sosial maupun terhadap tingkah laku sosial. Kritik dan kontrol ekonomi untuk menjamin kegiatan ekonomi dijalankan sesuai dengan kepentingan rakyat banyak.

Yang jelas semenjak lahirnya Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers telah mengamatkan kebebasan mutlak. Lahirnya undang undang tersebut merupakan pengejawantahan kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggungjawab.

Jadi kesimpulannya, seorang wartawan, mau tak mau, suka atau tak suka di dalam menjalankan profesinya harus berpedomen kepada Kode Etik Jurnalistik dan UU 40 1999 tentang pers.

Bagi yang tidak berpedoman kepada KEJ dan UU 40 1999, perbuatannya dalam menuis berita sama saja dengan kejahatan, karena telah menabur fitnah dan fitnah dalam pandangan Islam sama saja perbuatannya lebih keji dari pembunuhan. Camkamkanlah. (penulis wartawan tabloidbijak.com)