Persiapan Berumah Tangga
Artikel () 02 Desember 2019 18:19:47 WIB
Beberapa waktu lalu sempat heboh tentang ide sertifikasi bagi pasangan yang ingin menikah yang akan dikeluarkan pemerintah. Hal ini menimbulkan kontroversi karena ada yang menganggap bahwa negara mencampuri urusan pribadi atau urusan privat warganya.
Ide tersebut dilontarkan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Sebelum menikah, calon pasangan pengantin mengikuti program pelatihan selama tiga bulan. Hal ini akan dijadikan bekal untuk berumah tangga.
Kelompok yang menentang beranggapan bahwa pembekalan pranikah dikhawatirkan akan memaksakan nilai-nilai tertentu dari satu agama atau keyakinan kepada seluruh agama. Apalagi jika pembekalan tersebut dilakukan di kantor instansi pemerintah.
Di samping itu, dikhawatirkan serfitikasi akan mempersulit mereka yang akan menikah karena boleh jadi aka nada biaya yang perlu dikeluarkan calon pasangan untuk mendapatkan sertifikat tersebut.
Apa yang dikontroversikan itu memang terlihat masuk akal dan menjadi sebuah persepsi oleh karena selama ini publik terkesan sulit untuk mendapatkan hal-hal terkait sertifikat yang dikeluarkan instansi pemerintah. Namun boleh jadi, persepsi itu menjadi keliru ketika ternyata untuk mendapatkan sertifikat layak nikah tidak sesulit yang digambarkan.
Namun demikian, saya sendiri tidak ingin masuk ke dalam perdebatan pro kontra tersebut. Saya lebih memilih untuk memaknai positif terkait ide persiapan menikah ini. Karena bagaimanapun ternyata persoalan dalam keluarga semakin kompleks, dan banyak merugikan anak-anak.
Oleh karena itu ide dari pemerintah ini perlu juga diartikan positif ketika semakin banyak pasangan muda bercerai atau tidak mengerti apa yang disebut berumah tangga. Selain itu, pengaruh budaya global dan keberadaan internet yang mempermudah anak-anak muda mengakses pornografi menyebabkan pemahaman tentang menikah atau berkeluarga tereduksi kepada masalah seksual.
Yang paling perlu diberikan pembekalan untuk menikah adalah mereka yang berasal dari keluarga tak mampu, karena selain penting untuk mencari nafkah, perhatian kepada anakpun seharusnya menjadi hal penting.
Persiapan pranikah memang sebaiknya berbasis agama masing-masing calon pasangan. Misalnya untuk pasangan calon dari kalangan muslim, mereka perlu dibekali dengan pemahaman dalam ajaran Islam tentang berkeluarga. Dan calon pasangan dari agama lain juga berbasis agamanya juga.
Namun untuk hal yang bersifat sosial, memang harus semua calon pasangan untuk mendapatkannya. Misalnya tentang saling hormat antara suami istri, hormat kepada orang tua dan mertua, sabar dalam menghadapi pertikaian, sayang kepada anak, dan hal-hal lainnya yang bersifat universal.
Yang juga tak kalah penting adalah perencanaan keuangan keluarga, baik ketika baru menikah, sebelum punya anak, setelah punya anak, dan ketika anak sudah masuk sekolah. Selama ini nampaknya masalah perencanaan keuangan keluarga cenderung diabaikan oleh sebagian pasangan muda, sehingga tidak bisa mengantisipasi hal-hal di masa depan, dan menyebabkan terjadinya hal-hal negatif yang berdampak kepada suami dan istri, serta anak-anak.
Semoga ide sertifikasi pranikah ini memberi inspirasi kepada orang tua untuk memberikan arahan kepada anaknya tentang mempersiapkan bekal untuk menikah. Selain itu bagi mereka yang akan menikah bisa menjadi semacam motivasi untuk mempersiapkan pernikahan yang sering diibaratkan mengarungi bahtera di lautan yang akan melewati badai.
Saya meyakini bahwa pemerintah memiliki maksud baik, dan perlu diterjemahkan menjadi nyata dengan cara-cara yang baik juga agar diterima oleh masyarakat dengan makna positif. (efs)
ilustrasi: freefoto dotcom