Duka Masyarakat Minang di Papua Duka Kita
Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 02 Oktober 2019 11:08:05 WIB
Oleh Yal Aziz
BAGAIKAN disambar petir ketika menerima kabar duka tentang tragei kemanusian melanda masyarakat Minang yang merantau di Wamena Papua. Meskipun belum ada informasi pasti dan akurat tentang berapa jumlah urang Minang yang jadi korban, yang jelas kerusuhan di Wamena telah menelan korban perantau Minang.
Berdasarkan keterangan Kepala Biro Humas Sekretariat Provinsi Sumbar Jasman sebagaimana yang diberitakan JPNN.COM, Rabu, 25 Desember 2019, jumlah perantau Sumbar yang meninggal dalam kerusuhan di Wamena sudah bertambah menjadi 10 orang. Katanya, perantau Minang yang meninggal dunia berasal dari Kecamatan Bayang Utara, Pesisir Selatan. Di Wamena, dia bekerja di bengkel
Kemudian, kabar duka itu langsung mendapat respon posit dari Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit. Bahkan mantap bupati Pesisir Selatan ini langsung bertolak ke Papua dengan menggunakan pesawat TNI Angkatan Udara, Minggu, 29 September, 2019. .
Begitu juga dengan Bupati Pesisir Selatan, Hendrajoni yang menegaskan bakal memulangkan seluruh perantau Pesisir Selatan yang berada di kawasan rusuh Wamena di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.
Bertitik tolak dengan tragedi di Wamena ini, banyak hal yang bisa diambil pelajaran, baik bagi pemerintah, maupun bagi tokoh masyarakat Minang, baik yang berada di Ranah Minang, maupun yang ada di perantauan.
Sebagaimana kita ketahui, merantau atau meninggalkan kampung halaman untui mencari kehidupan demi masa depan diri dan anak, menang sudah bisa dibilang sudah membudaya bagi orang Minang, sehingga muncul pepatah, laut sakti, rantau batuah.
Secara fakta, orang Minang memang ada di mana-mana di berbagai pelosok Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Bahkan Orang Minang terkenal karena memiliki budaya merantau. Bahkan bisa diktakan, budaya merantau bagi orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad-abad silam. Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum orang-orang kulit putih datang ke sana. Bahkan, sebuah laporan pertengahan Abad ke-19 yang tersimpan dalam arsip di Perpustakaan Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The Minangkabau State in Malay Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya). Negeri itulah yang kemudian kita kenal sebagai Negeri Sembilan, salah satu Kerajaan yang mendirikan Negara Federasi Malaysia. Jadi, mereka sudah mendirikan sebuah negara di Semenanjung Malaya sebelum berdiri di barisan terdepan dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.
Tradisi merantau orang Minang terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. Ditambah kemampuan bersilat lidah (berkomunikasi) sebagai salah satu ciri khas mereka yang membuatnya mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana saja. Banyak hasil studi para sarjana asing maupun ilmuwan nasional menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah muncul dan berkembang sejak berabad-abad silam. Budaya yang unik ini sering dikaitkan dengan pantun yang berbunyi:
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau Bujang dahulu
Di kampuang baguno balun
(Keratau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Merantau Bujang dahulu
Di kampung berguna belum)
Dari sekian daerah atau wilayah yang menjadi daerah rantau bagi Orang Minang, baru tragedi Wamena, Papua inilah yang menjadi tragedi berdarah sepanjang sejarah bagi etnis Minang di perantauan. Bahkan, bisa juga dikatakan mencekam, karena orang Minang yang selamat, meminta dipulangkan ke kampung halamann, begitu dikunjungi Wakil Gubernur Sumabra, Nasrul Abit.
Kedepan, kita tentu berharap kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat bersama legistif untuk membentuk perangkat pemerintahan setingkat kepala dinas, yang tugasnya mengurus perantau Minang di seluruh pelasok dunia.
Tujuannya tentu agar perantau Minang yang berada dirantau , menjadi tanggungjawab gubernur dan wakil gubernur juga. Soalnya, para perantau yang berada diseantero dunia tersebut, termasuk penyumbang divisi untuk kelancaran pembangunan di Sumatera Barat.
Apalagi lagi bagi perantau, ada istilah Pulang Basamo, disaat memasuki bulan puasa dan menyambut idil fitri. Bahkan, setiap tahun acara Pulang Basamo ini sudah menjadi tradisi juga para perantau.
Untuk itu, wajar saja, jika pemerintah Sumatera Barat membentuk kepala dinas yang tugas pokoknya menjalin kemunikasi antara rantau dan kampung halaman. Yang tak kalah pentingnya, mengurus perantau yang sedang dilanda musibah, sebagaimana yang terjadi di Wamena. Semoga!!! (penulis waratwan tabloidbijak.com)