Literasi Keuangan

Literasi Keuangan

Artikel () 24 September 2019 01:23:24 WIB


Harian Kompas edisi 21 September 2019 dalam salah satu halamannya memuat tulisan Abdul Rahman Mangussara dari OJK (otoritas jasa keuangan) yang berjudul “Memahami (Lagi) “Unit Link””. Yang menarik bagi saya, dalam tulisan tersebut penulis memuat data tingkat literasi dan inklusi keuangan per sektor yang merupakan hasil survei OJK tahun 2016. Adapun data tersebut sebagai berikut, untuk nilai literasi: 

Perbankan 28,9%

Pergadaian 17,8%

Perasuransian 15,8%

Pasar Modal 4,4%

Lembaga Pembiayaan 13,0% 

Dana Pensiun 10,9%  

 

Sedangkan untuk nilai inklusi adalah sebagai berikut: 

Perbankan 63,6%

Pergadaian 10,5%

Perasuransian 12,1%

Pasar Modal 1,3%

Lembaga Pembiayaan 11,8% 

Dana Pensiun 4,7%  

Dari data di atas yang merupakan hasil survei OJK terlihat bahwa tingkat literasi keuangan teretinggi adalah untuk perbankan, dan terendah adalah pasar modal. Demikian juga dengan inklusi keuangan. Persentase tertinggi dipegang oleh perbankan, dan persentase terendah dipegang oleh pasar modal. 

Dengan tingkat literasi keuangan yang masih rendah persentasenya, maka kita tidak bisa mengharapkan ekonomi akan mengalami kemajuan. Karena dengan tingkat literasi yang semakin baiklah maka ekonomi juga bisa ditingkatkan sehingga mengalami kemajuan. 

Dari data di atas, hanya perbankan saja yang nilai inklusinya lebih besar dari nilai literasi. Yaitu 63,6% dibanding 28,9%. Jika tingkat literasi bisa semakin tinggi mungkin tingkat inklusi keuangannya juga akan semakin tinggi. 

Sebaliknya, untuk pergadaian, perasuransian, pasar modal, lembaga pembiayaan dan dana pension, tingkat literasinya secara persentase lebih besar dari tingkat inklusi keuangan. Ini artinya, yang tahu lebih banyak dari yang berpartisipasi. Berbeda dengan perbankan, di mana yang berpartisipasi lebih banyak dari yang sekedar tahu. 

Dengan kondisi seperti ini, masyarakat juga akan mengalami sedikitnya pemahaman tentang bagaimana mencari sumber-sumber penghasilan lain, termasuk merencanakan keuangan pribadi dan keluarga. Asuransi dan dana pensiun seharusnya mandarah daging di masyarakat. Karena terkait dengan perlindungan atau proteksi dan persiapan di hari tua. perlindungan terhadap kesehatan mungkin sudah bisa dikaitkan dengan keanggotaan di BPJS Kesehatan. Tetapi proteksi terhadap nyawa atau jiwa dari kepala keluarga atau orang tua tak kalah penting.  Tidak sedikit anak dan istri yang terlantar diakibatkan suami atau ayah mereka tiba-tiba meninggal dengan berbagai alasan atau sebab, lalu tidak memiliki uang setelahnya. Jika ayah atau suami ikut asuransi jiwa, maka akan mendapat santunan yang bisa sedikit banyaknya “menenangkan sesaat” keluarga yang ditinggalkan. 

Sementara itu, sumber penghasilan lain yang ada di pasar modal belum bisa digarap maksimal karena tingkat literasi dan inklusi keuangan yang masih rendah. Padahal di negara yang sudah maju, pasar modal dipakai oleh masyarakat untuk menjadi sumber penghasilan mereka selain sebagai pegawai atau wira usaha. 

Maka, untuk menjadikan masyarakat melek dengan literasi keuangan dan juga terlibat dalam inklusi keuangan, salah satu caranya adalah belajar sendiri bagi masyarakat atau lembaga terkait melakukan sosialisasi kepada masyarakat. 

Jika dikaitkan dengan wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw yaitu perintah membaca, maka sudah seharusnya umat Islam berupaya meningkatkan bacaan mereka kepada sektor-sektor ekonomi yang banyak manfaatnya untuk kehidupan mereka. Sehingga kehidupan merekan akan lebih baik dan sejahtera. (efs) 

Referensi: Harian Kompas, 21 September 2019

ilustrasi: freefoto dotcom