Hoaks yang Mudah Disebar

Artikel () 15 Juni 2019 03:38:14 WIB


Menyebarnya info hoaks saat ini memang sulit ditanggulangi. Salah satu sebabnya adalah para pengguna media sosial lebih banyak disulut faktor emosional dalam menyebarkan sebuah informasi dibanding faktor rasional. Maka tak heran, seorang yang di dunia nyata dikenal sebagai orang yang baik tapi ketika di media sosial ia dengan mudah menyebar informasi hoaks. Hal ini lantaran faktor emosional yang lebih dominan mengendalikan dirinya dalam bermedia sosial.  

Yang lebih sulit lagi, orang yang menyebarkan informasi hoaks melalui akun media sosialnya, ketika diberitahu bahwa informasi yang disebarnya adalah hoaks ternyata memberikan reaksi penolakan. Sehingga ia tidak merasa bersalah atas apa yang dilakukannya itu. Dan dampak negatifnya, orang lain yang membaca infohoaks yang disebarkannya terpengaruh sehingga memberikan komentar yang negatif dan kasar.  

Menyebarnya informasi hoaks ini juga turut didukung dengan terjadinya peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia. Pada tahun 2018 pengguna internet tercatat 171,2 juta jiwa. Sedangkan pada 2017 angkanya sebanyak 143,3 juta jiwa. Dan pada 2016 angkanya 132,7 juta jiwa. Kemudian di 2015 angkanya 110,2 juta jiwa. Terlihat adanya penambahan pengguna internet yang signifikan sejak 2015 hingga 2018.  

Jika dibagi ke dalam golongan usia, angkanya adalah sebagai berikut: 15-19 tahun sebanyak 49,52 persen, 20-24 tahun sebanyak 29,55 persen, 25-29 tahun sebanyak 16,68 persen, dan sisanya sebanyak 4,24 persen.  

Adapun jika dibagi ke dalam perangkat, angkanya adalah sebagai berikut: smartphone 44,16 persen, laptop/komputer 4,49 persen, gabungan smartphone dan laptop/komputer 39,28 persen.  
Sedangkan jika dilihat dari tiap pulau, maka angkanya adalah sebagai berikut: sumatera 21 persen, jawa 55 persen, kalimantan 9 persen, bali dan nusa tenggara 5 persen, sulawesi maluku papua 10 persen.  

Dengan terjadinya pertambahan pengguna internet, maka potensi penyebaran informasi hoaks juga akan semakin bertambah. Di samping itu, budaya saling mengingatkan nampaknya sudah makin terkikis sehingga tidak sedikit orang yang terus menerus menyebarkan informasi hoaks di media sosial tanpa merasa bersalah atau tidak berpikir bahwa apa yang ia sebar akan menjadikan hidup orang lain susah.  

Sementara itu, adanya upaya pemerintah membatasi media sosial di beberapa waktu tertentu yang terkait pemilu memunculkan pro-kontra. Pihak yang pro menganggap itu suatu hal yang wajar karena di negara lain pun telah dilakukan kebijakan pembatasan media sosial, dan penyebaran hoaks bisa dicegah. Tapi bagi pihak yang kontra, pembatasan media sosial dianggap tidak sesuai dengan iklim demokrasi dan mengarah kepada otoritarianisme.  

Setiap kebijakan pemerintah memang akan memunculkan pro-kontra, dan tidak bisa memuaskan semua pihak. Maka di sini dituntut sikap positif dalam melihat kebijakan tersebut.

Pembatasan yang pernah dilakukan beberapa waktu lalu di satu sisi memang berhasil mencegah penyebaran informasi hoaks. Namun di sisi lain, ternyata ada dampak negatifnya bagi pelaku bisnis yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana komunikasinya. Padahal pelaku bisnis bukanlah pihak yang menyebarkan informasi hoaks.  

Semoga dengan meningkatnya pengguna internet, juga diikuti tumbuhnya komunitas internet sehat yang mengedukasi pengguna internet untuk menyebarkan konten positif dan menjauhi penyebaran informasi hoaks. (efs)  
 
Referensi: Tabloid Mingguan Kontan 27 Mei – 22 Juni 2019