Kebutuhan Pendidikan Karakter

Kebutuhan Pendidikan Karakter

Artikel () 01 Mei 2019 20:07:44 WIB


Pada Februari 2019 lalu, sempat ramai diberitakan seorang santri di Padang Panjang tewas dikeroyok belasan temannya. Berita ini menjadi isu nasional. Karena jarang sekali santri melakukan kekerasan. Berbeda dengan berita tawuran yang sering muncul di media massa dan tak jarang berakhir dengan jatuhnya korban, baik tewas maupun luka.   

Di luar itu, yang juga menjadi isu nasional adalah kasus kekerasan murid kepada gurunya, sehingga guru tersebut tewas atau terluka. Ini terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Memang kalau dijumlahkan kasus-kasus tersebut, yaitu jumlah pelaku, sepertinya tidak banyak, dibanding jumlah pelajar se-Indonesia. Akan tetapi karena sudah masuk ke media massa maka pengaruhnya sangat besar. 

Boleh jadi juga, kasus yang sempat masuk ke media massa memang tidak banyak. Tapi yang tidak masuk ke media mungkin jumlahnya banyak. Hal ini secara subjektif bisa dilacak dari obrolan mereka yang sudah menjadi orang tua, dan memiliki anak yang bersekolah. Kekhawatiran akan terjadinya kekerasan kepada anak mereka sangat tinggi akibat maraknya berita di media massa yang memberitakan kekerasan para pelajar, baik kepada guru atau sesama pelajar. 

Tidaklah salah kalau isu pendidikan karakter sudah mengemuka sejak beberapa tahun lampau. Karena ternyata masyarakat sudah semakin menyadari bahwa para pelajar penting sekali memiliki karakter positif atau perilaku mulia dibanding mengejar prestasi akademis tapi miskin karakter. 

Sebenarnya Ki Hajar Dewantara sudah menyampaikan pentingnya pendidikan karakter. Sosok yang disebut sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional ke-2 ini menyatakan bahwa karakter adalah inti dari pendidikan. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa yang lebih diperlukan adalah karakter, dibanding kecerdasan. Pada masanya Ki Hajar Dewantara menyebut karakter sebagai budi pekerti. 

Mantan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan pernah menyebut dalam sebuah acara bertemakan keluarga, yang bisa dilihat videonya di youtube, bahwa kitab pendidikan yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantara justru telah dipraktikan oleh Finlandia, sehingga pendidikannya maju. 

Dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia sejak merdeka hingga kini, pendidikan karakter terlihat belum bisa menjadi ruh atau spirit utama kebanyakan lembaga pendidikan. Sehingga berbagai kasus tawuran, kriminalitas, dan kejahatan lainnya yang melibatkan pelajar seperti tumbuh dan bertambah. Di media sosial, berbagai kisah pelajar yang berperilaku buruk juga banyak disampaikan oleh netizen. Pengaruh materi yang begitu kuat dan juga strata sosial, sering menjadi pemicu munculnya berbagai kekerasan oleh para pelajar, baik di sekolah maupun luar sekolah. 

Namun kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter sesungguhnya telah banyak dirasakan oleh sebagian besar orang tua, pendidik, maupun pengambil kebijakan. Berbagai kendala memang muncul ketika ada upaya untuk menjadikan pendidikan karakter sebagai ruh atau spirit utama setiap lembaga pendidikan. Baik berupa alasan politis maupun teknis dan anggaran.  

Dan menjelang munculnya bonus demografi, di mana struktur penduduk muda jauh lebih banyak dari penduduk berusia tua, membicarakan pendidikan karakter bukan lagi kebutuhan dalam skala mikro. Akan tetapi sudah merupakan masalah makro. Karena akan berimbas kepada bagaimana bangsa dan negara ini berjalan ke depannya. (efs)