ANJUNGAN TAMAN MINI SEBAGAI ETALASE KEPARIWISATAAN
Artikel () 31 Oktober 2013 02:33:15 WIB
ANJUNGAN TAMAN MINI SEBAGAI ETALASE KEPARIWISATAAN
H. Novrial, SE, MA, Ak, Sekdisbudpar Prov. Sumbar
Dalam beberapa kali kunjungan ke Anjungan Sumatera Barat di Taman Mini Indonesia Indah (ASB-TMII) Jakarta, saya selalu terbelenggu dengan berbagai polemik dan kontradiksi yang membuat saya sering gagap memahami tentang keberadaan ASB-TMII ini, mungkin karena memang tidak memahami alasan keberadaannya, mungkin karena tidak pernah mendalami penjabaran tugas pokok dan fungsinya, atau mungkin juga karena tidak melihat adanya upaya dan usaha yang signifikan dari siapapun untuk mengembangkan citra dan fungsi ASB-TMII sebagaimana yang kita lihat saat ini. ASB-TMII dari kacamata saya saat ini sekurangnya hanyalah sebuah UPTD Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang terletak di kompleks Taman Mini Indonesia Indah Jakarta yang terdiri dari beberapa bangunan seperti Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum, Rumah Gadang yang berfungsi sebagai tempat pertemuan/ acara, rumah adat Mentawai untuk visualisasi budaya Mentawai, rumah adat untuk pustaka, rangkiang sebagai pelengkap rumah gadang, musholla, panggung hiburan dan beberapa bangunan pelengkap lainnya yang digunakan untuk kantin dan toko cendera mata.
Dari sisi pemanfaatan, UPTD ASB-TMII tentunya termasuk dalam sistim pengelolaan yang diatur oleh Badan Pengelola (BP-TMII) dengan rangkaian kegiatan regulernya , ditambah program dan kegiatan yang direncanakan dan dialokasikan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebagai SKPD yang diberikan indikator dan target tertentu oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sebagai bentuk pertanggungjawaban APBD Provinsi sebagai sumber pendanaan operasional dan aktifitas-aktifitasnya. UPTD ASB-TMII secara makro ditugasi sebagai sebagai etalase promosi Sumatera Barat di Ibukota Negara, baik promosi kepariwisataan maupun promosi seni dan budaya, yang pada akhirnya membuat semua orang yang mengunjunginya mengetahui dengan pasti potensi kepariwisataan dan seni budaya Sumatera Barat sekaligus tertarik untuk mengunjunginya. Dalam penjabarannya, tentu saja kedua hal tersebut tidak akan pernah terlepas satu dengan yang lainnya, dimana aspek seni budaya yang dimaksudkan disini tentunya sebagai aktifitas yang menunjang kepariwisataan daerah, sebagai sebuah produk kreatif yang akan membuat pengunjung atau calon wisatawan itu terkesan dengan Sumatera Barat.
Beberapa aktifitas promosi seni dan budaya yang jamak dilaksanakan oleh UPTD ASB-TMII antara lain penampilan berbagai kesenian daerah terutama tari-tarian, baik yang klasik maupun yang merupakan hasil kreasi, alat kesenian lokal, lagu daerah, busana tradisional, kerajinan tradisional dan lain sebagainya, baik dalam bentuk display permanen yang ada di museum rumah gadang, maupun display dinamis seperti pagelaran dan pertunjukan. Khusus untuk display permanen yang ada di museum, koleksinya cukup lengkap merepresentasikan Sumatera Barat, mulai dari wilayah “darek”, “pasisie”, sampai “pagai – mentawai”, sementara display dinamis juga dilakukan berkolaborasi dengan 19 Kabupaten/ Kota sebagai bentuk promosi daerah yang lebih khusus untuk para perantau daerah tersebut dan pengunjung lainnya. Aktifitas promosi kepariwisataan dilakukan hanya melalui leaflet, brosure dan touch-screen, disamping informasi lisan yang akan disampaikan oleh staf yang bertugas sebagai guide sekiranya pengunjung ingin mendapatkan informasi yang lebih detail tentang kepariwisataan Sumatera Barat. Bagian pendukung lain yang tidak kalah pentingnya adalah kantin yang menyediakan makanan khas daerah seperti Nasi Padang dan variasi lauknya, sate Padang dan Soto Padang, serta souvenir shop yang menjual berbagai produk kerajinan daerah khas Sumatera Barat.
Tentunya gambaran sedemikian tidak membuat kita gembira karena program dan kegiatan tersebut lebih terkesan rutinitas setiap tahunnya, sementara yang kita inginkan adalah hasil konkrit berupa kunjungan wisatawan yang akan semakin meningkat dengan keberadaan ASB-TMII. Mari kita kaji tentang positioning ASB-TMII yang terletak tepat di jantung Ibukota, dikunjungi oleh pengunjung TMII dari berbagai etnis dan berbagai bangsa setiap harinya, menjadi satu-satunya tempat wisata budaya dan edukasi yang terlengkap dan terluas bagi penduduk JABODETABEK, ekspatriat dan wisatawan nusantara dan mancanegara yang mengunjungi Jakarta. Mari kita juga mengkaji tentang kondisi sarana-prasarana yang memadai di areal TMII, terletak di pojok yang paling strategis, halaman yang luas yang dapat digunakan untuk berbagai event, 2 bangunan rumah gadang utama, satu sebagai museum dan satu sebagai auditorium, panggung pertunjukkan, pustaka, dan lain sebagainya. Mari juga kita kaji jumlah potensi pasar (pengunjung) mulai dari perantau Minang yang ada di wilayah JABODETABEK, jumlah penduduk Jakarta, jumlah ekspatriat dan jumlah wisatawan yang datang ke Jakarta. Semua hasil kajian imajinatif tersebut hanya akan menggiring kita pada suatu kesimpulan bahwa “keberadaan” ASB-TMII sangat vital sebagai etalase kepariwisataan Sumatera Barat.
Setelah kesimpulan diatas tentunya yang perlu dilakukan adalah scenario pengembangan untuk optimalisasi peran dan fungsi tersebut. Yang pertama adalah penyusunan “calendar-event” yang regular skala kecil, terutama pada saat week-end yang dilakukan tidak hanya dengan program/ kegiatan rutin, tapi juga dengan sharing-activity dan sponsorship dengan berbagai pihak yang memungkinkan. Ambil contohnya tentang potensi “baralek” masyarakat Minang JABODETABEK yang dapat dilakukan di rumah gadang, lengkap dengan segala prosesi adat dan segala atribut baralek seperti makanan, hiburan dan lain sebagainya, dimana selain sebagai sebuah acara yang sakral bagi yang punya hajat juga bisa dikemas sebagai paket pariwisata daerah. Ikutan dari event ini adalah timbulnya kembali potensi lama dan malah profesi baru penyelenggara dan pelaku acara adat, sanggar seni dan pelaku kuliner di JABODETABEK, serta yang utamanya disamping bentuk promosi juga merupakan penerimaan daerah dari sewa fasilitas. Contoh lainnya adalah event MICE yang diadakan di rumah gadang, mulai dari rapat formal, pertemuan perantau, family gathering, diskusi budaya, sampai pada acara informal seperti makan siang/ malam bajamba, ngopi lapau malam minggu, pekan kuliner lokal diakhir minggu untuk “malapeh taragak dan malapeh salero” bagi orang Minang di rantau serta ajang interaksi sosial yang semakin sulit dilakukan dalam kondisi kekinian. Contoh lain adalah fasilitasi kegiatan perusahaan-perusahaan besar di Jakarta, Kementerian dan malah Kedutaan Besar yang dapat dilakukan ala Minang dan tentunya dengan biaya mereka sendiri.
Contoh-contoh tersebut tentunya harus menjadi inspirasi dan ambisi para pejabat dan staf ASB-TMII yang tentunya lebih dituntut naluri enterprenuershipnya untuk mengoptimalkan fungsi dan potensi ASB-TMII, ditunjang oleh kemapuan komunikasi yang komprehensif, mulai dari komunikasi adat lokal, nasional dan internasional, serta upaya untuk memasarkan event-event tersebut melalui network perantau, media formal, media digital dan lain sebagainya. Paket lengkap tersebut mulai dari SDM yang capable, event regular yang menarik dan tersedia setiap saat dan komunikasi promosi yang efektif tentunya merupakan mimpi indah untuk menjadikan ASB-TMII sebagai etalase kepariwisataan Sumatera Barat, sehingga pilihan bagi kita tinggal apakah akan terus tidur dan bermimpi, atau cepat-cepat bangun untuk merealisasinya?