Ekonomi Amerika
Artikel () 12 Desember 2018 09:30:38 WIB
Judul tulisan saya ini mungkin terkesan tidak ada kaitannya dengan tanah air atau daerah. Ya, memang kalua lihat judulnya terkesan tidak ada kaitannya sama sekali. Tetapi jika kita melihat lebih jauh lagi, ekonomi Amerika bisa dikatakan sangat mempengaruhi ekonomi global, ekonomi kawasan (regional) dan ekonomi negara (Indonesia). Dan sangat mungkin mempengaruhi ekonomi daerah, seperti Sumbar.
Harian Kontan di halaman depannya menulis headline dengan judul “Pasang Kuda-Kuda Sikapi Sinyal Resesi Amerika”. Ada beberapa indikator yang disajikan Kontan untuk menjelaskan potensi resesi Amerika. Di antaranya adalah, sulitnya angka pengangguran turun. Angkanya bertahan di 3,7% pada November dan Oktober. Sedangkan surat utang jangka pendek imbal hasilnya lebih tinggi dibanding surat utang jangka Panjang.
Kemudian terjadinya kenaikan inflasi. Selanjutnya, penurunan penjualan rumah. Pada Oktober angkanya di 597.000. Kemudian turun di November menjadi 544.000. Indikator selanjutnya, adanya keterlambatan membayar utang. Hal ini diperlihatkan dari angka rata-rata utang pemilik kartu kredit. Di 2014 angkanya di 5.329 dolar AS. Kemudian naik di 2017 menjadi 5.644 dolar AS. Dan yang terakhir, terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal II angkanya ada di 4,2%, kemudian turun di kuartal III menjadi 3,5%.
Dari beberapa tanda-tanda tersebut, maka kita bisa bandingkan dengan kondisi Indonesia. Untuk surat utang, nampaknya Indonesia belum mengalaminya. Namun di AS, berdasarkan uraian Kontan, resesi di Amerika secara historis diawali dari naiknya imbal hasil surat utang jangka pendek dibanding surat utang jangka Panjang. US Treasury tenor 2 tahun imbal hasilnya 2,81%, sedangkan yang tenor 5 tahun sebesar 2,79%. Seharusnya, jika ekonomi normal surat utang jangka Panjang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.
Sementara itu, untuk angka pengangguran, di Indonesia masih bisa turun. Berbeda dengan AS. Untuk inflasi, Indonesia justru mampu mengelola inflasi sehingga angkanya rendah. Dan itu mencerminkan kestabilan harga. Sedangkan untuk penjualan rumah, secara kualitatif permintaan rumah masih tinggi. Pemerintah juga berupaya menyediakan rumah untuk masyarakat dengan harga terjangkau.
Dalam hal pertumbuhan ekonomi, kondisinya memang tidak bisa dibilang buruk, bahkan tidak turun drastis seperti di AS. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ada di angka sekitar 5 persenan. Namun untuk kartu kredit, yang saya sorot justru berkembangnya renternnir online melalui aplikasi Android yang kian meresahkan. Beberapa media sudah mengangkat masalah ini karena dianggap banyak korban yang sudah berjatuhan dan meresahkan masyarakat.
Namun demikian, secara umum Indonesia belum terpengaruh potensi resesi ekonomi di AS. Bahkan jika dilihat ekonomi daerah seperti Sumbar, ekonomi sektor riil dan juga UMKM masih bisa beraktivitas sehingga perputaran ekonomi dan perputaran uang bisa berjalan sebagaimana mestinya. (efs)
Referensi: Harian Kontan, 10 Desember 2018
ilustrasi: freefoto.com