Merenungkan Kembali Makna Kemerdekaan
Artikel Yal Aziz(Tenaga Artikel) 20 Juli 2018 09:44:26 WIB
Kata-kata merdeka atau mati merupakan ungkapan tegas dan satria dari para pahlawan bangsa ini. Kata tegas ini diawali dengan adanya Sumpah Pemuda 1928 yang dimotori Bung Tomo, yang tak teganya melihat anak bangsa ini dijajah tiga setengah abad oleh bangsa penjajah, seperti bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), Belanda, hingga Jepang.
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 lalu, bisa dikatakan penuh arti dan makna yang mendalam bagi bangsa Indonesia. Kenapa? Karena berdasarkan catatan sejarah, anak bangsa yang jadi pejuang boleh dikatakan berdarah-darah dengan mempertaruhkan jiwa dan raga demi kemerdekaan. Tujuannya hanya nusantara ini terbebas dari cengkarama bangsa penjajah. Alasannya, hanya dengan kemerdekaanlah anak bangsa ini bisa bersekolah, beribadah dan membangunan negeri ini untuk kesejahteraan bersama.
Setelah kita merdeka, tentu tugas generasi sekarang juga cukup berat dan penuh tantangan. Maksudnya, bagaimana kemerdekaan itu menjadi modal pembangunan nasional diberbagai bidang, seperti pembangunan di bidang infrastruktur, pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, politik, teknologi, agama dan lain sebagainya.
Kini, makna kemerdekaan harus dijadikan modal pembangunan nasional untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia seutuhnya, bukan untuk investor asing. Indonesia adalah negara matirim, negara agraria, dan negara industri dengan sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah ruah.
Untuk itu sangat wajarlah, kekayaan bumi pertiwi ini menjadi incaran negara-negara besar lainnya di dunia untuk menguasai ladang minyak, pertambangan, kelapa sawit, semen, dan sejumlah komoditas penting lainnya.
Kedepannya tentu kita berharap, agar para pemimpin bangsa ini jangan sampai pembuat kebijakan untuk memuluskan para investor asing, dengan dalih investasi. Padahal, sebagai bentuk penjajahan baru, sebagaimana diungkapkan, Lismanto alumnus UIN Walisongoo Jurusan Hukum Pidana dan Politik Islam.
Lismanto menilai, kemerdekaan formal adalah kemerdekaan yang diperoleh suatu negara, baik secara de facto maupun de jure. Artinya, syarat-syarat suatu negara untuk dikatakan merdeka sudah didapatkan.
Kemudian kerdekaan substansial adalah kemerdekaan suatu negara yang benar-benar berdaulat di berbagai bidang, baik bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, teknologi, hukum, dan sebagainya. Dalam kemerdekaan substansial, bangsa tidak terikat dengan perjanjian atau hal-hal yang membuatnya tidak berdaulat secara penuh.
Begitu juga di bidang ekonomi. Indonesia bisa dikatakan belum merdeka secara substansial karena ladang-ladang minyak, pertambangan, kelapa sawit, sawit, dan industri-industri raksasa lainnya yang mencaplok sumber daya alam Indonesia diangkut bangsa asing, bukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan di bidang hukum, kita belum bisa merdeka secara substansial karena Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP) masih mengadopsi hukum Belanda. Di bidang politik, masih ada perjanjian-perjanjian internasional yang membuat bangsa tidak berdaya, tidak bisa apa-apa, dan terikat. Itu artinya, Indonesia secara substansial masih belum merdeka.
Bahkan saat ini Indonesia masih terancam dengan adanya perang baru bernama proxy war. Tujuannya adalah jelas, penguasaan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia.
Jadi kini, jika masih ada proxy war, berarti pelajar, mahasiswa, politisi, pengusaha, pejabat, santri, dan semua elemen bangsa harus punya niat hati yang ikhlas dan tulus untuk ikut berperang melawan penjajahan baru dari bangsa asing yang ingin menguasai sumber daya alam Indonesia dan mewujudkan kemerdekaan yang substansial-hakiki. (penulis wartawan tabloidbijak.com/berbagai sumber)